Opini
Oleh Saiful Anam (Advokat Konstitusi, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia) pada hari Rabu, 15 Feb 2017 - 07:15:55 WIB
Bagikan Berita ini :

Conflict of Interest MA dalam Permohonan Fatwa Status Ahok

76SaifulAnam.jpg
Saiful Anam (Advokat Konstitusi, Kandidat Doktor Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Indonesia) (Sumber foto : Istimewa)

Muncul banyak sekali perdebatan pasca Ahok kembali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, setelah selama 3,5 bulan Ahok menjalani cuti di luar tanggungan Negara untuk kepentingan Kampanye dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Perdebatan itu berpangkal pada adanya tafsir ganda atas makna yang terkandung dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Setidaknya menurut pengamatan penulis terdapat 3 (tiga) tafsir yang berbeda atas Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 tersebut apabila dihubungkan dengan status Ahok yang hingga saat ini menyandang sebagai Terdakwa dalam dugaan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP.

Tafsir pertama adalah versi Kemendagri yang pada intinya pemberhentian sementara Ahok adalah menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum, mengingat (Ahok) didakwa dengan 2 (dua) pasal yakni Pasal 156 dan 156a KUHP, yang masing-masing ancaman hukumannya berbeda-beda. Pada pasal 156 menyebutkan ancaman penjara paling lama 4 (empat) tahun, sedangkan 156a menyebutkan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun. Sehingga pelaksanaan Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 harus menunggu sampai adanya Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, apabila Jaksa mendakwa pasal 156, maka Ahok tidak diberhentikan sementara, akan tetapi apabila Jaksa mendakwa Ahok dengan Pasal 156a, maka ahok akan diberhentikan.

Tafsir kedua adalah menurut Mahfud MD yang juga hampir sama dengan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, yang pada intinya dengan berdasar pada Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 setuju dan sepakat untuk memberhentikan sementara Ahok, meskipun Mahfud MD menambahkan dengan pilihan Perpu bagi Presiden. Adapun yang menjadi alasan ketiganya adalah Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014, telah jelas dan tidak dapat diftafsirkan lagi, bahwa kepala daerah berstatus terdakwa diberhentikan sementara jika ancaman hukuman atas kasusnya paling singkat lima tahun.

Tafsir yang ketiga adalah oleh Refly Harun yang pada intinya menyatakan Pertama, Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 tidak dapat diterapkan kepada Ahok, dikarenakan makna paling singkat dalam Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 tidak mencakup Pasal 156a KUHP yang didakwakan kepada Ahok, mengingat pengertian makna paling singkat lima tahun sudah pasti termasuk jenis kejahatan atau tindak pidana berat, bukan tindak pidana ringan atau tindak pidana menengah yang ancaman hukumannya kurang dari atau paling lama lima tahun.

Selain itu yang Kedua menurut Refly, Rumusan Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 berkenaan dengan frasa “perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia” bersifat multitafsir, sehingga tidak dapat dikenakan kepada Ahok, mengingat menurut Refly Pasal tersebut bersifat subjektif dan hingga saat ini belum ada institusi yang bisa menilai dan mengatakan hal tersebut.

Namun atas perbedaan pendapat tersebut, Mahfud MD dan Refly Harun sependapat terhadap alasan dan argumentasi Kemendagri yang menyatakan tidak memberhentikan sementara Ahok karena menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum adalah alasan yang tidak tepat dan keliru. Hal itu mengingat menurut keduanya sudah jelas Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 kepala daerah berstatus “Terdakwa” bukan “Tertuntut”. Sehingga dengan demikian alasan Kemendagri menurut hukum tidak dapat dibenarkan menurut keduanya.

Kemudian disisi yang lain, juga terdapat beberapa usulan Permintaan Fatwa terhadap adanya perbedaan tafsir atas Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 kepada Mahkamah Agung RI. Ternyata melalui usulan ini direspon dengan cepat oleh Pemerintah, terbukti muncul beberapa pemberitaan di media bahwa Presiden mengintruksikan kepada Mendagri untuk meminta pendapat hukum terkait dugaan kasus yang menjerat Ahok. Hingga pada akhirnya Mendagri Tjahjo Kumolo pada hari Selasa tangal 14 februari 2017 bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali untuk menyampaikan surat permohonan pendapat hukum kepada MA tersebut.

