Oleh Ariady Achmad pada hari Selasa, 29 Jul 2025 - 10:57:05 WIB
Bagikan Berita ini :

Zarof Ricar Divonis 18 Tahun Penjara: Momentum Bersihkan Peradilan dan Teguhkan Martabat Hakim Agung

tscom_news_photo_1753761425.jpeg
(Sumber foto : )

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta resmi memperberat hukuman mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, menjadi 18 tahun penjara, dalam perkara korupsi dan pemufakatan jahat yang mengguncang fondasi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan tertinggi di negeri ini.

Majelis Hakim Banding yang diketuai Albertina Ho, dalam pertimbangannya, tidak hanya menyoroti nilai suap dan gratifikasi yang diterima terdakwa—yakni mencapai Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas—tetapi juga menekankan kerusakan sistemik yang ditimbulkan terhadap wibawa dan moralitas institusi peradilan.

Putusan ini menegaskan bahwa tindak pidana korupsi yang menyeret orang dalam lingkaran Mahkamah Agung adalah kejahatan terhadap keadilan itu sendiri.

🔍 Ketika Pengkhianatan Datang dari Dalam

Zarof Ricar terbukti menjadi mata rantai penghubung antara pihak eksternal—pengacara dan terdakwa tindak pidana berat—dengan oknum internal Mahkamah Agung. Ia tidak hanya menyalahgunakan jabatan strukturalnya, tetapi juga memperdagangkan pengaruh kepada Hakim Agung yang seharusnya menjadi penjaga marwah hukum tertinggi.

Pengkhianatan semacam ini jauh lebih berbahaya dibanding tindak pidana korupsi biasa. Karena ketika lembaga terakhir tempat rakyat menggantungkan keadilan justru menjadi ladang negosiasi transaksional, runtuhlah seluruh sistem norma hukum.

⚖️ Mengembalikan Marwah Hakim Agung

Dalam konteks ini, perlu ditekankan bahwa gelar "Hakim Agung" bukan sekadar jabatan administratif atau simbol hierarkis. Kata "agung" mengandung makna moral yang tinggi: kebesaran jiwa, kejernihan nurani, dan integritas tanpa kompromi.

Hakim agung adalah penjaga nilai keadilan di puncak tertinggi sistem hukum. Ia tidak sekadar mengadili perkara, tapi menjadi teladan moral dan penjaga konstitusi. Integritas seorang hakim agung bukan hanya menyangkut dirinya, tetapi mempengaruhi kepercayaan jutaan rakyat kepada sistem hukum secara keseluruhan.

Dalam kasus Zarof Ricar, meski ia bukan hakim agung secara fungsional, tetapi akses dan kekuasaan strukturalnya menjangkau para pengambil keputusan di level tertinggi. Ini menunjukkan bahwa proses rekrutmen, pengawasan, dan kultur etika di lingkungan Mahkamah Agung perlu direformasi secara menyeluruh.

🔔 Seruan untuk Konsolidasi Etika Yudisial

Putusan ini seharusnya menjadi pijakan awal untuk membersihkan lembaga peradilan, bukan sekadar menyelesaikan satu perkara individual. Penegakan hukum tidak akan berarti tanpa pemulihan kepercayaan publik terhadap para hakim—terutama mereka yang menjabat sebagai hakim agung.

Oleh karena itu:

Komisi Yudisial harus memperkuat pengawasan etik dan moral para hakim secara sistemik dan independen.

Mahkamah Agung harus meninjau ulang seluruh sistem promosi dan mutasi pejabat struktural di lingkungannya.

Pendidikan etika yudisial dan deklarasi komitmen integritas perlu digalakkan terus-menerus sebagai bagian dari code of honor para hakim.

🌱Dari Vonis ke Reformasi

Vonis 18 tahun untuk Zarof Ricar adalah penanda bahwa hukum masih memiliki daya. Namun tugas kita tidak berhenti pada pengadilan. Kita membutuhkan lebih dari sekadar vonis: kita membutuhkan transformasi nilai di dalam lembaga peradilan itu sendiri.

Sudah saatnya kita kembali memuliakan jabatan Hakim Agung—sebagaimana namanya: agung dalam martabat, agung dalam pengabdian, dan agung dalam keberanian menegakkan keadilan yang murni, bukan keadilan yang bisa dibeli.

> "Ketika hukum kehilangan moralitas, maka hakim menjadi algojo kekuasaan; tetapi ketika hukum dijalankan dengan nurani, hakim menjadi pelita keadilan."
—Ariady Achmad

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement