JAKARTA (TEROPOSENAYAN)--Keputusan pemerintah menaikkan harga BBM dan listrik serta biaya STNK dan BPKB mendapat kritik tajam pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Jawa Barat, Asep Warlan Yusuf. Menurut dia tak seharusnya pemerintah mengambil keuntungan dengan kenaikan tersebut.
Asep Warlan menegaskan, bersama sandang dan papan, kini listrik, BBM, STNK dan BPKB sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Menurut dia, menjadi tugas negara dan pemerintah menyediakan dan melayani kebutuhan dasar warganya bukan malah mengambil keuntungan yang membebani rakyat.
“Yang namanya listrik, BBM dan berbagai bentuk pelayanan negara terhadap publik adalah komponen dasar yang sangat penting dalam bernegara, termasuk juga mengendalikan harga-harga kebutuhan pokok mulai dari pangan, sandang dan papan. Maka tidak seharusnya pemerintah mencari keuntungan dari layanan tersebut dengan menaikan berbagai macam pungutan dari rakyat,” ujar Asep ketika dihubungi, Minggu (8/1/2017).
Ditambahkan oleh Asep, pemerintah tidak bisa mengatakan tidak mau melayani kalau rakyat tidak mau membayar lebih seperti kebijakan pemerintah saat ini. Sebab, di seluruh dunia pajak adalah komponen penting dalam pembiayaan, tapi tidak bisa jika rakyat tidak sanggup membayar maka rakyat tersebut tidak dilayani.
"Tidak boleh mengkaitkan pelayanan negara dengan pendapatan negara dengan pola pikir seperti itu. Pelayanan publik malah kalau perlu di subsidi seperti di negara maju sekalipun,” tambahnya.
Kalau memang diperlukan, menurut Asep, negara bahkan bisa memangkas berbagai hal seperti belanja pegawai, investasi dan lain sebagainya demi untuk mempertahankan atau meningkatkan pelayanan publik. Menurut dia, negara boleh mengurangi belanja langsung untuk meningkatkan atau mempertahankan pelayanan publik tapi tidak boleh membebani rakyat dengan menaikan pelayanan itu.
Rakyat, tegas dia, juga tidak akan teriak kalau kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya seperti keadilan dan hukum bisa ditegakkan, dan tidak tumpul terhadap kawan tapi tajam sekali terhadap lawan. Rakyat tidak akan teriak jika kesejahteraan bisa diraih.
”Rakyat teriak itu karena memang pemerintah tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar akan keadilan, kesejehateraan dan lain sebagainya. Jangankan merealisasikan berbagai janji, sekedar menjalankan aturan yang ada saja, nampakya pemerintah kedodoran,” tegasnya.
Dengan sikap pemerintah yang seperti ini menurut Asep wajar jika sekarang rakyat kemudian teriak karena kondisi kehidupan yang bukan membaik tapi malah mundur ke belakang. Pemerintah menurutnya tidak akan bisa membungkam suara rakyat jika rakyat susah dan lapar. Dia mengingatkan hal ini sebagai persoalan serius. Pemerintah tidak bisa menuduh pihak-pihak yang kritis sebagai pihak yang ingin makar.
”Rakyat teriak itu normal perut mereka lapar. Jangankan rakyat, ketika banyak pengamat yang dulu 'kelaparan' kini mendapatkan jabatan, kita bisa melihat betapa tenangnya sekarang mereka. Jadi kenyangkan saja rakyat, maka dia akan diam. Sama seperti para aktivisi, pengamat dan yang dulu sangat kritis dan kini ada dilingkaran satu istana sekarang diam karena sekarang mereka sudah kenyang,” sindirnya.
Rakyat menurutnya tidak akan mengkritik dan pemerintah tidak perlu khawatir dengan teriakan rakyat seperti di sosial media dan media anti main stream kalau pemerintah sekarang bertindak benar. Tapi, menurut dia, kenyataannya pemerintah sekarang seperti tidak punya arah. Bahkan, nama-nama besar di kabinet yang dikatakan orang terbaik seperti Sri Mulyani saja dia nilai seperti bingung.
“Dimana terbaiknya kalau sekedar memotong anggaran,menaikan pajak dan lain-lain? Kita mau orang terbaik seperti Sri Mulyani itu mencari solusi yang tidak membebani rakyat. Kalau caranya seperti ini, maka anak sekolah juga bisa jadi menteri keuangan,” imbuhnya lagi.
Rakyat, tegasnya lagi, ingin pemerintah menguasai substansi permasalahan dan agar pemerintah menguatkan konsolidasi. Pemerintah sebaikya jangan berbicara akibat, tapi bagaimana mencegah penyebabnya untuk mengurangi resiko. Pemerintah harus bisa menciptakan kembali harapan karena sekarang rakyat sudah kehilangan harapan.
“Orang banyak mengkritik, media sosial ramai, kaum nasionalis teriak sehingga harus ditangkap dengan tuduhan makan dan sebagainya itu kan akibat (bukan sebab-red). Tapiapa penyebabnya untuk mengurangi resiko. Sebabnya itu seperti pemerintah tidak efektif, tidak konsisten, tidak taat aturan dan sebagainya. Berbagai kebijakan juga tidak efektif, pembentukan tim saber pungli, pembangunan kereta cepat, apa efeknya? Ini harusnya jadi pemikiran serius,” tandasnya.
Seperti diketahui pemerintahan Jokowi menaikan tiga harga pelayanan publik seperti listrik, BBM dan biaya pembuatan STNK dan BPKB sebagai kado tahun baru. Hal ini menimbulkan kritik dimana-mana. Anehnya Jokowi sebagai presiden dan yang menandatangani PP yang menaikan biaya pembuatan STNK dan BPKB pun mengaku tidak tahu seperti halnya Kapolri dan Menkeu. Namun hal itu dibantah oleh Wapres Jusuf Kalla karena menurutnya semua sudah terkoordinasi antara Presiden, Menkeu dan Kapolri.(dia)