KINI saatnya eksponen bangsa mengawasi secara ketat kebijakan pemerintah, baik di tingkat Presiden, menteri, pejabat eselon I, II, dan seterusnya. Juga para kepala daerah seperti gubernur dan bupati-walikota di daerah.
Sebab, ditengarai kini banyak pejabat mulai berani dan terang-terangan melanggar berbagai produk hukum, termasuk undang-undang. Contohnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Saad mengaku sadar telah melanggar UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
Pelanggaran hukum itu jangan dianggap remeh sebab bisa jadi para pejabat pemerintah akan berlomba-lomba melakukan pelanggaran hukum. Yang harus dicermati adalah tendensi dan dampak dari pelanggaran tersebut. Pelanggaran terhadap UU Minerba misalnya, lebih banyak dnikmati oleh para kapitalis investor yang tak ingin keuntungannya dikurangi atau usahanya terancam.
Pelanggaran itu sebetulnya sudah berlangsung saat Menteri ESDM-nya Jero Wacik di bawah Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. Pelanggaran kembali diulangi oleh penggantinya, yaitu Sudirman Saad.
Begitu geramnya, bekas koordinator barisan relawan Jokowi for President (Bara-JP) Ferdinand Hutahaean menuding pelanggaran UU Minerba itu tidak mungkin serta-merta. Artinya, terjadinya pelanggaran hukum itu tidak cuma-cuma, tapi diduga ada unsur suap atau tekanan asing.
Selain suap, diduga juga sudah merugikan keuangan negara atau potensi keuntungan yang bakal diterima negara. Yang lebih parah lagi, masyarakat yang akan menderita menanggung dampak dari pelanggaran hukum tersebut. Kedaulatan negara digadaikan.
Masih banyak lagi pejabat lainnya yang melanggar undang-undang. Banyak cara bisa ditempuh untuk tak sekadar mengingat, tapi juga mengoreksi pelanggaran hukum tersebut.
Lewat class action (gugatan perwakilan kelompok), citizen law suit (gugatan warga negara), actio popularis (gugatan warga negara terhadap penyelenggara negara),judisial review (uji materi produk hukum). Secara politis, DPR juga DPRD, bisa menggunakan hak yang dipunyai, seperti hak angket dan hak interpelasi. Jika teguran dan peringatan itu tak juga meredakan sikap para penyelenggara negara, bisa saja langkah terakhir yang ditempuh, yaitu memakzulkan atau impeachment. (b)