Berita
Oleh bara ilyasa pada hari Selasa, 02 Apr 2019 - 09:58:25 WIB
Bagikan Berita ini :

HNW: Ummat Islam Harus Paham Sejarah Agar Semakin Mencintai Indonesia

tscom_news_photo_1554173905.jpg
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) saat sosialisasi Empat Pilar MPR di Jakarta, Senin (1/4/2019) (Sumber foto : ist)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Saat Sosialisasi Empat Pilar MPR, Jakarta, 1 April 2019, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengajak ratusan warga Kelurahan Pasar Manggis dan Menteng Atas, Kecamatan Setia Budi, menyanyi lagu ‘Mars Hari Merdeka’ dan ‘Syukur’.

Sebelum menyanyikan lagu yang biasa diperdengarkan dalam peringatan hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus, HNW mengatakan bahwa lagu itu merupakan ciptan Husein Muttahar. “Ia adalah seorang habib, ulama”, ujarnya.

Mengingat lagu itu diciptakan seorang ulama, menurut HNW membuat saat menyanyikan semakin menghayati, bergemuruh, serta membuat semakin mencintai Indonesia. Dikatakan, peran ulama kepada bangsa dan negara tidak hanya itu. Diceritakan, pada tanggal 22 Juni 1945, bangsa Indonesia memiliki Pancasila seperti yang ada dalam ‘Piagam Jakarta’. Namun pada tanggal 18 Agustus 1945, ada kalangan yang tidak sependapat dengan Sila I. Keberatan itu disampaikan kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Hatta pun melobby tokoh-tokoh ummat Islam yang menjadi Panitia 9 agar tujuh kata dalam Sila I Pancasila dihilangkan. Lobby itu diterima dengan baik oleh para ulama, tujuh kata dihilangkan sehingga Sila I Pancasila seperti yang sekarang tertera. “Demi persatuan, dengan kebesaran hati ummat Islam, Pancasila selamat dan Indonesia tidak bubar”, paparnya.

Lebih lanjut dipaparkan, ketika Indonesia merdeka, bangsa Belanda tidak suka ketika bangsa ini berbentuk NKRI. Untuk itu mereka merongrong dengan segala cara agar bisa menjajah kembali. Puncak dari ambisi negara orange itu pada Desember 1949, di mana mereka mengakui kedaulatan namun dengan bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Akibatnya Indonesia tercerai berai menjadi 16 negara bagian.

“Menyedihkan lagi kekuasaan tertinggi berada di tangan Ratu Juliana yang berada di Belanda”, ungkapnya.

Melihat hal yang demikian, ada ulama sekaligus politikus dari Fraksi Partai Masyumi, yakni Mohammad Natsir yang merasa keberatan dengan bentuk RIS sebab hal demikian dirasa tidak sesuai dengan cita-cita Indonesia merdeka. Untuk itu pada 3 April 1950, dirinya di depan anggota parlemen menyampaikan ‘Mosi Integral’. Pidato yang berisi Indonesia harus kembali ke bentuk NKRI itu diterima oleh Soekarno, Hatta, dan politisi lainnya.

“Akhirnya Indonesia kembali ke bentuk NKRI”, ujarnya.
“Kembalinya Indonesia dari RIS ke NKRI merupakan berkat perjuangan ulama”, tegasnya.

Dari paparan di atas, alumni Pondok Pesantren Gontor itu menyebut hal demikianlah yang merupakan salah satu alasan mengapa Sosialisasi Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika dilakukan.
“Sekarang ada yang mempertentangkan Pancasila dengan ummat Islam”, ucapnya. Mempertentangkan Pancasila dan ummat Islam menurut HNW tidak tepat sebab negeri ini ada juga berkat perjuangan para ulama dan ummat Islam. Dengan memaparkan peran ulama dan ummat Islam dalam sejarah bangsa, maka tuduhan yang selama ini dialamatkan kepada ummat Islam yang anti NKRI menjadi tidak benar.

Lebih lanjut dikatakan, dengan memaparkan sejarah peran ulama, juga diharapkan akan semakin menambah kecintaan ummat Islam pada bangsa dan negara.

“Untuk itu ummat Islam perlu mengerti sejarah bangsa agar mencintai Indonesia”, tuturnya.

Ini penting sebab menurutnya Pancasila sekarang mendapat tantangan dari budaya dan ideologi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an.

“Ada yang mengaku saya Pancasila tetapi perilakunya tidak pancasilais”, ungkapnya. Tantangan seperti inilah menurut HNW perlu dijawab oleh semua.

Meski dalam kesempatan tersebut pria asal Klaten, Jawa Tengah, itu meluruskan tuduhan yang tidak tepat yang diarahkan kepada ulama dan ummat Islam namun dirinya juga mengakui ada sebagaian ummat yang suka membidahkan dan mengkafirkan.

“Demokrasi disebut bidah”, paparnya. Anggapan demokrasi, sekolah, radio, televisi, dan sesuatu yang tidak ada pada jaman Nabi disebut sebagai bidah ditepis oleh HNW. “Demokrasi, sekolah, dan lainnya adalah wasilah, sebagai sarana”, ungkapnya.

“Dengan menggunakan wasilah, kita bisa membuat kemaslahatan ummat”, ujarnya. Dengan menampilkan kemaslahatan maka akan menjauhkan hal-hal yang merugikan.(plt)

tag: #mpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Berita Lainnya
Berita

Kini Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di ATM BRI

Oleh Sahlan Ake
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Bank DKI kembali menunjukkan komitmennya dalam memberikan layanan terbaik kepada nasabah khususnya dalam layanan digital. Melalui kerja sama dengan PT Jalin Pembayaran ...
Berita

DPR Sahkan RUU Daerah Khusus Jakarta Jadi UU

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) menjadi Undang-Undang (UU). Pengesahan dilakukan pada Rapat Paripurna DPR RI ke-14, di ...