Oleh Tim Teropong Senayan pada hari Rabu, 03 Sep 2025 - 19:35:15 WIB
Bagikan Berita ini :

Bank Indonesia dan Pemerintah Kembali Terapkan Skema Burden Sharing: Antara Kebutuhan Fiskal dan Risiko Moneter

tscom_news_photo_1756902915.jpeg
(Sumber foto : )

Kebijakan baru Bank Indonesia (BI) dan pemerintah untuk kembali menerapkan skema burden sharing membuka perdebatan hangat tentang arah kebijakan fiskal dan moneter di era Presiden Prabowo Subianto.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, pada Selasa (2/9) mengumumkan bahwa BI akan menanggung sebagian biaya bunga dari obligasi pemerintah yang dibeli di pasar sekunder. Dana dari obligasi ini diarahkan untuk mendukung program strategis, seperti pembangunan 3 juta rumah per tahun dan pengembangan Koperasi Desa Merah Putih, yang menjadi prioritas dalam agenda pemerintahan baru.

Pertimbangan Fiskal: Defisit dan Ruang APBN

Di sisi fiskal, burden sharing dipandang sebagai instrumen untuk meredakan tekanan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Defisit Anggaran: Dengan ambisi besar program pembangunan, APBN 2025 diperkirakan menghadapi defisit lebih tinggi dari proyeksi awal. Skema burden sharing memungkinkan Kementerian Keuangan mengurangi beban bunga utang, sehingga ruang fiskal lebih longgar untuk program prioritas.

Kebijakan kontra-siklus: Pemerintah ingin menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global. Dengan dukungan BI, pembiayaan bisa dilakukan tanpa terlalu membebani penerbitan obligasi di pasar yang rentan terhadap sentimen investor asing.

Preseden Pandemi: Model burden sharing pernah sukses menopang APBN saat pandemi Covid-19, dengan BI membeli obligasi pemerintah untuk menutup pembiayaan darurat kesehatan dan pemulihan ekonomi.


Namun, secara fiskal kebijakan ini menimbulkan pertanyaan: sampai kapan mekanisme ini bisa berlanjut tanpa mengorbankan disiplin fiskal dan keberlanjutan utang negara?


Pertimbangan Moneter: Stabilitas dan Independensi BI

Dari perspektif moneter, burden sharing membawa konsekuensi serius:

Stabilitas Inflasi dan Rupiah: Dukungan BI terhadap pembiayaan pemerintah berpotensi menambah likuiditas di pasar keuangan. Jika tidak dikendalikan, ini bisa memicu inflasi dan menekan stabilitas rupiah.

Independensi Bank Sentral: Burden sharing memunculkan perdebatan klasik: sejauh mana bank sentral dapat terlibat dalam pembiayaan fiskal tanpa mengorbankan independensinya. Pengalaman global menunjukkan bahwa keterlibatan berlebihan bank sentral bisa menurunkan kredibilitas moneter di mata investor.

Risiko Moral Hazard: Jika skema ini berlangsung terlalu lama, ada risiko pemerintah menjadi kurang disiplin dalam mengelola APBN, karena merasa memiliki “jaminan” dari BI.

Pasar Obligasi: Investor obligasi akan mengamati dengan cermat. Jika burden sharing dianggap sebagai bentuk moneterisasi utang, yield obligasi bisa naik karena risiko persepsi kredibilitas fiskal.

Kalkulasi Teknis: Skema Bagi Beban

Perry Warjiyo menjelaskan bahwa mekanisme burden sharing dilakukan dengan membagi dua selisih antara yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun dan suku bunga deposito pemerintah. Dengan kata lain, BI ikut menanggung sebagian beban bunga yang seharusnya menjadi kewajiban penuh APBN.

Namun, Perry belum menjelaskan berapa lama skema ini akan berlangsung, berapa besar obligasi yang akan ikut ditanggung, serta bagaimana dampaknya pada neraca BI ke depan. Ketidakpastian detail ini menambah tanda tanya mengenai arah kebijakan.

Timeline Historis Skema Burden Sharing di Indonesia

Juli 2020 (Era Presiden Jokowi – Pandemi Covid-19):
BI dan Kementerian Keuangan menandatangani Kesepakatan Bersama burden sharing senilai Rp574,59 triliun. Dana digunakan untuk pembiayaan kesehatan, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi. Skema ini dianggap langkah luar biasa (extraordinary measures) di tengah krisis.

2021:
Burden sharing dilanjutkan dengan porsi yang lebih terbatas. BI menanggung bunga obligasi untuk sektor kesehatan dan perlindungan sosial, sedangkan pembiayaan pemulihan ekonomi kembali ditanggung penuh oleh APBN.

2022:
Pemerintah dan BI menyepakati burden sharing transisi senilai Rp439 triliun, berlaku hingga akhir 2022. Setelah itu, pemerintah berkomitmen mengakhiri skema khusus ini demi kembali ke disiplin fiskal normal.

2023 – 2024:
Burden sharing dihentikan, dengan APBN kembali sepenuhnya menanggung pembiayaan utang. BI fokus pada stabilisasi inflasi dan nilai tukar di tengah gejolak global.

September 2025 (Era Presiden Prabowo):
Skema burden sharing diaktifkan kembali untuk mendukung agenda pembangunan strategis: 3 juta rumah per tahun dan Koperasi Desa Merah Putih. Belum ada kepastian soal plafon nilai, durasi, maupun lingkup obligasi yang ditanggung.

Antara Urgensi Politik dan Kehati-hatian Ekonomi

Pemerintah jelas membutuhkan instrumen pembiayaan untuk mendukung program populis dan strategis Presiden Prabowo. Namun, di sisi lain, BI harus menjaga kredibilitas moneter dan independensinya.

Dilema ini menuntut koordinasi erat fiskal–moneter agar burden sharing tidak menjadi jebakan jangka panjang. Transparansi, disiplin fiskal, serta komunikasi yang jelas kepada publik dan investor global akan menjadi kunci agar kebijakan ini dipandang sebagai upaya temporer dan terkendali, bukan sebagai bentuk permanen moneterisasiutang.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement
Lainnya
Opini

Prabowo dan Inspirasi Mandela: Antara Kompromi, Kelembutan, dan Tantangan Demokrasi

Oleh Team teropongsenayan.com
pada hari Rabu, 03 Sep 2025
Presiden Prabowo Subianto hampir satu tahun menjalankan amanah kepemimpinannya. Dalam perjalanan politiknya, banyak kalangan menilai gaya kepemimpinan Prabowo memiliki nuansa yang unik—keras ...
Opini

Kunjungan Komisi XI ke Australia: Klarifikasi Misbakhun, Polemik Itinerary, dan Tarik-Menarik Persepsi Publik

TeropongSenayan.com – Publik sempat dihebohkan dengan kabar adanya agenda non-kerja dalam kunjungan Komisi XI DPR RI ke Australia, termasuk isu Sydney Marathon yang mencuat di media sosial. ...