1. Pati Sebagai Titik Nyala
Gelombang demonstrasi di Pati bukan sekadar protes lokal. Ia adalah gejala dari keretakan yang lebih dalam: antara ambisi fiskal pemerintah pusat dan daya tahan ekonomi rakyat. Isu yang memicu amarah—pajak atas hampir semua aspek kehidupan—terhubung langsung dengan kebijakan fiskal nasional, lonjakan utang luar negeri, dan strategi pembangunan yang meminggirkan pemerintah daerah.
Pati menjadi “contoh hidup” bagaimana sentimen lokal dapat tumbuh menjadi simbol perlawanan nasional jika tak segera dikelola. Di era digital, keluhan di pasar desa bisa bergema hingga Istana dalam hitungan jam.
2. Daya Beli: Stabil di Angka, Tertekan di Lapangan
Secara makro, daya beli masyarakat pada triwulan I 2025 terlihat masih stabil. Konsumsi rumah tangga—penyumbang 54,5% PDB—tumbuh 4,87% year-on-year. Inflasi nasional terkendali di kisaran 1,95%, dengan inflasi inti 2,5%.
Namun di lapangan, angka ini menutupi dinamika lain:
Tekanan pajak seperti rencana PPN 12%, pungutan parkir, hingga wacana pajak kondangan, menciptakan persepsi bahwa setiap pergerakan ekonomi rakyat “dipungut”.
Kenaikan biaya hidup yang tidak selalu tercermin di indeks inflasi resmi, misalnya kenaikan tarif transportasi lokal, biaya pendidikan, dan harga pangan musiman.
Efek domino pemotongan anggaran daerah yang mengurangi subsidi atau bantuan sosial di tingkat kabupaten/kota.
Akibatnya, walau data makro menampilkan stabilitas, kantong rakyat kelas bawah dan menengah kian tergerus, sehingga mudah memicu kemarahan jika dipicu faktor emosional seperti komentar pejabat yang arogan.
3. Utang Luar Negeri: Dorongan Fiskal atau Jerat Politik?
APBN 2025 mencatat lonjakan besar pinjaman luar negeri bruto menjadi Rp216,5 triliun—naik 219% dari tahun sebelumnya. Setelah pembayaran cicilan, pinjaman neto masih sekitar Rp128 triliun. Pemerintah berargumen, langkah ini untuk:
Mengurangi tekanan penerbitan SBN domestik.
Membiayai program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih.
Menjaga defisit fiskal dalam batas aman 2,53% PDB.
Namun, di sisi politik:
Utang luar negeri memberi amunisi bagi kritik yang menilai pemerintah membangun dengan “dana pinjaman” sementara pajak rakyat tetap digenjot.
Jika hasil program yang dibiayai utang tidak dirasakan langsung oleh rakyat di daerah, persepsi ketidakadilan fiskal semakin mengeras.
Lonjakan pinjaman memperbesar ekspektasi publik bahwa proyek akan selesai cepat, padahal implementasi sering terganjal birokrasi dan tata kelola.
4. Strategi Daerah yang Terkunci
UU Cipta Kerja dan kebijakan sentralisasi perizinan menggeser banyak kewenangan daerah ke pusat. Ironisnya:
Pemotongan anggaran daerah dilakukan untuk mengisi program pusat.
Program nasional top-down seperti MBG atau Koperasi Merah Putih dijalankan tanpa pelibatan penuh kepala desa atau bupati.
Risiko keuangan dibebankan ke daerah, misalnya dana desa dijadikan agunan untuk koperasi yang bukan inisiatif lokal.
Hal ini membuat Pemda berada di persimpangan sulit:
Di satu sisi, mereka dituntut menjaga stabilitas sosial di wilayahnya.
Di sisi lain, mereka kehilangan instrumen fiskal dan kewenangan untuk merespons cepat kebutuhan rakyat.
Dalam situasi seperti ini, daerah menjadi “tameng depan” yang harus menerima kemarahan publik, sementara keputusan strategis ada di Jakarta.
5. Pati Sebagai Peringatan Dini
Jika pemerintah pusat terus mendorong strategi fiskal berbasis pinjaman besar dan perluasan basis pajak tanpa:
Melibatkan Pemda dalam perencanaan dan pelaksanaan program,
Memberi ruang fiskal yang memadai untuk daerah,
Menjaga daya beli melalui perlindungan sosial yang tepat sasaran,
maka “efek Pati” bisa menjalar ke wilayah lain. Bukan hanya sebagai gerakan sosial, tetapi juga sebagai krisis kepercayaan antara pusat dan daerah.
6. Pilihan di Persimpangan
Indonesia sedang berada di titik kritis. APBN 2025–2026 secara teknis masih sehat—defisit terkendali, inflasi rendah, pertumbuhan stabil. Namun, politik anggaran dan cara komunikasi pemerintah bisa meruntuhkan semua itu jika rakyat merasa kebijakan fiskal hanya membebani, bukan melindungi.
Pati mengajarkan bahwa kemarahan sosial tidak lahir dari angka defisit atau rasio utang, melainkan dari perasaan ditinggalkan dan diperlakukan sebagai objek pungutan. Di tengah ruang fiskal yang terbatas, pilihan pemerintah sederhana:
membangun sinergi yang nyata dengan daerah dan rakyat, atau bersiap melihat api kecil menjalar menjadi kebakaran nasional.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #