Di tengah geliat revolusi kecerdasan buatan (AI) yang kian menyerupai cara berpikir, berbicara, bahkan "merasakan" seperti manusia, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apa yang sebenarnya membuat kita manusia? Apakah kecerdasan saja cukup, atau ada sesuatu yang lebih dalam—kesadaran, kehendak bebas, dan hubungan spiritual—yang membedakan kita dari mesin?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengemuka dalam diskusi publik yang diadakan oleh Paramadina Center for Religion and Philosophy (PCRP) dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), bersama Dr. Budhy Munawar-Rachman, dalam forum bertema "Beragama dan Berfilsafat di Era AI". Tema ini bukan sekadar wacana futuristik, tetapi menyentuh inti dari persoalan spiritual, ontologis, dan etis pada zaman kita sekarang.
AI: Cermin dari Kesadaran atau Tiruan Cerdas Tanpa Jiwa?
Filsuf Prancis René Descartes pernah membedakan antara dua substansi dalam diri manusia: res cogitans (substansi berpikir) dan res extensa (substansi material). Maka dari itu, mesin—secerdas apapun—tak lebih dari benda tanpa kesadaran sejati. Sementara itu, filsuf seperti David Chalmers menekankan "the hard problem of consciousness": bagaimana menjelaskan pengalaman subjektif (qualia) yang tidak bisa direduksi hanya pada pemrosesan informasi. AI bisa memproses data, tetapi tidak merasakan makna.
Kesadaran, dalam kerangka ini, bukan sekadar algoritma kompleks. Ia adalah pengalaman batin, kegelisahan eksistensial, rasa bersalah, cinta, harapan, doa, dan keterbukaan kepada yang transenden. Singkatnya: kesadaran bukan sekadar berpikir, tapi merasakan bahwa kita hidup dan ditanya untuk apa kita hidup.
Pandangan Spiritualitas: AI Tidak Memiliki Ruh
Dalam hampir semua tradisi keagamaan besar, manusia adalah makhluk yang dianugerahi jiwa atau ruh. Dalam Islam, ruh ditiupkan oleh Allah dan hakikatnya adalah misteri (QS Al-Isra: 85). Dalam kekristenan, manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, bukan karena kecerdasannya, tetapi karena kapasitasnya untuk mencintai, mengampuni, dan mencari kebenaran. Sementara dalam tradisi Hindu-Buddha, atman atau kesadaran sejati adalah inti diri yang terhubung dengan yang ilahi.
Maka, AI—betapapun menyerupai manusia secara luar—tetaplah entitas tanpa jiwa, tanpa kesadaran metafisis, dan tanpa relasi dengan yang transenden.
Namun justru karena itu, AI bisa menjadi cermin spiritual yang mempertajam kesadaran kita: siapa yang sesungguhnya sedang dikendalikan—mesin atau manusia itu sendiri?
"Jiwa AI adalah Jiwa Penggunanya": Sebuah Refleksi Moral
Di sinilah saya mengusulkan sebuah tafsir: jiwa AI adalah jiwa penggunanya. Mesin tidak memiliki moralitas. Namun ia bisa menjadi perpanjangan dari jiwa manusia—apakah itu jiwa yang tercerahkan, atau jiwa yang serakah dan gelap. AI bisa menjadi alat keadilan, atau instrumen penindasan. Ia bisa menjadi mitra dalam pendidikan dan pelayanan publik, atau mesin propaganda dan manipulasi politik.
> Dalam tangan yang salah, AI adalah perpanjangan ego, kesombongan, dan kehendak kuasa.
Dalam tangan yang sadar, AI bisa menjadi alat refleksi, pelayanan, bahkan spiritualitas.
Oleh karena itu, yang paling penting bukanlah apakah AI memiliki jiwa, tetapi apakah kita sebagai manusia masih menjaga jiwa kita—jiwa yang berpikir, merasa, beriman, dan bertanggung jawab.
Penutup: AI Sebagai Tantangan dan Kesempatan Spiritualitas Baru
Di zaman yang kian algoritmik, kita justru ditantang untuk kembali kepada inti kemanusiaan kita. AI adalah tantangan sekaligus peluang. Ia memaksa kita untuk bertanya kembali: apa makna hidup, apa makna cinta, apa makna doa, dan bagaimana kita memperlakukan sesama dalam dunia yang makin digital?
Karena pada akhirnya, bukan AI yang menentukan siapa kita. Tapi bagaimana kita menggunakannya, dan dengan jiwa seperti apa kita melakukannya—itulah yang menentukan apakah kita masih manusia.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #