Oleh Denny JA pada hari Senin, 08 Sep 2025 - 09:58:17 WIB
Bagikan Berita ini :

MELUASNYA AKSI PROTES DAN TUMBUHNYA KELAS BARU YANG RAWAN

tscom_news_photo_1757300297.jpg
(Sumber foto : )

Di sebuah malam akhir Agustus 2025, di jalan raya Sudirman–Thamrin Jakarta, bayangkan seorang pengemudi ojek daring merapatkan jaket hijaunya.

Ia baru saja menyelesaikan order terakhir, tetapi wajahnya tegang. Bukan karena lelah, melainkan karena berita di grup WhatsApp rekan-rekannya.

“Harga beras melonjak, cicilan motor naik, kontrak sewa rumah segera habis.”

Ia menatap jalanan ibu kota dengan rasa getir. Lebih dari 12 jam ia bekerja, namun tak pernah tahu apakah besok masih ada cukup order.

Ponselnya bergetar lagi—bukan notifikasi pelanggan, melainkan ajakan ikut aksi di depan DPR.

“Kita ini kaum yang rawan,” tulis temannya. “Kalau bukan kita yang bersuara, siapa lagi?”

Kisah pengemudi ojol ini bukan sekadar cerita pribadi. Ia adalah simbol jutaan orang Indonesia yang kini hidup dalam bayangan ketidakpastian.

Dari rahim keresahan inilah lahir gelombang protes di 107 titik, di 32 provinsi, yang mengguncang negeri ini.

-000-

Guy Standing, ekonom dan sosiolog Inggris, menulis buku cermin zaman: The Precariat: The New Dangerous Class (2011).

Di sana ia memperkenalkan istilah prekariat—kelas sosial yang hidup dalam ketidakpastian (precariousness). Saya menerjemahkan kelas ini sebagai kelas baru yang rawan.

Berbeda dengan proletariat klasik di era industri, yang miskin tetapi stabil, prekariat miskin sekaligus rapuh. Standing merinci empat ciri:

1. Ketidakpastian:

hidup ditentukan kontrak jangka pendek, freelance, algoritma. Masa depan tak bisa dipetakan.

2. Hilangnya hak dasar:

serikat buruh menguatkan proletariat, tapi prekariat tercerai-berai, tanpa perlindungan sosial.

3. Identitas cair:

hari ini kurir, besok freelancer, lusa menganggur. Solidaritas sulit dibangun.

4. Bahaya politik:

frustrasi bisa mengarah ke progresivisme yang menuntut keadilan, atau ke populisme yang membakar kebencian.

Guy Standing mengingatkan: mengabaikan keresahan ini ibarat membiarkan bara dalam sekam—yang setiap saat bisa menyala menjadi ledakan sosial.

-000-

Apa beda kelas Proletariat vs kaum Prekariat?

• Proletariat → anak kandung Revolusi Industri: buruh pabrik, miskin tapi stabil, identitas kelas jelas, melahirkan serikat dan negara kesejahteraan.

• Prekariat → anak kandung globalisasi dan revolusi digital: pekerja lepas, miskin sekaligus rapuh, identitas cair, sulit bersatu, namun bila bangkit dapat mengguncang tatanan.

Singkatnya: proletariat miskin tapi pasti; prekariat miskin sekaligus tak menentu.

-000-

Indonesia adalah rumah bagi jutaan prekariat:

• Driver ojol yang menanti nasib dari algoritma aplikasi.

• Kurir ekspedisi yang dibayar per paket, bukan per jam.

• Guru honorer dengan gaji rendah, kontrak mudah diputus.

• Pekerja start-up yang dirumahkan saat perusahaan “efisiensi.”

• Content creator yang mengejar algoritma platform.

• Buruh pabrik outsourcing yang diganti kapan saja.

Ketika harga pangan melonjak, merekalah yang paling dulu tercekik. Ketika biaya hidup naik, sementara kontrak bisa diputus sepihak, masa depan mereka runtuh.

Maka wajar jika wajah-wajah prekariat menjadi mayoritas dalam protes kemarin.

Mereka datang bukan hanya karena marah, tetapi karena ketakutan yang menumpuk: takut esok tak ada penghasilan, takut anak putus sekolah, takut masa depan tetap kosong.

-000-

Sejarah mencatat, proletariat abad ke-19 mengguncang Eropa, melahirkan revolusi dan negara kesejahteraan.

Kini, abad ke-21, prekariat lahir di jalan-jalan Jakarta, Bandung, Medan, hingga Makassar.

Mereka datang dengan keresahan zaman digital: hidup diatur algoritma, masa depan ditentukan kontrak sementara, keberlangsungan ditentukan pasar yang dingin.

Victor Hugo pernah berkata: “Tidak ada yang lebih kuat daripada sebuah ide yang waktunya telah tiba.”

Hari ini, ide itu bernama martabat manusia yang menolak hidup dalam ketidakpastian abadi.

Michael Sandel mengingatkan: “Pasar harus menjadi alat bagi manusia, bukan manusia yang menjadi alat bagi pasar.”

Bila negara menutup telinga, keresahan ini bisa disambar populisme dan berubah menjadi api.

Namun bila negara hadir—melindungi yang rapuh, memperluas jaring pengaman sosial, membuka ruang partisipasi—maka keresahan ini bisa menjadi tenaga sejarah yang memperbarui demokrasi.

Karena sesungguhnya, protes itu bukan sekadar amarah. Ia adalah jeritan zaman. Ia jeritan anak-anak algoritma yang rapuh, tetapi tetap ingin hidup bermartabat.

Pemerintah dapat merespons keresahan prekariat, kelas baru yang rawan ini dengan langkah konkret. Misalnya memperluas skema perlindungan sosial universal.

Juga memastikan akses jaminan kesehatan dan pensiun meski pekerja berpindah-pindah sektor. Juga ikut mendorong regulasi kontrak kerja yang adil.

Perlu pula menyediakan dana subsidi upskilling dan reskilling, agar pekerja fleksibel tetap memiliki masa depan produktif yang terjamin.


Di tengah ketidakpastian, teknologi digital tak hanya menjadi alat eksploitasi namun juga sarana resistensi.

Komunitas daring prekariat-forum driver, grup guru honorer-mulai merajut solidaritas lintas sektor.

Mereka berbagi strategi bertahan, mengadvokasi hak melalui petisi online, dan membangun kekuatan kolektif yang mengubah kerapuhan menjadi kekuatan
politik progresif.

Prabowo sudah banyak sekali menyiapkan aneka program yang populis, dengan anggaran yang masif. Masalah kemudian ada di tingkat eksekusi.

Termasuk dalam kategori eksekusi itu adalah kemampuan adaptif, untuk merivisi program, sesuai kebutuhan yang nyata.

Dan sejarah selalu berpihak kepada mereka yang berani mendengarkan suara paling lemah. Yang paling rawan. Kaum Prekariat.***

Jakarta, 8 September 2025


Referensi:

1. Guy Standing, The Precariat: The New Dangerous Class (Bloomsbury, 2011).

2. Michael Edwards, Civil Society (Polity Press, 2014).


-000-

Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement
Lainnya
Opini

INI BUKAN NEGARA SARANG BAJINGAN: REFLEKSI ATAS KRISIS INTEGRITAS KEPEMIMPINAN

Oleh Zulkifli S. Ekomei
pada hari Senin, 08 Sep 2025
Perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia terjadi pada periode 1999–2002, ketika UUD 1945 mengalami empat kali amandemen. Proses yang kerap disebut sebagai "kudeta ...
Opini

Saatnya DPR Dibubarkan : "Rakyat Bisa Mengurus Dirinya Sendiri!”

Kini sangat kuat Niat Masyarakat untuk Membubarkan DPR dan juga sebelumnya Kepolisian RI. Semua hal itu bukan sesuatu Niat yang Muncul Mendadak karena Satu Alasan. Penulis Tak Perlu lagi meng-urutkan ...