Willibrordus Surendra Broto Rendra—yang akrab disapa W.S. Rendra—bukan sekadar nama besar dalam kesusastraan Indonesia. Ia adalah simbol perlawanan kultural terhadap kekuasaan yang membungkam. Lahir di Solo pada 7 November 1935, dan wafat pada 6 Agustus 2009, Rendra menjelma menjadi suara alternatif dalam lanskap kebudayaan nasional yang kerap didikte oleh ideologi negara dan kepentingan elite politik.
Jejak Awal: Sastra, Teater, dan Kesadaran Sosial
Sejak usia muda, Rendra sudah menunjukkan kecintaan yang mendalam terhadap dunia sastra dan panggung. Pendidikan formalnya di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada hanya menjadi awal dari perjalanan panjangnya dalam mengeksplorasi kata-kata dan peran sosial seniman. Ia sempat memperdalam seni teater di Amerika Serikat melalui American Academy of Dramatic Arts, namun tidak pernah tercerabut dari akar sosial dan kebudayaan Indonesia.
Rendra tidak pernah memperlakukan teater dan puisi sebagai sekadar bentuk ekspresi artistik atau hiburan. Bagi Rendra, keduanya adalah instrumen perlawanan kultural, alat untuk membebaskan manusia dari kebodohan struktural, ketakutan kolektif, dan keterasingan sosial-politik.
Teater Bengkel: Laboratorium Perlawanan Estetik dan Etik
Pada 1967, Rendra mendirikan Teater Bengkel di Yogyakarta. Teater ini bukan hanya tempat pertunjukan, tetapi juga laboratorium pencarian makna, wadah pembentukan kesadaran kritis, dan tempat penempaan generasi barug seniman yang tidak takut bersuara.
Pertunjukan-pertunjukannya sering bersifat improvisatoris, eksperimental, dan kontekstual, mengangkat realitas sosial dan politik secara langsung. Naskah bisa berubah setiap hari, tapi satu yang tak berubah: keberpihakan pada rakyat dan kegelisahan terhadap ketidakadilan.
Rendra tidak segan menampilkan lakon-lakon yang menyentil kekuasaan, menyuarakan jeritan kaum terpinggirkan, dan mengecam praktik korupsi serta kekerasan struktural. Tak heran, karya-karyanya sering kali dicekal, pertunjukannya dibubarkan, dan ia sendiri mengalami penahanan oleh rezim Orde Baru.
Penyair Pamflet: Suara yang Tidak Bisa Dibungkam
Rendra mencapai titik penting dalam karier kesusastraannya melalui “Puisi Pamflet”, sebuah kumpulan puisi yang lebih menyerupai manifesto sosial dan politik ketimbang sekadar karya sastra. Dalam puisi-puisi itu, ia menggugat ketimpangan sosial, memaki ketakutan kolektif, dan memanggil rakyat untuk berpikir dan bertindak.
Salah satu puisinya yang terkenal, “Sajak Pertemuan Mahasiswa”, menjadi simbol perlawanan mahasiswa terhadap tirani kekuasaan. Puisi ini tidak hanya dibaca di ruang teater, tapi juga diteriakkan dalam demonstrasi, disalin tangan ke tangan, dan menjadi mantra keberanian.
Ia menulis:
> “Kami adalah angkatan gagap, yang dibesarkan oleh kemunafikan.”
Baris-baris itu menggambarkan kepedihan dan keterasingan generasi muda dalam rezim represif, dan menggugah publik untuk bangkit dari tidur panjangnya.
Burung Merak: Simbol Kebebasan dan Keberanian Berkata Benar
Rendra pernah menyebut dirinya “burung merak”—bukan karena sifat pamer atau narsisme, melainkan sebagai simbol dari eksistensi seniman yang merdeka, penuh warna, dan tidak tunduk pada homogenitas kekuasaan.
Penyebutan itu pun mengandung kritik halus terhadap sistem yang menuntut keseragaman. Rendra dengan tegas menolak dikungkung oleh norma estetika dan moral yang dibuat oleh penguasa. Ia menulis dan tampil dengan caranya sendiri, memperjuangkan ruang ekspresi yang otentik dan penuh integritas.
Warisan Rendra: Lebih dari Sekadar Puisi
Warisan Rendra bukan hanya terletak pada ribuan bait puisi atau ratusan pertunjukan teater. Yang ia tinggalkan adalah cara berpikir yang merdeka, keberanian untuk bersuara, dan keberpihakan yang konsisten terhadap kemanusiaan.
Hingga akhir hayatnya, Rendra tidak pernah berhenti mengingatkan bahwa seni—terutama puisi dan teater—harus punya “fungsi sosial”. Dalam pandangannya, seni yang hanya melayani elite atau hanya menghibur adalah seni yang kehilangan roh.
Di tengah era digital yang penuh distraksi, di mana kritik sosial sering dibungkam dengan narasi “positifisme” semu, kita perlu kembali ke semangat Rendra: menulis dan bersuara untuk yang tak bersuara.
W.S. Rendra bukan sekadar legenda. Ia adalah ruh kebudayaan yang membakar, penyair yang merajut keindahan dan keberanian dalam satu tarikan napas. Dalam sejarah bangsa ini yang penuh pasang surut, suara Rendra tetap menggema, mengingatkan kita bahwa seni bukan hanya tentang estetika, tapi tentang etika dan keberanian moral.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #