JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - DPR dan praktisi pertembakauan menengarai penetapan harga rokok sebesar Rp 50 ribu/bungkus yang kini diwacanakan oleh pemerintah akan memicu gonjang-ganjing politik. Di samping rendahnya keberpihakan terhadap petani tembakau, gonjang-ganjing itu juga muncul sebagai bentuk kepanikan pemerintah mengatasi defisit anggaran.
Pandangan tersebut mengemuka dalam diskusi dialektika demokrasi berjudul ‘Rokok, Pajak dan Nasib Petani Tembakau’ di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (25/8/2016). Hadir dalam diskusi ini Anggota Komisi XI DPR RI Mokhamad Misbakhun, politisi Partai Gerindra Heri Gunawan, Pimpinan Pergerakan Perlawanan Petani Tembakau dari LIPI Mohamad Sobary, dan Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pamudji.
Misbakhun menengarai survei kenaikan rokok menjadi Rp 50 ribu/bungkus yang diprakarsai oleh Universitas Indonesia (UI) untuk kepentingan asing, dan terbukti dibiayai oleh Bloomberg sekitar Rp 4,5 miliar. Menyikapi hal tersebut, lanjut dia, pemerintah harus hati-hati mengambil kebijakan, dengan tidak hanya mendasarkan kepada survei segelintir orang dan dibiayai asing.
“Dampak dari harga rokok Rp 50 ribu/bungkus sangat luas. Yang (terdampak) sebanyak 6,2 juta orang. (Di dalamnya) menyangkut petani, anak istri, keluarga, buruh pabrik, pedagang asongan dan sebagainya. Selama ini kontribusi rokok kepada negara sangat besar, yaitu Rp 145 triliun. Jadi, pemerintah harus bijaksana karena rokok itu menyangkut hajat hidup orang banyak," papar Misbakhun.
Menurutnya, setiap kenaikan cukai tidak selalu identik dengan penerimaan negara, karena selalu lahir banyak pabrik rokok ilegal.
“Lalu kenapa isu ini diopinikan seolah-olah tak ada kepentingan tembakau di Indonesia. Untuk itu DPR membahas RUU Pertembakaun guna menjaga kepentingan petani tembakau,” tegasnya.
Sementara itu, Heri Gunawan menganggap, isu harga rokok Rp 50 ribu/bungkus akan memicu gonjang-ganjing politik. Sebab, isu ini merupakan bentuk kepanikan pemerintah dengan langsung merespons hasil survei UI tentang harga rokok. Padahal, jumlah rokok ilegal yang beredar mencapai 11 %.
“Pabrikan rokok kita dulu mencapai 4.600-an, tapi kini tinggal 700-an,” terang Waketum HKTI ini.
Pertanyaannya, kata Heri, apakah dengan berkurangnya pabrikan itu lalu jumlah perokok dan rokok berkurang?
Selanjutnya, Heri khawatir isu kenaikan rokok sebagai tes di masyarakat di tengah kebuntuan pendapatan pajak dan defisit anggaran. Pajak dari cukai rokok mencapai Rp 146 triliun (2015-2016), sementara dari 100 BUMN hanya menperoleh Rp 30 triliun.
Oleh sebab itu, kata Heri, terlalu sembrono dan gegabah bila pemerintah tiba-tiba merespons survei UI tersebut.
“Gerindra akan menolak kalau pemerintah akan menaikkan harga rokok hanya berdasarkan survei,” tegas ketua DPP Partai Gerindra ini.
Heri meminta pemerintah tidak membuat ‘kegaduhan’ baru di tengah defisit anggaran dan tax amnesty yang jauh dari harapan.
Mohamad Sobary menegaskan, dirinya akan terus melakukan perlawanan bersama petani tembakau. Tembakau, kata dia, sama dengan kopra yang diserang oleh AS, tapi AS sendiri justru memproduksi di negaranya.
“Sejak BJ.Habibie sudah ada lobi-lobi dan diakomodasi dengan menerbitkan Keppres. Tapi, ketika Gus Dur Presiden RI, Keppres itu ditunda pemberlakuannya untuk membela petani tembakau,” katanya.
Hanya saja Keppres itu kemudian kembali diberlakukan oleh Megawati, lalu dicabut oleh SBY.
Semua aturan soal rokok, menurut Sobary, bertujuan untuk ‘membunuh’ petani tembakau.
“Survei UI terhadap 1.000 orang itu sengaja untuk memengaruhi kebijakan pemerintah. Seperti Snouck Hurground yang menyentuh Aceh justru untuk membunuh orang Aceh. Dan semua aturan rokok ini untuk kepentingan asing,” tegasnya.
Sementara itu, Pamudji mengatakan isu kenaikan harga rokok merupakan pukulan terhadap bangsa, khususnya bagi petani tembakau di 14 provinsi. Untuk itu, semua petani menolak kenaikan harga rokok karena akan mnejadi pembunuhan massal terhadap mereka.
“Padahal, rokok ini penyumbang terbesar di APBN, APBD dan masyarakat. Harus ada kejelasan keberpihakan negara kepada petani melalui UU dan menaikkan cukai dari 2 % menjadi 20 % untuk kepentingan pemberdayaan petani,” katanya. (plt)