TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, Pernyataan Direktur Utama KAI Bobby Rasyidin yang menyebut utang proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) sebagai “bom waktu” membuka tabir masalah laten dari proyek prestisius ini. Tidak hanya soal pembengkakan biaya dan utang yang menekan arus kas PT KCIC, tetapi juga menyentuh akar persoalan: sejauh mana proses due diligence dilakukan sebelum pinjaman besar-besaran dari China Development Bank (CDB) disepakati?
Skema Pinjaman dan Kelemahan Awal
Sejak awal, proyek KCJB digadang-gadang sebagai proyek kerja sama business-to-business (B2B) tanpa membebani APBN. Namun kenyataannya, pinjaman besar dari CDB mencapai lebih dari 75% biaya proyek dengan tenor panjang dan bunga mengambang.
Pertanyaan kritis yang kini mencuat:
1. Apakah studi kelayakan (feasibility study) realistis?
Banyak pengamat menilai proyeksi penumpang harian terlalu optimistis, tidak memperhitungkan daya beli masyarakat dan preferensi moda transportasi lain.
2. Bagaimana analisis risiko utang dilakukan?
Due diligence semestinya mencakup sensitivitas terhadap kenaikan biaya konstruksi, fluktuasi kurs rupiah, dan potensi cost overrun. Nyatanya, semua faktor risiko itu justru muncul dan membengkakkan utang.
3. Mengapa opsi pembiayaan domestik minim dieksplorasi?
Padahal Indonesia memiliki sumber pembiayaan alternatif, seperti sindikasi bank nasional, penerbitan obligasi, atau bahkan sovereign wealth fund lebih dini. Ketergantungan tunggal pada CDB membuat bargaining position Indonesia lemah.
Minim Transparansi dan Lemahnya Tata Kelola
Dalam banyak proyek infrastruktur, due diligence tidak sekadar teknis, melainkan juga proses governance. Sayangnya, dalam kasus KCJB:
Dokumen perjanjian pinjaman tidak sepenuhnya terbuka untuk publik, bahkan untuk DPR sekalipun.
Risiko kontinjensi (potensi jatuh ke beban APBN) tidak dijelaskan secara detail.
Keterlibatan konsultan independen dalam due diligence finansial minim, karena sebagian besar proses dikendalikan oleh pihak Tiongkok dan konsorsium BUMN.
Hal ini memunculkan dugaan bahwa keputusan lebih banyak didorong pertimbangan politik ketimbang perhitungan finansial yang matang.
Due Diligence yang Tertunda
Kini, setelah kereta cepat beroperasi, ironisnya proses “due diligence” justru dilakukan ex post—yakni setelah proyek selesai dan utang menumpuk. Komisi VI DPR RI menekan KAI untuk memberi klarifikasi, sementara BPI Danantara diminta mencari jalan penyelamatan. Dengan kata lain, apa yang seharusnya dilakukan di awal, kini dipaksa dilakukan di tengah krisis.
Pelajaran untuk Pemerintahan Baru
Pernyataan Bobby Rasyidin bukan hanya alarm finansial, tetapi juga sinyal untuk reformasi tata kelola proyek strategis nasional:
Kewajiban due diligence ketat: Setiap proyek dengan pinjaman asing besar harus melalui audit independen yang transparan, mencakup analisis sensitivitas fiskal dan risiko kontinjensi.
Keterlibatan DPR sejak awal: Bukan sekadar memberi persetujuan formal, tetapi memiliki akses penuh pada dokumen perjanjian utang.
Diversifikasi sumber pembiayaan: Jangan hanya bergantung pada satu kreditur dengan dominasi politik-ekonomi tertentu.
Jika tidak, kasus KCJB berpotensi menjadi preseden buruk—menciptakan “jerat utang” yang membatasi kedaulatan fiskal dan kebijakan transportasi Indonesia di masa depan.
---
ð Jadi, persoalan utama KCJB bukan sekadar soal utang yang membengkak, melainkan minimnya due diligence pada pinjaman awal yang kini berubah menjadi bom waktu.