Oleh Arie, Aktivis SKUAD INDEMO pada hari Rabu, 23 Jul 2025 - 09:36:05 WIB
Bagikan Berita ini :

Sebuah Refleksi: Anak Semua Bangsa dalam Pangkuan Ibu Pertiwi

tscom_news_photo_1753238165.jpeg
(Sumber foto : )

Ada yang terasa timpang dalam gema perayaan Hari Anak setiap tahunnya. Lagu-lagu riang, lomba-lomba permainan tradisional, parade dongeng, serta simbol-simbol lucu menghiasi ruang publik dan digital. Tetapi, jauh di balik senyum anak-anak yang ditampilkan dalam kanal instansi, kita tahu ada luka diam yang dipelihara oleh sistem. Ketimpangan pendidikan, perundungan digital, eksploitasi anak, hingga kerusakan nilai di ruang domestik dan publik menyatu menjadi tragedi senyap yang tak cukup diobati oleh seremoni tahunan.

Di tengah realitas ini, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terus menyuarakan urgensi pembudayaan nilai-nilai dasar bangsa. Namun pertanyaannya, Pancasila versi siapa yang kita tanamkan kepada anak-anak hari ini? Pancasila yang dilafalkan penuh hormat dalam upacara bendera? Atau Pancasila yang dikhianati oleh keteladanan elite dan birokrasi yang banal itu sendiri?

Tak bisa tidak, kita harus mengingat Pramoedya Ananta Toer dan bukunya Anak Semua Bangsa, sebuah narasi tentang manusia yang menggugat sejarah, menggugat identitas, dan menggugat kebungkaman warisan. Buku itu tak hanya bicara soal nasionalisme atau kolonialisme, tapi tentang apa artinya menjadi manusia dalam jerat sistem yang menyembunyikan kebenaran.

Jika kata “anak bangsa” dalam Pancasila kita hari ini sekadar status administratif, maka Pram mengingatkan bahwa setiap anak—apa pun identitas warna kulit, status ekonomi, atau agamanya—adalah pewaris beban sejarah. Mereka adalah korban sekaligus saksi dari nilai yang gagal dijalankan oleh generasi sebelumnya.

Kita membiarkan mereka mewarisi sistem yang korup, pendidikan yang melanggengkan ketimpangan, dan ruang publik yang tak aman. Padahal jika kita jujur, keadilan antargenerasi bukan soal berapa banyak investasi kita tabung untuk 2045, tapi seberapa waras sistem nilai yang kita wariskan hari ini.

Pancasila, jika masih ingin dihidupkan sebagai falsafah hidup (philosofische grondslag) tentu harus melampaui jargon atau slogan yang dicipta oleh instansi itu sendiri. Ia harus menjadi pengalaman eksistensial, terutama bagi anak-anak negeri.

Sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” tak bisa hidup di ruang kelas yang menertawakan murid miskin. Sila “Persatuan Indonesia” tak tumbuh dalam algoritma digital yang memecah dan mengeksploitasi tubuh anak sebagai konten.

Apa gunanya kita bicara soal “Ketuhanan Yang Maha Esa” jika anak menyaksikan kekerasan atas nama agama? Bagaimana mereka bisa percaya pada “Keadilan Sosial” jika rumah mereka digusur demi proyek strategis nasional? Dan mengapa mereka harus percaya bahwa "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam pemusyawaratan/perwakilan" sedangkan pertanyaan lugu mereka tidak pernah digubris?

Anak-anak kita bukan hanya konsumen masa depan, mereka adalah korban hari ini. Dan luka mereka bukan hanya soal kurang gizi atau kekurangan prasarana, tapi ketimpangan nilai yang mereka tangkap dari orang dewasa yang pandai berslogan namun abai dalam bertindak nyata.

BPIP, dalam hal ini, tak cukup hanya menyelenggarakan lokakarya atau menyisipkan Pancasila di setiap ikhtiar programnya. Yang lebih penting ialah membuka ruang eksistensial di mana anak-anak mengalami Pancasila secara konkret seperti keadilan dalam akses sekolah, perlindungan dari konten kekerasan digital, lingkungan sosial yang ramah keberagaman, dan ruang keluarga yang adil secara psikologis.

Kita perlu menggeser paradigma dari “mengajarkan” Pancasila menjadi “menghadirkan” Pancasila dalam praktik hidup. Dari menjejalkan nilai menjadi memperlihatkan keteladanan. Sebab, seperti kata Pramoedya, “kalau orang tidak punya keberanian untuk berpikir bebas, dia tidak bisa disebut manusia yang merdeka.”

Hari Anak seharusnya bukan seremoni tahunan penuh boneka, tapi momen mawas diri nasional. Sebab jika keadilan hari ini tidak kita perjuangkan, maka mereka akan tumbuh sebagai generasi yang mempertanyakan: apa sebenarnya yang diwariskan oleh bangsa ini kepada mereka?

Keadilan antargenerasi berarti memberi ruang tumbuh yang sehat bagi anak, bukan mewariskan luka struktural. Negara harus berhenti menarasikan “generasi emas” sambil menumpuk utang ekologis, kekerasan siber, dan pendidikan transaksional. Kita tidak sedang kehabisan undang-undang, kita hanya sedang bangkrut dalam keteladanan.

Hari Anak tidak boleh hanya menjadi panggung selebrasi, ia harus menjadi titik balik untuk menata ulang visi pembangunan yang berpihak pada yang paling rentan, yang paling diam, dan yang paling jujur yakni pada anak-anak itu sendiri.

Sebab, pada akhirnya, kita tidak sedang membangun negara untuk kita nikmati. Kita sedang meminjam masa depan dari generasi yang belum punya suara. Dan kelak mereka akan menuntut dengan bahasa yang lebih keras dari tangisan luka mereka hari ini.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

11 Wejangan Kebangsaan

Oleh Try Sutrisno
pada hari Rabu, 23 Jul 2025
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --11 Pokok Pikiran yang saya sebut wejangan kebangsaan ini saya sampaikan ketika saya diminta menjadi pembicara kunci dalam simposium memperingati Dekrit Presiden 5 Juli ...
Opini

W.S. Rendra: Burung Merak di Tengah Kebisuan Orde Baru

Willibrordus Surendra Broto Rendra—yang akrab disapa W.S. Rendra—bukan sekadar nama besar dalam kesusastraan Indonesia. Ia adalah simbol perlawanan kultural terhadap kekuasaan yang ...