JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Dalam masa satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto, telah empat kali melakukan reshuffle untuk memperkuat efektivitas pemerintahan dan mempercepat pelaksanaan Asta Cita — delapan misi besar pembangunan nasional yang menjadi fondasi visi Presiden menuju Indonesia Emas 2045.
Meski demikian, banyak kalangan menilai, masih diperlukan reshuffle lanjutan untuk menjawab tantangan besar bangsa : pemberantasan korupsi yang berurat berakar, peningkatan daya beli rakyat, dan pengurangan ketimpangan ekonomi - sebuah Paradoks Indonesia.
Untuk membahas isu ini, kami berbincang dengan politisi senior, Ir. Ali Wongso Sinaga, Ketua Umum SOKSI – organisasi pendiri Partai Golkar, mantan Ketua DPP Partai Golkar, dan mantan Anggota DPR RI yang berlangsung di Jakarta, pada Selasa malam (21/10/2025).
“Reshuffle Lanjutan bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan moral dan politik”
Wartawan (W): Presiden sudah empat kali melakukan reshuffle kabinet sejak Oktober 2024. Mengapa publik tetap menyerukan perlunya reshuffle lanjutan?
Ali Wongso (AW) : Presiden Prabowo membawa visi besar untuk menjawab Paradoks Indonesia — ironi dimana negeri kaya sumber daya alam, tapi masih bergulat dengan kemiskinan dan ketimpangan. Untuk menjawab itu beliau menetapkan misi besar Asta Cita.
Rakyat komit pada visi besar dan misi Presiden. Mereka menaruh kepercayaan serta harapan agar dijalankan secara progessif dan konkret. Karena itu mereka inginkan para pembantu Presiden harus perform dan loyal : berintegritas dan kompeten untuk mewujudkan agenda reformasi asta cita sesuai visi besar itu.
Ketika publik melihat ada sebahagian menteri yang melakukan blunder, yang larut dalam rutinitas tanpa membuka terobosan, atau bahkan yang tidak menunjukkan kesetiaan yang sejalan dengan Asta Cita, maka publik memandang mereka itu bukan bagian dari solusi, melainkan beban negara- penghambat harapan rakyat.
Karena itu reshuffle lanjutan bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan moral dan politik untuk memastikan reformasi berjalan nyata, menyentuh akar birokrasi dan tata kelola pemerintahan.
“Kritik publik adalah partisipasi demokratis, bukan pelanggaran”
W : Bukankah reshuffle adalah hak prerogatif Presiden? Apakah etis publik ikut bersuara ?
AW: Benar, itu hak prerogatif Presiden yang diatur Pasal 17 UUD 1945. Namun Pasal 28 E juga menjamin hak warga negara menyampaikan pendapat. Jadi, ketika masyarakat mendorong reshuffle kabinet, itu bukan pelanggaran, melainkan bentuk partisipasi demokratis.
Kedaulatan rakyat tidak berhenti di bilik suara setiap lima tahun. Partisipasi aktif warga negara — termasuk kritik yang santun berbasis data, justru bagian dari tanggung jawab kebangsaan untuk membantu Presiden menilai efektivitas para pembantunya.
“Stagnasi lebih berbahaya daripada risiko reshuffle”
W : Ada pihak menilai reshuffle berulang bisa menimbulkan instabilitas, terlebih jika ketua umum partai politik ikut terkena reshuffle. Apa pendapat Anda?
AW : Reshuffle berulang dengan berbasis evaluasi dan data, justru memperkuat kredibilitas dan legitimasi Presiden. Momen reshuffle yang terlambat justru berpotensi stagnasi yang jauh lebih berbahaya. Sebab bila kabinet tidak menunjukkan hasil kemajuan konkret, kepercayaan publik akan turun.
Kekhawatiran instabilitas itu naif, jikalaupun ada ketua umum partai politik yang terkena reshuffle – tak ada masalah, karena dalam sistem presidensial Pancasila, loyalitas tertinggi adalah kepada konstitusi dan rakyat, bukan kepada partai politik. Diera kini, rakyat sudah makin dewasa, stabilitas nasional lebih bergantung pada integritas, kinerja dan keberanian negara menjalankan misi – bukan karena figur partai. Selain itu soliditas partai dalam satu dekade terakhir ini relatif rapuh sebab umumnya lebih bebasis pragmatisme transaksional, bukan ideologi.
Reshuffle bukanlah hukuman politik, melainkan mekanisme koreksi sistem yang memperkuat integritas, kinerja, dan sinergi kementerian agar pemerintahan kuat dan efektif melaksanakan reformasi Asta Cita Presiden untuk menjawab Paradoks Indonesia.
Tiga bidang strategis paling mendesak : hukum, ekonomi, dan pangan-energi
W: Bidang apa yang paling mendesak membutuhkan pembenahan menurut Anda ?
AW : Ada tiga bidang yang paling mendesak.
Pertama, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Puluhan tahun kleptokrasi yang korup telah menggerogoti sistem hingga merampas masa depan rakyat. Untuk itu dibutuhkan Jaksa Agung, Kapolri, dan Menteri Hukum yang betul-betul berintegritas, kompeten, dan tegas menegakkan hukum tanpa tunduk pada oligarki atau kelompok tertentu. Korupsi dan mafia harus dibasmi.
Semua prakti yang kontra strategi asta cita seperti kriminalisasi hukum di lingkungan Polri dan Kejaksaan tidak boleh terjadi. Praktik begalisasi legalitas badan hukum yang masih marak di lingkungan Menteri Hukum harus diakhiri. Disisi lain, Mahkamah Agung dan KPK diharapkan bergerak sinkron dan sinergis dengan berintegritas dan kompeten untuk menegakkan supremasi hukum dan keadilan.
Agar pemberantasan korupsi dan pemulihan aset negara lebih efektif dan optimal, perlu berbagai terobosan antara lain UU Perampasan Aset, tapi faktanya RUU ini sudah lama tersandera di DPR. Sementara kondisi korupsi saat ini telah mencapai tingkat “kegentingan yang memaksa”, maka sudah saatnya Presiden menggunakan kewenangannya sesuai pasal 22 UUD 1945, menetapkan PERPPU Perampasan Aset. DPR menyetujui PERPPU itu menjadi UU pada masa sidang berikutnya, sebab mereka akan berhadapan langsung dengan suara rakyat.
Negara tidak boleh menari digendang mereka yang resisten terhadap UU Perampasan Aset, seperti taktik mengulur-ulur waktu. Negara harus membuktikan lebih kuat dari mereka, sebab rakyat mendukung Presiden Prabowo - “vox populi vox dei” , suara rakyat suara Tuhan.
Kedua, reformasi ekonomi sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Sistem ekonomi kita masih menyisakan segelintir pihak yang menikmati hasil pembangunan. Karena itu, kementerian di bidang ekonomi harus mampu membuka terobosan di berbagai bidang antara lain pertanian, perdagangan, Industri , perdagangan, ketenagakerjaan, koperasi, UMKM, perbankan hingga pengelolaan sumber daya alam berbasis kemitraan strategis yang memberdayakan rakyat dan menegakkan kedaulatan ekonomi nasional.
Ketiga, ketahanan pangan dan energi.
Swasembada dan kestabilan harga pangan dan energi yang terjangkau daya beli rakyat adalah fondasi negara maju. Kementerian terkait harus diisi para figur berintegritas dan berkompetensi profesional, yang membangun transparansi dan akuntabilitas publik dalam good governance, disertai keberanian memutus mata rantai mafia di bidang pangan dan energi sebagai bagian nyata implemetasi reformasi Asta Cita.
“Pembusukan Politik dari dalam lebih berbahaya daripada oposisi dari luar”
W: Belakangan ini muncul isu pembusukan politik dari dalam atau political decay. Bagaimana Anda memandang itu dalam konteks saat ini?
AW: Ini ancaman serius terhadap Asta Cita. Political decay terjadi ketika pejabat justru menyelewengkan visi-misi Presiden demi kepentingan sempit tertentu. Mereka tampaknya loyal secara verbal dan formal, tapi praktiknya mengkontra asta cita, dan menyimpangkan arah kebijakan yang akumulasinya merongrong kredibilitas Pemerintahan di mata publik.
Tanda-tandanya jelas : ketika hukum dijadikan alat politik dan pejabat lebih sibuk menjaga posisinya daripada melaksanakan misi Asta Cita.
Political decay bukan hanya persoalan individu, melainkan pembusukan sistemik yang berasal dari mentalitas kekuasaan lama - patronase, kompromi transaksional, relasi tak transparan. Bila mata rantai itu tak diputus, reformasi akan kehilangan ruh moralnya, kepercayaan rakyat melemah, birokrasi kehilangan idealisme, dan negara bisa kehilangan arah.
“Pembusukan politik dari dalam, lebih berbahaya daripada oposisi dari luar, sebab ia membusuk dari dalam pemerintahan dan merusak visi dari jantung kekuasaan itu sendiri.” Karena itu reshuffle lanjutan yang diperlukan harus sungguh-sungguh menilai integritas moral dan loyalitas ideologis setiap anggota kabinet terhadap visi besar Presiden Prabowo.
Apresiasi bagi Menteri berprestasi
W: Adakah Menteri menurut Anda yang menunjukkan kinerja baik sejauh ini ?
AW: Ada, antara lain, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, yang dipercaya untuk memulihkan aset strategis negara meliputi jutaan hektare hutan, perkebunan sawit, dan tambang mineral ilegal yang ditandai tantangan berat menghadapi resistensi oligarki. Ia berhasil baik dan masihakan terus berkelanjutan diikuti pengelolaannya yang bermanfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat kedepan oleh BUMN.
Kemudian Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, meski baru diangkat namun telah membawa harapan baru bagi publik, melalui berbagai terobosan pengelolaan fiskal yang menutup potensi kebocoran dan inefisiensi, kemauannya memberatas mafia pajak dan bea cukai serta mendorong ekonomi yang lebih efisien, produktif, inklusif, transparan,dan berkeadilan, dimana uang negara bekerja untuk rakyat – bukan hanya untuk menjaga neraca.
Publik mengapresiasi tiap pejabat yang jujur, berani, transparan, akuntabel,sinergis ,inovatif. Ia patut dijadikan tolok ukur bagi menteri lain. Sebaliknya yang resisten kepadanya, publik layak menduganya berpotrensi masalah.
“Meritokrasi adalah obat mencegah political decay” dan alat Asta Cita
W : Ada pandangan bahwa hak prerogatif Presiden sebaiknya dijalankan berbasis meritokrasi, bukan koneksi, apa pendapat Anda ?
AW : Reshuffle itu mutlak hak prerogatif Presiden, tapi idealnya dijalankan dalam semangat meritokrasi — berbasis integritas dan kompetensi problem solving oriented yang teruji demi mewujudkan visi besar Presiden. Dengan demikian, tidak akan ada lagi figur di kabinet berupa bagian dari problem atau beban Presiden kedepan tetapi justru menjadi “problem solver”.
Presiden berhak memilih siapa pun, tentu harus mencerminkan bahwa jabatan publik adalah amanah integritas sekaligus profesional. Kedekatan pribadi atau hadiah politik boleh ada, asal tidak menegasikan prinsip utama meritokrasi.
“Tanpa meritokrasi, hak prerogatif mudah tergelincir menjadi patronase kekuasaan. Dengan meritokrasi, ia justru menjadi obat mencegah political decay sekaligus alat kenegarawanan guna menegakkan Asta Cita untuk menjawab Paradoks Indonesia.”
Pesan untuk Presiden
W : Apa pesan Anda bagi Presiden ?
AW: Presiden Prabowo kita kenal tegas dan berpikiran strategis. Kini saatnya ketegasan itu dilanjutkan secara sistemik - memperkuat hukum, memberantas mafia dan korupsi, memastikan birokrasi bekerja secara transparan, akuntabel, merakyat, dan berbasis prestasi.
Reshuffle lanjutan berbasis integritas, dan kompetensi dan loyalitas terhadap Asta Cita akan menjadi titik balik – bukan soal frekuensi, tapi soal seberapa nyata perubahan yang dirasakan rakyat.
“Sejarah tidak akan mencatat berapa kali reshuffle dilakukan, tetapi sejauh mana langkah Presiden mengembalikan pemerintahan pada konstitusi dan nurani rakyat untuk penguatan Asta Cita menjawab Paradoks Indonesia.”