Presiden Prabowo Subianto hampir satu tahun menjalankan amanah kepemimpinannya. Dalam perjalanan politiknya, banyak kalangan menilai gaya kepemimpinan Prabowo memiliki nuansa yang unik—keras dalam prinsip, tetapi lunak dalam gestur. Inspirasi besar itu datang dari tokoh dunia asal Afrika Selatan, Nelson Mandela.
Mandela dikenang bukan hanya sebagai pejuang anti-apartheid, tetapi juga sebagai simbol rekonsiliasi. Setelah 27 tahun dipenjara, ia tidak menumpahkan dendam, melainkan membangun ruang kompromi dan perdamaian dengan lawan-lawan politiknya. Model kepemimpinan inilah yang, menurut sejumlah pengamat, terlihat dalam pola kebijakan Presiden Prabowo.
Ruang Kompromi dalam Kepemimpinan
Hampir setiap kebijakan Prabowo sejak awal pemerintahannya menunjukkan upaya merangkul dan memberi ruang kompromi. Ia jarang menampilkan wajah kebencian, bahkan terhadap lawan-lawan politiknya. Sikap ini bukan berarti ketiadaan ketegasan, melainkan pilihan sadar untuk menjaga stabilitas politik nasional.
Kecenderungan itu terlihat jelas pada respons pemerintah terhadap demonstrasi 25–31 Agustus 2025. Gelombang aksi yang menelan korban jiwa dan kerugian harta benda tidak dihadapi dengan kekerasan berlebihan. Justru, Prabowo memilih langkah yang oleh sebagian pihak disebut sebagai “terkesan lunak”.
Pemerintah tidak menutup ruang aspirasi rakyat. Aparat diarahkan untuk menahan diri, sementara dialog nasional mulai dibuka sebagai kanal penyelesaian. Bagi para pendukungnya, inilah warisan Mandela yang nyata: menghadapi gejolak dengan rekonsiliasi, bukan represi. Namun, bagi para pengkritiknya, kelunakan ini berpotensi dianggap kelemahan dalam menghadapi ketidakpuasan politik.
Timeline Peristiwa Demonstrasi 25–31 Agustus 2025
25 Agustus 2025 – Aksi unjuk rasa dimulai di Jakarta dengan tuntutan terkait isu ekonomi, hukum, dan dugaan penyalahgunaan kekuasaan. Aksi berlangsung damai, namun berujung ricuh saat malam.
26 Agustus 2025 – Demonstrasi meluas ke sejumlah daerah, termasuk Bandung, Yogyakarta, dan Medan. Polisi mulai meningkatkan penjagaan, tetapi instruksi Presiden menekankan agar aparat menahan diri.
27 Agustus 2025 – Bentrokan pecah di Jakarta dan Surabaya. Sejumlah korban luka dilaporkan. Pemerintah mulai menggelar rapat darurat keamanan.
28 Agustus 2025 – Massa semakin besar, terutama dari kalangan mahasiswa dan buruh. Kerusuhan kecil terjadi di sekitar gedung DPR/MPR. Korban jiwa pertama tercatat pada hari ini.
29 Agustus 2025 – Presiden Prabowo menyampaikan pernyataan resmi: pemerintah membuka ruang dialog dan menegaskan tidak akan menggunakan pendekatan represif. Pernyataan ini mendapat apresiasi dari sebagian pihak, namun juga kritik keras dari lawan politik.
30 Agustus 2025 – Gelombang aksi mulai menurun intensitasnya, tetapi masih terjadi insiden perusakan fasilitas publik di beberapa kota.
31 Agustus 2025 – Situasi relatif kondusif. Pemerintah membentuk tim khusus untuk menginvestigasi penyebab kerusuhan dan menyalurkan kompensasi kepada korban.
Timeline ini menunjukkan bahwa sikap kompromistis Prabowo menjadi faktor penting dalam meredam potensi eskalasi lebih besar, meski tetap menyisakan kritik soal efektivitas langkah pemerintah.
Momentum Diplomasi dengan Putin
Dimensi lain dari gaya kepemimpinan Prabowo juga terlihat dalam arena diplomasi internasional. Dalam sambutannya di acara yang digelar bersama Presiden Rusia, Vladimir Putin, Prabowo menekankan pentingnya perdamaian, kerja sama strategis, dan penghormatan terhadap kedaulatan antarbangsa.
Pidato tersebut tidak hanya mencerminkan kepentingan pragmatis Indonesia dalam memperkuat aliansi global, tetapi juga menegaskan posisi Prabowo sebagai pemimpin yang menolak polarisasi. Sama seperti Mandela, ia ingin dipersepsikan sebagai tokoh yang bisa berdiri di tengah pertarungan kepentingan global—membangun jembatan, bukan tembok.
Tantangan di Tahun Pertama Kekuasaan
Meski demikian, jalan kompromi yang ditempuh Prabowo bukan tanpa tantangan. Demonstrasi besar di akhir Agustus menjadi ujian pertama bagi legitimasi kepemimpinannya. Di satu sisi, sikap lunak mencegah eskalasi konflik; di sisi lain, ia harus memastikan bahwa kelembutan tidak dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang ingin mengguncang stabilitas negara.
Hampir setahun berkuasa, Prabowo seolah sedang menapaki jalan yang ditempuh Mandela: memimpin dengan hati, bukan dengan kebencian. