Opini
Oleh Ifa Mufida ( Pemerhati Masalah Sosial) pada hari Minggu, 03 Mar 2019 - 16:42:25 WIB
Bagikan Berita ini :

Karhutla, Kenapa Tak Kunjung Usai?

tscom_news_photo_1551606145.jpg
Ilustrasi (Sumber foto : ist)

Karhutla, kebakaran Hutan dan Lahan Gambut nyata masih menjadi problematika yang tak kunjung usai.Untuk kesekian kali, ratusan ribu hektar hutan dan lahan gambut yang memiliki fungsi penting bagikehidupan kembali terbakar. Kebakaran ini tercatat di wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, hingga
Papua. Karhutla ini bisa dipastikan akan berdampak pada kerusakan lingkungan yang mengerikan danbanyaknya polutan berbahaya.

Kenyataan ini berbanding terbalik dengan statement Presiden Indonesia sekaligus Capres nomor urut01, beliau menyatakan bahwa tidak ada kebakaran hutan selama 3 tahun terkahir pada debat kedua
pilpres 2019 yang berlangsung pada Ahad (17/2/2019). Namun statement tersebut ditanggapiGreenpeace Indonesia, lantas menuliskan bantahannya melalui kicauan di akun Twitter @GreenpeaceID.
Greenpeace mengungkapkan bahwa faktanya kebaran hutan besar terjadi pada 2015 dan masih terusterjadi hingga saat ini. Bahkan sampai hari ini pun masih terjadi kebakaran hutan dan berakibat fatalbagi warga sekitar.

Terbantahkan sudah klaim petahana menanggapi isu tersebut. Sebaliknya fakta yang terindra tidaksemanis janji, hanya omong kosong belaka. Nyatanya karhutla masih terus terulang. Terjadinya karhutla
yang terus berulang menjadi bukti, rezim dengan berbagai program neolibnya gagal mengatasikebakaran hutan dan lahan gambut. Kalau diamati lebih jauh, harus diakui webahwa pemerintah memiliki
peran sentral terjadinya karhutla ini. Pasalnya, pemerintah lah yang telah memberikan hak konsesikepada sejumlah perusahaan kelapa sawit.

Padahal, betapa bahanyanya tindakan pemerintah yangmemfasilitasi kapitalisasi lahan dan hutan gambut ini dengan pemberian hak konsesi kepada sejumlahkorporasi sawit. Bahkan tindakan ini dikategori sebagai pintu kejahatan. Pasalnya, seperti tahun-tahun
sebelumnya, pada tahun ini pun puluhan hingga ratusan titik api ditemukan justru di wilayah konsesi.Dalam kondisi perekonomian kapitalis yang serba liberal saat ini, dengan alasan demi kepentinganekonomi, jutaan hektar hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada swasta.

Padahal itulah yangmenjadi salah satu akar masalahnya. Akibat diserahkan kepada swasta, pihak swasta akan berusaha
mencari cara termurah tapi menguntungkan saat melakukan pengolahan lahan gambut. Maka tak heranjika pembakaran hutan menjadi pilihan untuk mengawali pembukaan lahan guna mengembangkan
usahanya. Apakah itu akan merugikan rakyat sekitarnya ataukah akan merusak alam dan kesimbanganekosistem, hal itu tak lagi dipersoalkan. Di sinilah, bahaya yang muncul yang seharusnya bisa dicegah.

Maka jika masih berada dalam paradigma kapitalis yang masih mengedepankan keuntungan semata,karhutla mustahil bisa diakhiri secara tuntas.Tragisnya lagi, meski sudah begitu nyata dampak dan bahayanya, pemerintah justru mendukungkorporasi milik lahan sawit berskala besar. Korporasi tersebut meliputi Wilmar Group, Darmex Agro
Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC). Bahkan, berdasarkan data yangdiperoleh CNNIndonesia.com, Wilmar Group mendapatkan nilai subsidi terbesar, yakni Rp4,16 triliun.Padahal, setoran yang diberikan Wilmar Group hanya senilai Rp1,32 triliun.

Ada dua tindakan berbahaya yang dilakukan rezim neoliberal, yakni pemberian hak konsesi, dandiadopsinya agenda hegemoni Climate Change berkontribusi satu sama lain menjadi biang penyebabpetaka Karhutla. Dua tindakan ini juga sekaligus mencerminkan bahwa rezim hari ini adalah pelayankorporasi dan kepentingan kafir penjajah. Buah pahit ketika rezim hadir sebagai pelaksana sistem
kehidupan sekuler, khususnya sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalisme.

Jika para ahli dan aktivis lingkungan telah menilai akar masalah dari kebakaran lahan adalah kerusakanekosistem lahan gambut, yakni karena terjadi alih fungsi di lahan yang sangat mudah terbakar, makasolusi pencegahan untuk masalah kabut asap ini adalah berupa pengelolaan lahan gambut dengan tepat.

Lahan gambut adalah karunia Allah, maka kembalikan pengelolaannya sesuai dengan apa yang diperintahkan-Nyabukan disesuaikan dengan kepentingan liberal. Saat ini, penguasaan dan pengerukan
kekayaan hanya oleh segelintir orang saja sebagaimana fakta yang selama ini terbaca.
Di dalam pandangan Islam, hutan dan lahan gambut yang memiliki fungsi ekologi penting bagikehidupan orang banyak sehingga dikategorikan sebagai harta milik umum. Rasulullah Saw bersabdayang artinya, ‘Manusia itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api’ (HR Abu Dawud
dan Ahmad).

Negara berfungsi sebagai raa’in (pemeliharan urusan rakyat). Dalam hal ini sebagai pihak
yang bertanggung jawab penuh dalam pengelolaan hutan dan lahan gambut sehingga hak setiapindividu publik terjamin dalam memperoleh manfaatnya.
Pengelolaan hutan sebagai milik umum harus dilakukan oleh pemerintah untuk kemaslahatan rakyatdengan tetap memperhatikan aspek kelestarian, keuntungan ekonomi dan kesejahteraan rakyat secaraseimbang. Dalam hal ini pemerintah juga perlu untuk mendidik dan membangun kesadaran masyarakat
guna berpartisipasi mewujudkan kelestarian hutan, agar manfaatnya dapat terus dirasakan olehgenerasi berikutnya.

Adapun secara teknis, Islam menetapkan bahwa pemerintah harus melakukan langkah-langkah,manajemen dan kebijakan tertentu yang mendukung terlaksananya tata kelola hutan (terutama hutangambut yang dimiliki Indonesia) dengan baik. Pemanfaatan hutan dan lahan gambut serta pemulihan
fungsinya membutuhkan biaya yang tidak sedikit, teknologi, studi, keahlian dan berbagai aspek lain yangsulit jika disandarkan pada individu. Sebab, pengelolaan harta milik umum yang bila diserahkan pada
individu akan berujung pada berbagai kesulitan. Dengan demikian, negara tidak dibenarkan hanya hadirsebagai regulator, pemberi perizinan, sementara operator dan pengelolaannya diserahkan pada pihak
swasta, apa lagi swasta asing. Akan tetapi negara wajib hadir dalam wujud bertanggungjawab langsung
dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan, khususnya lahan gambut.Ini di satu sisi pemerintah adalah yang bertanggung jawab sebagai pengatur (Raa"in).

Di sisi lain, negaraberfungsinya sebagai junnah (tameng). Khususnya tameng bagi hutan dan lahan gambut yang
merupakan harta publik dari agenda hegemoni Climate Change. Penerapan pandangan Islam ini menjadikunci solusi persoalan menahun karhutla. Hal ini mengharuskan kehadiran rezim sebagai pelaksanasyari’ah secara menyeluruh. Wallahu A"lam bi showab.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #kebakaran-hutan  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Hakim Konstitusi dan Neraka Jahannam

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Sabtu, 20 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Dari semua tokoh-tokoh yang berpidato di aksi ribuan massa kemarin di depan MK (Mahkamah Konstitusi), menarik untuk mengamati pidato Professor Rochmat Wahab (lihat: Edy ...
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...