Oleh Arsul Sani (Wakil Ketua MPR-RI & Anggota Komisi III DPR-RI) pada hari Senin, 20 Jul 2020 - 12:49:35 WIB
Bagikan Berita ini :
Catatan dari Senayan

Sengkarut Djoko Tjandra Dalam Ranah Hukum Pidana

tscom_news_photo_1595222623.jpeg
Wakil Ketua MPR RI / Anggota Komisi III DPR, Arsul Sani (Sumber foto : Istimewa)

Sepuluh hari terakhir ini pemberitaan kasus terkait Djoko Soegiarto Tjandra (selanjutnya akan disingkat DjokTjan) menghiasi baik ruang media arus utama maupun ruang media sosial. Tentu wajar kalau pemberitaan dan percakapan tentang kasus DjokTjan ini riuh di ruang publik. Di mata publik kasus DjokTjan mempertontonkan “ruwet dan ajaib-nya” dunia penegakan hukum kita. Tentu keruwetan dan keajaiban dengan label dan praduga negatif yang menyertainya. Istilah “sengkarut” bisa dipergunakan untuk menggambarkan ruwet dan ajaibnya kasus ini.

Ada kegeraman publik yang terartikulasikan berdasarkan serangkaian fakta yang terungkap. Kasus DjokTjan berawal dari kasus “Cessi Bank Bali” di awal era reformasi yang proses hukum (pidana)-nya mendapatkan porsi pemberitaan secara luas. Media coverage terhadap kasus ini terus berlanjut ketika DjokTjan menjadi buronan untuk menghindari pidana penjara 2 (dua) tahun. Singkatnya, kasus ini adalah “high-profile case”, yang karenanya menjadi tidak bisa diterima oleh nalar yang wajar jika ada pejabat pemerintahan apalagi penegak hukum sampai tidak tahu atau tidak atentif terhadap kasus DjokTjan ini.

Selain fakta sebagai buronan, DjokTjan secara luas diberitakan telah beralih kewarganegaraan menjadi warga negara Papua Nuigini. Alhasil, dimata hukum kewarganegaraan kita, ia adalah seorang WNA. Lalu bagaimana seorang WNA begitu gampangnya mendapatkan e-KTP dari seorang lurah dan Paspor Indonesia dari Kantor Imigrasi? Seolah pejabat-pejabat di kedua institusi ini “buta” tentang berita DjokTjan.

Sengkarut DjokTjan makin tidak masuk akal ketika ada perwira-perwira tinggi kepolisian dengan "polos"-nya rela mempertaruhkan karir yang telah mereka bangun puluhan tahun hanya untuk “memuluskan” rencana seorang DjokTjan. Sangat wajar jika ada yang menduga unsur suap dan/atau orang kuat dibelakangnya.

Dengan melihat rusaknya kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum yang telah ditimbulkan akibat sengkarut DjokTjan ini, penyelesaian dalam lingkup proses etik-administratif di lingkungan institusi masing-masing rasanya tidak cukup. Pimpinan Polri, Kejaksaan maupun Menteri Hukum Dan HAM perlu menunjukkan ketegasan sikap untuk membuka kemungkinan melakukan proses hukum secara pidana terhadap jajaran mereka yang terlibat dalam sengkarut DjokTjan.

Sejauh ini baru Pimpinan Polri yang telah menyampaikan secara terbuka kemungkinan dilakukannya proses hukum pidana terhadap pejabatnya yang diduga terlibat. Tentu ini sikap yang perlu diapresiasi oleh publik. DPR sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan pengawasan terhadap semua lembaga yang berada pada rumpun kekuasaan eksekutif ditambah dengan elemen masyarakat sipil perlu memastikan bahwa sengkarut DjokTjan tidak berhenti pada ranah etik-administratif yang sanksi-nya hanya berupa pencopotan jabatan saja.


Apa yang merupakan perbuatan pidananya?

Proses hukum pidana atas sengkarut DjokTjan tentu dimulai dengan tindakan penyelidikan. Pasal 1 angka 5 KUHAP mendefinisikan penyelidikan sebagai serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Sedangkan apa yang disebut sebagai penyidikan dimaknai dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang bisa membuat terang tindak pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Penyelidik dan penyidik dalam konteks sengkarut DjokTjan tentunya pejabat Polri yang diberi wewenang untuk tugas penyelidikan dan penyidikan.

Dari apa yang dikemukakan oleh Divisi Humas Polri di media, sengkarut DjokTjan membuka lebar peluang penyelidikan dan/atau penyidikan untuk sejumlah tindak pidana baik dalam ranah pidana umum maupun pidana khusus.

Pertama, tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 221 KUHP. Ayat 1 Pasal ini menetapkan pemidanaan bagi siapapun yang dengan sengaja menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan atau memberi pertolongan kepada orang tersebut untuk menghindari penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian. Perbuatan tidak memberitahukan kepada Kejaksaan tentang kembalinya DjokTjan untuk dieksekusi sesuai Putusan PK MA-RI, perbuatan membantu masuknya dia ke Indonesia dan perbuatan mendampingi dia melakukan perjalanan di wilayah Indonesia merupakan rangkaian perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana menyembunyikan orang yang telah diputus melakukan kejahatan dan tindak pidana memberi pertolongan kepada orang tersebut untuk menghindari eksekusi penahanan oleh Jaksa selaku eksekutor putusan perkara pidananya.

Kedua, tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 266 KUHP. Ayat 1 Pasal ini mengatur tentang pemidanaan terhadap siapapun yang menyuruh memasukkan keterangan palsu kedalam suatu akta atau dokumen otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta atau dokumen tersebut. Ancaman pidananya pun cukup berat yakni sampai dengan tujuh tahun pidana penjara. Perbuatan membuat dan mengurus e-KTP WNI dan paspor dimana yang berhak memperoleh dan menggunakan kedua dokumen tersebut adalah WNI, padahal DjokTjan sudah kehilangan status WNI-nya karena berpindah menjadi warga negara Papua Nuigini merupakan perbuatan memasukkan keterangan palsu kedalam e-KTP WNI dan paspor Indonesia yang nota bene masuk kedalam kategori akta atau dokumen otentik.

Ketiga, dalam pemberitaan media arus utama dan pengungkapan percakapan WA advokat dari DjokTjan di media sosial akun twitter diungkapkan percakapan tentang biaya pengurusan di berbagai institusi yang membuka kemungkinan dugaan penyuapan terhadap pejabat yang bersangkutan baik dalam proses pembuatan e-KTP, paspor maupun pengeluaran surat jalan dan penghapusan status buronan DjokTjan. Pemberitaan ini bisa menjadi pintu masuk penyelidikan tindak pidana korupsi dalam bentuk suap sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.


Siapa terduga pelaku tindak pidananya?

Bicara tentang pelaku tindak pidana, maka Pasal 55 KUHP tidak hanya menyebut mereka yang langsung melakukan perbuatan pidananya saja. Selain pelaku langsung (pleger), Pasal ini juga menyebut orang yang menyuruh melakukan (doen pleger) dan yang turut serta melakukan (mede pleger), serta orang yang sengaja menganjurkan dilakukannya perbuatan pidana tersebut (uit lokken). Diluar itu, Pasal 56 KUHP juga mengatu tentang orang yang dikategorikan membantu dilakukannya perbuatan pidana, yakni sengaja memberi bantuan pada saat perbuatan pidana dilakukan (active medeplichtigheid) dan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk dilakukannya perbuatan pidana passive medeplichtigheid).

Dalam konteks pelaku tindak pidana dan terlepas apapun nanti kategorinya berdasarkan Pasal 55 KUHP, yang tentu akan tergantung dari fakta dan alat bukti yang diperoleh, maka DjokTjan, para advokat yang membantunya serta lurah, pejabat imigrasi, pejabat Polri dan Kejaksaan yang secara luas disebut dalam pemberitaan media bisa menjadi subyek penyelidikan dan penyidikan atas dugaan melakukan penyertaan (delneeming) dalam tindak pidana.

Dari ketentuan KUHP yang dapat dikenakan, maka terbuka untuk menyelidiki DjokTjan dan para advokat-nya sebagai terduga pelaku gabungan tindak pidana (concursus baik idealis atau realis) sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHP. Terkait advokat, bakal muncul isu imunitas profesi advokat sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Akan tetapi UU Advokat sendiri mengatur bahwa hak imunitas advokat hanya dapat dipergunakan dalam menjalankan tugas profesi dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan kliennya. Jadi hak imunitas advokat bukan sesuatu yang melekat absolut tanpa batasan. Iktikad baik merupakan kata kunci agar hak imunitas advokat dapat dipergunakan.

Ketika advokat diduga turut memberikan keterangan palsu atau setidaknya tidak menyampaikan keterangan yang sebenarnya tentang kliennya kepada pejabat pemerintahan terkait dengan permohonan dokumen seperti e-KTP ataupun paspor, dan ketika advokat malah turut serta “menciptakan” keadaan kliennya tetap dalam status buronan, padahal kewajiban hukum warga negara seharusnya melaporkan kepada penegak hukum untuk ditahan, maka sulita untuk menerima bahwa asas iktikad baik melekat dalam tugas sebagai advokat.


Catatan penutup

Sengkarut DjokTjan adalah realitas dalam dunia penegakan hukum kita. Realitas yang menjatuhkan - kalaupun dianggap berlebihan jika disebut menghancurkan - wibawa institusi penegak hukum kita, khususnya Polri. Publik menunggu penuntasan sengkarut DjokTjan ini melewati ruang etik-administratif. Komisi III DPR-RI akan terus menyuarakan penuntasannya. Harapan kita semua Kapolri Jenderal Pol. Idham Azis ketika mengakhiri tugasnya nanti mewariskan catatan ketegasan Pimpinan Polri dalam membongkar kasus yang menampar wajah institusinya seperti kasus sengkarut seorang Djoko Tjandra.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #djoko-tjandra  #hukum  #arsul-sani  #komisi-iii  #mpr  #polri  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...