Bola Panas Berpindah
Atas permohonan Fatwa MA oleh Mendagri tersebut tentu bola panas akan berpindah kepada MA, mengingat atas inisiatif tersebut berdasarkan analisa penulis setidaknya akan menimbulkan beberapa problem hukum.

Pertama, Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kemendagri akan dinilai ragu-ragu dan tidak konsisten, sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kebijakan yang diambil sebelumnya terkait dengan pemberhentian sementara Ahok yang menyatakan menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana telah diurai diatas. Padahal jelas menurut Pasal 9 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan “Ketiadaan atau ketidakjelasan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB”

Kedua, Mahkamah Agung dalam hal ini juga harus berhati-hati terhadap permohonan Fatwa oleh Kemendagri, mengingat terhadap sikap Kemendagri sebelumnya yang mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur, juga telah digugat oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang terregister dengan Nomor Perkara 36/G/2017/PTUN.JKT tertanggal 13 Februari 2017.

Atas gugatan tersebut tentu akan memunculkan konsekwensi hukum apabila Mahkamah Agung mengeluarkan Fatwa terkait permohonan yang dimohonkan oleh Kemendagri, hal itu tentu akan mengganggu independensi dan beban psikologis Hakim PTUN Jakarta yang akan memeriksa dan mengadili atas perkara 36/G/2017/PTUN.JKT, mengingat antara Fatwa MA yang akan mungkin dikeluarkan dengan pokok perkara yang dipersoalkan dalam perkara 36/G/2017/PTUN.JKT adalah hampir sama, sehingga akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) MA dalam mengeluarkan Fatwa yang dimintakan oleh Kemendagri terhadap status Gubernur Ahok.

Ketiga, Apabila Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa yang diminta oleh Kemendagri, maka akan dinilai telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan cara melampaui wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Sehingga apabila hal tersebut terjadi, maka akan berpotensi terhadap adanya gugatan oleh pihak yang berkepentingan atas penyalahgunaan wewenang dengan cara melampaui wewenang oleh MA, atau hal lain juga berpeluang dilakukannya kontrol oleh lembaga Parlemen ataupun people power atas penyalahgunaan wewenang oleh MA tersebut.

Jalan Keluar
Pemerintah dalam hal ini Kemendagri menurut saya harus konsisten atas tindakan yang diambilnya terkait pemberhentian sementara Ahok. Apabila memang Pemerintah meyakini atas pandangan yang pada intinya pemberhentian sementara Ahok adalah menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum, maka biarlah hal tersebut menjadi pijakan dan pilihan hukum pemerintah dengan segala konsekwensi hukumnya.

Selain itu terhadap banyaknya tafsir yang diberikan masyarakat luas, maka tafsir tersebut harus diposisikan sebagai Doktrin (pendapat) hukum yang tidak bersifat mengikat.

Kemudian terhadap adanya rencana hak angket yang dilakukan oleh DPR, maka hal tersebut harus dipandang merupakan hak DPR, yang mau tidak mau harus dihadapi dengan argumentasi hukum Pemerintah sebagaimana telah diambil sebelumnya.

Terhadap adanya gugatan ke PTUN oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) atas status Ahok tersebut, maka biarlah percayakan kepada Pengadilan untuk menilai atas gugatan tersebut. Pada saatnya nanti akan ada Putusan resmi Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat yang harus dihormati oleh semua kalangan.

Selain itu terhadap banyaknya tafsir liar atas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersbut, maka saya menyarankan agar menyudahi perdebatan dengan cara menempuh jalur uji materi (Judicial Review) kepada Mahkamah Konstitusi, untuk dapat memastikan kebenaran atas tafsir konstitusional atas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut.

Harapannya melalui jalan keluar sebagaimana tersebut diatas, yakni dengan mempercayakan kepada lembaga-lembaga yang berwenang sesuai dengan kewenangannya, tentunya dengan tidak menghilangkan kontrol sosial atas kewenangan yang dijalankan oleh lembaga berwenang tersebut, diharapkan keributan, saling tuduh, saling menyalahkan dan saling marah dapat terhindarkan. Bukankah kita hidup untuk mencari kebahagiaan.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #ahok  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...