Babak Baru Perlawanan Intelektual di Indonesia
“Orang yang tidak berani melawan ketidakadilan, akan hidup dalam ketakutan panjang.”
— Hariman Siregar, 1978
TEROPONGSENAYAN.COM - JAKARTA, Di tengah riuh politik pasca-Pemilu 2024, satu nama tiba-tiba mencuat kembali ke permukaan: Thomas Trikasih Lembong. Dikenal sebagai ekonom progresif, mantan Kepala BKPM, dan Menteri Perdagangan, Tom kini bukan lagi bagian dari elite kekuasaan. Ia berubah haluan menjadi suara perlawanan terhadap sistem yang ia nilai telah dikapling oleh kekuatan oligarki dan manipulasi konstitusional.
Namun, langkah perlawanan itu tak datang tanpa harga. Dalam sebuah keputusan hukum yang dipertanyakan banyak kalangan, Tom ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang disebut-sebut "bernuansa politis". Sejak itu, ia mendapat banyak dukungan, tapi juga tekanan yang tak sedikit.
Dituduh, Dibungkam, atau Dijebak?
Hingga kini, tidak ada penjelasan resmi yang transparan dari aparat penegak hukum mengenai dasar kuat penetapan tersangka terhadap Tom Lembong. Sejumlah kalangan menilai ada unsur pembungkaman terhadap suara oposisi intelektual.
"Langkah ini sangat mencurigakan. Tom selama ini dikenal bersih, dan tidak pernah dikaitkan dengan kasus korupsi atau pelanggaran etika," ujar Prof. Dr. Yenti Garnasih, pakar hukum pidana dan pencucian uang, dalam pernyataan di salah satu diskusi publik daring.
Bahkan mantan Komisioner KPK, Laode M. Syarif, menyatakan bahwa apa yang dialami Tom Lembong harus dilihat sebagai bagian dari "upaya sistematis melemahkan tokoh kritis dengan reputasi internasional dan kapasitas teknokratik".
Menapak Jejak Para Martir Demokrasi
Bagi generasi yang menyaksikan reformasi 1998 atau pergolakan era Orde Baru, apa yang terjadi hari ini seperti pengulangan pola yang dulu dialami oleh Hariman Siregar. Hariman, tokoh Malari 1974, dipenjara karena bersuara atas ketimpangan sosial dan dominasi modal asing. Namun sejarah mencatat: Hariman tidak kalah—ia menang secara moral dan dikenang sebagai tokoh moral bangsa.
Kini, Tom Lembong disebut-sebut sebagai penerus jalan itu. Ia memilih melawan, bukan berkompromi.
"Saya tak bisa diam melihat demokrasi yang diperjuangkan mati-matian selama reformasi dihancurkan dari dalam,” kata Tom dalam pernyataan resminya kepada media pada April 2025.
Ia konsisten menyuarakan isu keadilan fiskal, kemiskinan struktural, dan ketimpangan ekonomi digital yang tak terjangkau rakyat kecil. Ia juga secara terbuka mengkritik “pemakzulan diam-diam terhadap konstitusi” lewat rekayasa hukum dan politik dinasti.
Data Ketimpangan dan Rezim Oligarki
Sejumlah data mendukung keresahan yang disuarakan Tom. Laporan Oxfam Indonesia tahun 2024 menyebut bahwa empat orang terkaya di Indonesia menguasai aset setara dengan 100 juta warga termiskin. Dalam bidang politik, Indikator Politik mencatat bahwa 80 persen pendanaan kampanye 2024 dikuasai oleh segelintir pengusaha besar, yang sebagian di antaranya juga terlibat dalam proyek-proyek negara.
"Ketika sistem demokrasi dikuasai oleh uang, maka suara rakyat hanyalah ilusi," ujar Dr. Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia.
Dalam konteks ini, langkah Tom Lembong yang menolak kompromi kekuasaan dan memilih menjadi oposisi berlandaskan data dan nilai.
Bantuan Moril dan Materil: Kewajiban Kolektif
Bagi banyak pihak, dukungan terhadap Tom tidak cukup hanya berupa simpati. Diperlukan gerakan nyata yang memberikan perkuatan moril dan bahkan materil—baik untuk perlindungan hukum, logistik, maupun penyebaran informasi alternatif.
Gerakan ini mulai tampak di beberapa jaringan diaspora Indonesia di luar negeri, yang kini tengah menyusun petisi dan dukungan melalui kanal internasional, termasuk ke lembaga HAM seperti Amnesty International dan Human Rights Watch.
"Kami sedang menggalang solidaritas global untuk memastikan perlindungan terhadap semua intelektual Indonesia yang dibungkam karena menyuarakan keadilan," ujar Ratna Sari Dewi, aktivis HAM di London yang juga bagian dari Forum Diaspora Indonesia.
Penutup: Jalan Panjang Perjuangan Keadilan
Apa yang sedang dihadapi Tom Lembong bukan sekadar kasus hukum individual, tapi representasi dari medan tempur ideologis: antara kekuasaan dan kebenaran, antara politik uang dan suara nurani.
Sejarah selalu menorehkan nama mereka yang memilih berdiri di pihak rakyat—meski harus kehilangan jabatan, kenyamanan, bahkan kebebasan. Seperti Hariman, Hatta, dan Tan Malaka, perjuangan bukan untuk hari ini, tapi untuk generasi mendatang.
Kini, Tom Lembong tengah menjalani bagian itu. Dan seperti kata Hariman: "Lebih baik menjadi batu sandungan yang melawan arus, daripada batu pijakan untuk tirani."
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #