Oleh Denny JA pada hari Minggu, 22 Jun 2025 - 20:24:14 WIB
Bagikan Berita ini :

SETELAH AMERIKA SERIKAT MENJATUHKAN BOM KE IRAN Tiga Skenario dan Masa Depan Senjata Nuklir

tscom_news_photo_1750598654.jpg
(Sumber foto : )

Malam itu di Qom, kota suci Syiah, Fatemeh—seorang mahasiswi filsafat Islam—menutup pelan kitab Nahjul Balaghah yang baru saja ia baca. Ini kitab kumpulan renungan dari Ali bin Abi Thalib, Imam pertama dari mazhab Islam Syiah.

Di luar, angin membawa aroma berat dari kilang tua yang telah puluhan tahun menjadi nadi kota.

Ayahnya, seorang dosen Universitas Qom, menyalakan televisi.

Tiba-tiba layar kaca menjadi merah.
“Fordow, Natanz, dan Isfahan telah dibom oleh Amerika Serikat,” ujar pembaca berita dengan suara gemetar.

Kamera beralih ke Presiden Trump, berdiri tegak di podium Gedung Putih. Ia berkata:

“Hari ini, kami telah menghancurkan fasilitas pengembang senjata nuklir Iran. Dunia menjadi lebih aman—tanpa Iran bersenjata nuklir.”

Tangis Fatemeh pecah. Ia tak menangis karena Fordow hancur,
tetapi karena ia teringat perkataan ayahnya:

“Jika dunia terbakar karena fanatisme dan ego,
bukan senjata yang menghancurkan kita—
melainkan kegagalan untuk saling memahami.”

-000-

Ketika sebuah negara adidaya menjatuhkan bom ke jantung ambisi nuklir Iran, sejarah seolah berhenti sejenak.

Lalu dunia membelah ke tiga jalan:
eskalasi, negosiasi, atau kehancuran besar.

Skenario Pertama: Eskalasi Regional Terbatas
(Probabilitas: Sedang–Tinggi)

Iran terpukul, tapi tidak runtuh.
Iran pun membalas secara terbatas. Pangkalan Amerika di Bahrain dan Qatar dihantam drone, rudal meluncur ke utara Israel.

Sirene meraung di Tel Aviv. Iron Dome kembali diuji.

Di Washington, Kongres bertanya:

“Mengapa Presiden Trump menyerang Iran tanpa mandat dari Kongres?”

Namun Trump bergeming. Ia hanya melakukan apa yang juga pernah dilakukan para presiden AS sebelumnya.

Negara-negara Teluk memperkuat pertahanan udara.
Warga sipil mulai bertanya:

Apakah ini awal dari perang panjang yang tak pasti?

Harga minyak melonjak. Selat Hormuz nyaris ditutup.
Dunia kembali menggantungkan harap pada para jenderal
yang nyaris tak mengerti makna kata damai.

-000-

Skenario Kedua: Negosiasi dalam Asap dan Abu
(Probabilitas: Sedang)

Tiga hari setelah ledakan, Iran menahan diri.

Mereka membuka jalur diplomatik diam-diam lewat Oman.
Permintaan mereka sederhana:
jaminan keamanan, pencabutan sanksi, dan pertukaran tahanan.

Amerika Serikat, yang tak ingin terjebak dalam perang panjang,
menanggapi dengan syarat penghentian program nuklir.

Maka lahirlah sesuatu yang langka:
gencatan senjata tanpa nama,
perdamaian tak resmi,
tapi cukup untuk membuat dunia bernapas kembali.

Di Teheran, para ayah mulai membawa anak-anak ke taman.
Di Yerusalem, sekolah dibuka tanpa sirene.

-000-

Presiden Trump berkata, “Kami mencegah Iran memiliki bom nuklir.” Itu alasan Amerika ikut menyerang Iran karena tak ada negara lain yang memiliki kemampuan senjata penghancur itu, yang bisa masuk jauh ke dalam tanah, tempat fasilitas nuklir Iran disembunyikan.

Namun dunia menoleh, dan bertanya:

Siapa yang memberi wewenang moral dan hukum kepada satu negara untuk mencegah yang lain memiliki senjata pemusnah massal, sementara negaranya sendiri memiliki senjata nuklir itu?

Sejak Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT) ditandatangani tahun 1968, lima negara diberi “izin” menyimpan senjata nuklir:
Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Prancis, dan Tiongkok.

Negara lain, termasuk Iran, dilarang melakukannya.
Namun India, Pakistan, dan Israel memiliki bomnya sendiri—di luar perjanjian. Korea Utara melanggarnya secara terang-terangan.

Maka pertanyaan Fatemeh diari malam itu:

“Adakah tatanan dunia yang adil,
jika hanya yang kuat yang boleh menakut-nakuti?”

Memang ada lembaga internasional yang bisa menginspeksi.
Tapi otoritas moral tak bisa dibangun dari ketimpangan kekuasaan.
Ketika Israel dan Korea Utara bisa memiliki, mengapa Iran tidak?

Apa artinya perdamaian,
jika ia dijaga oleh ancaman saling musnah?

Apa artinya keamanan,
jika ia bertumpu pada bom yang dikunci di ruang bawah tanah
dan bisa dibuka dalam satu detik gelap?

Mungkin sudah waktunya dunia menciptakan etika baru:
Bahwa tak satu pun bangsa layak menyimpan tombol senjata nuklir.
Bahwa perdamaian sejati bukan dibangun dari ketakutan, melainkan dari kesepahaman.

Jika malam ini langit Qom diselimuti asap,
maka besok pagi, umat manusia seharusnya lebih waras.
Karena dari reruntuhan,
muncul kebutuhan untuk berpikir ulang tentang siapa yang bisa menjaga planet ini dengan adil.

-000-

Skenario Ketiga: Perang Besar dan Rekalibrasi Dunia
(Probabilitas: Rendah–Menengah)

Jika Iran merasa di ujung eksistensinya,
maka ia mungkin memilih semua atau tidak sama sekali.

Rudal besar diluncurkan ke Israel dan pangkalan AS.
Hezbollah mengguncang Lebanon Selatan.
Houthi menghantam kapal Saudi di Laut Merah.

ISIS bangkit dari reruntuhan,
menunggangi kekacauan sebagai kuda hitam sejarah.

AS dan Israel membalas penuh.
Serangan besar diluncurkan dari Laut Tengah
dan pangkalan Diego Garcia.

Ribuan pengungsi membanjiri Basrah dan Damaskus.
Pasar dunia runtuh. Minyak menyentuh $200 per barel.

Pemimpin global terbagi:
• Rusia dan Tiongkok menyerukan damai.
• NATO menyerukan “stabilisasi paksa” dan menjatuhkan rezim pimpinan Ayatollah Khamenei.

Ini bukan lagi konflik Timur Tengah.
Ini adalah rekalibrasi geopolitik global.

Di reruntuhan kota Mosul, di Irak, di luar Iran, seorang veteran menggendong anaknya yang lumpuh.
Ia berbisik:

“Lihat, nak, di langit itu ada asap dari Iran.
Tapi di tanah ini, ada benih gandum yang tumbuh.”

Perang selalu meninggalkan dua warisan:
kepahitan yang diwariskan,
atau kebijaksanaan yang ditanam untuk generasi berikutnya.

-000-

Cermin Retak di Tangan Amerika

Sejarah Amerika dan Eropa menyimpan pola yang menyakitkan:

• Di Vietnam, perang berakhir bukan karena kemenangan,
tetapi karena kelelahan moral. Negara adikuasa seperti Amerika Serikat bisa lelah juga.

• Di Irak, senjata pemusnah massal tak pernah ditemukan.
Padahal Irak dihancurkan dengan alasan yang kelak terbukti tak berdasar.

• Di Afghanistan, dua dekade perang
berakhir dengan penarikan diri AS,
dan kembalinya Taliban. Padahal Amerika pernah mengerahkan segalanya untuk menguasai Afghanistan. Tapi akhirnya, Amerika pun pergi.

Selalu ada yang tak bisa dihancurkan oleh bom:
yaitu sebuah pertanyaan,

“Mengapa kita tak pernah belajar?”

Fatemeh menulis diari:

“Hari ini, duniaku dibom dari langit.
Tapi dari puing itu, aku mulai menanam kembali.
Bukan pohon nuklir,
melainkan pohon toleransi.

Tak ada peta untuk damai,
tapi ada hati manusia
yang ingin hidup tanpa takut.
Dan itu cukup untuk memulai ulang.”

Ada tiga jalan menanti dunia setelah Amerika Serikat mengebom Iran:

1. Jalan api yang membakar.
2. Jalan bisu yang menunggu luka baru.
3. Jalan remang-remang diplomasi yang tak menjanjikan cahaya cepat,
tapi menyelamatkan banyak jiwa.

Di antara semua itu,
hanya satu hal yang pasti:

Manusia yang memegang palu perang,
harus belajar menundukkan dirinya
pada kelembutan.

Dan di Timur Tengah,
tak akan ada kedamaian sejati
tanpa dua negara yang berdaulat dan hidup berdampingan:
Negara Israel dan Negara Palestina.

Berapa banyak lagi kematian yang harus ditunggu,
sebelum dunia menyadari:
Bahwa hidup damai,
dalam kemerdekaan masing-masing,
adalah kompromi yang paling menyejukkan?

Mungkinkah dunia tanpa senjata nuklir benar-benar bisa diwujudkan?

Jakarta, 22 Juni 2025

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement