JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Yahya Zaini menyampaikan keprihatinan atas Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, yang telah merenggut 17 nyawa anak-anak di mana 16 di antaranya tidak pernah menerima imunisasi. Ia menilai, peristiwa ini bukan sekadar persoalan medis, tetapi juga sinyal lemahnya tata kelola sistem imunisasi nasional.
Yahya menyebut Indonesia telah memiliki program imunisasi dasar lengkap yang diberikan gratis. Namun fakta rendahnya cakupan di daerah tertentu menunjukkan adanya kesenjangan serius dalam pelaksanaan, pendataan, dan pengawasan di lapangan.
“Kejadian ini menunjukkan bahwa strategi pencegahan belum berjalan optimal. Imunisasi seharusnya menjadi garda terdepan, tetapi yang terjadi justru langkah reaktif berupa vaksinasi massal setelah kasus menembus ribuan dan korban jiwa berjatuhan,” kata Yahya Zaini, Kamis (28/8/2025).
Seperti diketahui, Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur melaporkan hingga Agustus ini, ada 17 anak yang meninggal akibat campak. Catatan itu membuat pemerintah setempat menetapkan penyebaran campak sebagai kejadian luar biasa.
Sementara data Dinas Kesehatan Jawa Timur mencatat hingga Agustus 2025, terdapat 2.035 kasus terkonfirmasi. Selain di Sumenep, ratusan balita di Bangkalan juga mengalami infeksi campak. Satu di antaranya meninggal dunia.
Kasus campak di Bangkalan didominasi oleh anak-anak berusia 2-3 tahun. Umumnya, mereka mengalami gejala yang serupa seperti demam di hari pertama, keluar bintik-bintik merah di belakang telinga hingga sekujur tubuh. Pada beberapa balita yang terinfeksi campak, biasanya disertai dengan batuk dan pilek.
Terkait kejadian ini, Yahya menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap sistem imunisasi nasional, termasuk aspek pendataan berbasis digital dan real-time untuk melacak anak-anak yang belum menerima imunisasi.
"Serta penguatan peran Posyandu dan kader kesehatan desa agar deteksi dini tidak terlewat,” jelas Legislator dari Dapil Jawa Timur VIII itu.
“Juga perlu dibarengi dengan strategi komunikasi publik dan pendekatan yang berbasis budaya lokal, terutama di daerah dengan resistensi masyarakat akibat mitos atau ketakutan terhadap imunisasi," imbuh Yahya.
Lebih lanjut, pimpinan Komisi Kesehatan DPR tersebut juga mengingatkan agar capaian imunisasi dasar di daerah seperti Sumenep harus sesuai dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024 yang menetapkan cakupan 95 persen. Menurut Yahya, kegagalan mencapai target ini harus menjadi bahan audit nasional, bukan sekadar evaluasi administratif.
"Campak memiliki angka reproduksi (R0) yang sangat tinggi, sehingga keterlambatan vaksinasi berisiko memicu ledakan kasus di wilayah lain," tuturnya.
Oleh karena itu, Yahya mendorong Kementerian Kesehatan bersama pemerintah daerah untuk melakukan audit imunisasi nasional secara terbuka, memperkuat jejaring data kesehatan, serta memastikan keberlanjutan vaksinasi tidak berhenti pada program darurat.
“Setiap anak Indonesia berhak atas perlindungan kesehatan yang setara, tanpa terkecuali," tegas Yahya.
"KLB campak di Sumenep adalah peringatan keras bagi kita semua agar sistem pencegahan menjadi prioritas utama. Negara tidak boleh menunggu wabah meluas dan korban jatuh, baru kemudian bertindak,” pungkasnya.