Berita
Oleh Bani Saksono pada hari Rabu, 09 Agu 2017 - 11:20:31 WIB
Bagikan Berita ini :

Libatkan Perguruan Tinggi Untuk Kawal Dana Desa

26MUKHAER PAKKANNA.jpg
Mukhaer Pakkanna, ketua Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Perguruan Tinggi Muhammadiyah [AFEB-PTM] (Sumber foto : dok/TeropongSenayan)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) – Untuk mengurangi risiko kasus korupsi dan manipulasi, kehadiran dana desa harus dikawal pengawas dan pendamping yang kompeten. Namun, pendamping dan pengawas itu jangan berasal dari desa yang sama, tapi bisa dari kalangan perguruan tinggi.

Hal itu diungkapkan Ketua Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (AFEB) Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) Mukhaer Pakkanna. “Dalam konteks pendampingan dan pengawasan harus berasal dari tenaga-tenaga yang handal dan kompeten serta tidak boleh berasal dari padepokan yang sama dengan pelaksana,’’ kata Mukhaer.

Menurut Mukhaer yang juga Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta, setidaknya ada tiga akar persoalan banyaknya kasus korupsi dana desa. Pertama, ketidaksiapan mental dan moral aparat desa menerima dana miliaran rupiah. Kedua, pelaksana, baik para tenaga pendamping dan pengawas penyaluran dan pengelolaan dana desa berkongkalikong.

Ketiga, masih banyaknya celah hukum yang tidak sinkron dari sisi kebijakan. Kendati sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri PDTT, Mendagri dan Menkeu, kata Mukhaer, dari sisi pelaporan dan akuntabilitas akuntansinya belum sepenuhnya tersosialisasi ke aparat desa.

Terkait hal tersebut, kata Mukhaer, perlunya sebuah pengawasan yang akurat terhadap penyaluran dana tersebut. Jika tidak diawasi dengan optimal, akan menjadi biang bancakan baru. Korupsi makin menjadi virus yang terdistribusi hingga ke desa-desa. “Aparat desa kalau tidak hati-hati akan memenuhi hotel prodeo,” tuturnya, Rabu [9/8/2017].

Sejak dana desa mulai disalurkan pada 2015, pemerintah telah menggelontorkan dana ke desa-desa. Pada 2015, disalurkan sebesar Rp20,76 triliun. Setahun kemudian, jumlah itu ditambah menjadi Rp46,98 triliun. Pada 2017, anggarannya dinaikkan lagi menjadi Rp 60 triliun. Bahkan, tahun 2018 akan bertambah dua kali lipat menjadi Rp120 triliun.

Ironisnya, besarnya anggaran untuk Dana Desa tersebut tidak dikuti pesatnya penurunan angka kemiskinan. ‘’Kasihan, anggaran sudah naik Rp60 triliun, tapi penurunan kemiskinan desa hanya 0,12 persen. Itu tidak adil,’’ papar Mukhaer.

Diakui Mukhaer, sejak awal pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, telah muncul kecurigaan terhadap potensi bancakan dana desa itu. Tidak mengherankan, jika KPK menyebutkan, tiga tahun program ini berjalan, laporan dugaan penyelewengan dana desa yang masuk telah menembus 362 laporan. ‘’Oleh karena itu, diperlukan adanya perbaikan pada aspek regulasi, tata laksana, pendampingan, pengawasan, dan sumber daya manusia,’’ kata Mukhaer yang juga wakil ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan [MEK] PP Muhammadiyah.

Karenanya, Mukhaer berharap pemerintah mau melibatkan kalangan perguruan tinggi dalam program itu. Sebab, perguruan tinggi tentu saja memiliki kapasitas dan kompetensi, keahlian, sumber daya manusia, dan jaringan yang luas. “Semuanya harus transparan, tidak semata hanya membuat laporan yang terpampang di balai desa dan situs desa, tapi sejak proses hulu hingga hilirnya harus terbuka. Siapa pelaksana, siapa pendamping, siapa pengawas, harus jelas kerja dan manfaatnya,’’ ujarnya. [b]

tag: #dana-desa  #muhammadiyah  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement