Oleh Sahlan Ake pada hari Senin, 29 Sep 2025 - 20:17:51 WIB
Bagikan Berita ini :

Ali Wongso Ketum SOKSI: Refleksi 1965, Harapan 2025, dan Astacita Presiden Prabowo

tscom_news_photo_1759152012.jpg
Ali Wongso Sinaga Ketua Umum SOKSI (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Menjelang peringatan 30 September-1 Oktober, Ir. Ali Wongso Sinaga Ketua Umum SOKSI menegaskan kembali jati diri SOKSI sebagai benteng pengawal Pancasila, pelaksana doktrin karya kekaryaan, dan anti-PKI. Namun refleksi kali ini tidak berhenti pada masa lalu 1965, tapi sekaligus harapan 2025 dengan agenda mendukung Astacita visi misi Presiden Prabowo.

Wartawan (W): Bung Ketum,mengapa SOKSI masih menekankan refleksi 1965 hingga hari ini?

Ketua Umum SOKSI (KU): Peristiwa 1965 itu bukan sekadar sejarah, tapi pelajaran berharga. Pada 1965 kita melihat PKI berupaya mengganti Pancasila dengan komunisme. SOKSI yang awalnya singkatan “Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia” didirikan Mayjen TNI (Purn) Prof.Dr. Suhardiman,SE dengan back up Pangad Jenderal TNI (Anm) Achmad Yani, lahir dari rahim TNI AD sebagai benteng ideologis dan sosial politik Pancasila. Dengan doktrin karyawanisme atau karya kekaryaan, SOKSI manunggal Tri Ubaya Cakti-doktrin TNI AD, membuat SOKSI teguh dan militan mengawal Pancasila. Itu warisan Pendiri SOKSI yang kami tak bisa lupa dan harus kami jaga.

W : Apa relevansi sikap anti-PKI di era sekarang?

KU : Relevansinya tetap ada. PKI memang sudah bubar, tapi ideologinya dengan gagasan komunisme gaya baru (KGB) bisa muncul dalam bentuk lain : memanfaatkan ketidakpuasan rakyat akibat maraknya korupsi, kemiskinan, dan ketidakadilan yang ada sementara ini. SOKSI menolak setiap ideologi apapun yang ingin menggantikan Pancasila. Namun kewaspadaan ini tentu rasional, bukan stigma yang mengurangi keterbukaan terhadap kritik sosial membangun.

W: Apakah ada bahaya laten lain diluar KGB?

KU : Ada, utamanya bahaya neo-liberalisme atau neo-kapitalisme. Itu sama seriusnya. Kalau KGB masuk lewat agitasi ideologi, sedangkan neo-liberalisme merusak secara struktural : privatisasi sumber daya, oligarki politik, dan ketimpangan sosial. Ironisnya, ketidakadilan dari neo-liberalisme justru bisa menjadi pupuk bagi KGB. Jadi, bahaya laten kita hari ini bukan hanya komunisme, tetapi juga liberalisme ekstrem yang melemahkan keadilan sosial.

W : Jadi, apa langkah konkret yang SOKSI dorong sebagai harapan 2025 ini kedepan?

KU : Ada delapan agenda utama,
Pertama, UU Perampasan Aset Koruptor. Supaya hasil korupsi aset rakyat yang dirampas para koruptor bukan menjadi modal politik dan ekonomi para koruptor itu, tetapi segera kembali ke rakyat guna mensejahtrerakan rakyat, maka UU itu perlu segera disahkan.

Kedua, Peningkatan pemberantasan korupsi dikalangan Pejabat negara di kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif hingga ke aparatur bawahnya dengan lokomotif pelaksanaan UU Perampasan Aset, seiring UU Tipikor dan aturan UU lainnya.

Ketiga, Reformasi Polri. Polri harus kembali menjadi pelindung rakyat dibidang kamtibmas dan penegakan hukum yang sebenarnya. “No viral no justice, no power no justice, no money no justice” dan “backing illegal bisnis” harus dihentikan dan terjawab dengan pembenahan kultur menyeluruh, pengawasan independen, dan transparansi penuh selain restrukturisasi kelembagaan yang proporsional sesuai tugas fungsi-fungsi pokok Polri.

Sistem Keamanan Nasional juga perlu segera diatur dalam rangka sinergi diantara Polri dan TNI serta rakyat melalui UU Keamanan Nasional (Security Act)

Keempat, Reformasi politik. DPR yang hari ini dirasakan oleh rakyat kurang mewakili rakyat, tapi lebih bagai perpanjangan partai politik dan oligarki, harus ada solusi antara lain mengubah UU bidang politik seperti UU Parpol, UU Pemilu guna mengembalikan kedaulatan ditangan rakyat simultan dengan reformasi konstitusi yang dibutuhkan.

Kelima, Reformasi Konstitusi. Gagasan kembali ke UUD 1945 asli dengan addendum yang perlu, diikuti perbaikan UU turunannya di bidang politik dan ekonomi serta lainnya agar sesuai Pancasila dan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan liberalisasi politik dan ekonomi.

Keenam, Reformasi Hukum menyeluruh. MA, Kejaksaan, dan KPK yang berintegritas, bersih dan efektif ibarat sapu yang mesti bersih agar bisa bersihkan lantai kotor. Penanganan perkara di KPK dan Kejaksaan tidak boleh lagi lamban apalagi jika “mangkrak”.

Kasus “tebang pilih” hingga “kriminalisasi’ perkara sekecil apapun tidak boleh lagi ada. Jika itu terjadi maka pimpinannya harus diberi sanksi seberat-beratnya oleh pimpinan diatasnya.

Kementerian Hukum sebagai benteng utama adalah teladan penegakan kepastian hukum sesuai Astacita ketujuh. Tidak justru membiarkan ketidakpastian hukum dan pelanggaran hukum dilingkungannya sendiri, itu inkompetensi bahkan ironis jika pembantu Presiden malah “kontra misi Astacita” bagai “pembusukan dari dalam”.

Ketujuh, Reformasi Ekonomi. Perkuatan ekonomi kerakyatan melalui Koperasi Merah Putih dan Koperasi lainnya, UMKM, Petani, Nelayan dan padat karya harus jadi prioritas untuk tingkatkan pemerataan ekonomi seiring peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Penerimaan negara yang bertumpu pada pajak rakyat selama ini harus ditransformasi ke pengelolaan summberdaya alam strategis dengan pola kemitraan sesuai Pasal 33 UUD 1945. Keuangan negara harus dibersihkan dari para kleptokrat keuangan selama ini.

Kedelapan, Pendidikan politik bangsa kepada rakyat. Seluruh rakyat harus dibangun kedewasaan politiknya dengan jati dirinya sebagai orang Indonesia, agar mampu memfilter infiltrasi ideologi dan nilai-nilai asing tidak sesuai Pancasila yang masuk melalui media dan lainnya sekaligus guna meningkatkan kualitas partisipasi rakyat, social control dan demokrasi yang berkualitas serta bermartabat.

Simultan dengan itu peningkatan Pendidikan umum perlu perhatian utamanya kesejahteraan dan kualitas guru, beasiswa, sarana sekolah, hingga MBG (makan bergizi gratis) yang sehat dan manajerial.

W: Bagaimana 8 agenda ini terkait dengan kepemimpinan Presiden Prabowo saat ini?

KU : Indonesia menghadapi apa yang Pak Prabowo sebut paradoks Indonesia: negara kaya sumber daya, tapi banyak rakyat hidup miskin; bangsa besar, tapi lemah tata kelola dan kedaulatan ekonomi. Astacita visi Presiden adalah jalan keluar dari paradoks itu. Mulai dari ideologi politik, kedaulatan pangan, energi, pertahanan keamanan, pemerataan ekonomi, penerimaan negara, hingga pemerintahan bersih dan tegaknya kepastian hukum serta pembangunan manusia. SOKSI mendukung penuh Astacita ini, dan delapan agenda itu memperkuat implementasinya.

W: Jadi agenda SOKSI adalah penguatan jalannya Astacita?

KU : Betul. Misalnya, UU Perampasan Aset dan peningkatan pemberantasan korupsi sejalan dengan visi pemerintahan bersih. Perkuatan ekonomi kerakyatan berarti mendukung kedaulatan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Pendidikan politik rakyat berarti membangun manusia Indonesia agar siap menghadapi arus globalisasi. Jadi, SOKSI bergerak bukan hanya menjaga ideologi, tapi juga ikut memastikan program besar bangsa berhasil.

W: Apa pesan SOKSI untuk Presiden Prabowo di tahun pertama pemerintahannya?

KU : Kami berharap menjelang satu tahun kepemimpinannya, Presiden Prabowo akan mengaudit dan mengkonsolidasi teamwork berikut kabinetnya agar benar-benar satu visi, satu misi, satu frekuensi yang solid dan efektif – secara konkret. Tidak ada lagi potensi political decay—pembusukan dari dalam dan bermental korup dan inkompetensi atau tak berinisiatif apalagi yang tidak melaksanakan arahan Presiden dan yang menyimpang dari Astacita. Waktu amat berharga karena rakyat menaruh kepercayaan dan harapan besar. SOKSI mendukung Presiden Prabowo dengan ketegasan itu.

W: Dan pesan SOKSI untuk generasi muda?

KU : Jangan hanya melihat 30 September sebagai kisah kelam, tetapi sebagai pelajaran. Generasi muda harus melanjutkan perjuangan bangsa dengan cara baru : melawan korupsi, menolak oligarki, memperkuat demokrasi yang sehat, serta menjaga Pancasila sebagai ideologi nasional dalam praktik kehidupan sehari-hari dengan terus menerus mengisi diri akan ilmu pengetahuan-teknologi dan skill guna menghadapi tantangan global kedepan. Itulah relevansi refleksi 1965 bagi 2025 dan ke masa depan.

W : Apa clossing statement Ketum?

KU : Sesuai keputusan Munas XII SOKSI Tahun 2022 di Pekanbaru, SOKSI menegaskan diri sebagai “Ormas Ide dan Gerakan Pengabdian Bangsa” dengan Doktrin Karya Kekaryaan sebagai implementasi Pancasila. Karena itu SOKSI berkomitmen sebagai mitra konstruktif Pemerintahan Presiden Prabowo mewujudkan Astacita dan mengawalnya guna merespons optimum paradoks Indonesia menuju Indonesia Emas 2045.

tag: #soksi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement
Lainnya
Berita

Legislator Willy Aditya Berbicara Literasi Bisa Cerdaskan Bangsa, Yakin RUU Perbukuan Dibahas Mulus di DPR

Oleh Sahlan Ake
pada hari Senin, 29 Sep 2025
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya berbicara mengenai literasi harus menjadi pondasi utama dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa. Bagi Willy, literasi bukan sekadar ...
Berita

UMKM Pekalongan Tembus Pasar Global Berkat Dukungan Ekosistem Digital Telkom

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) menegaskan komitmennya dalam mendukung pemberdayaan UMKM. Dalam momentum Hari Bhakti Postel ke-80 tahun ini, Telkom melalui ...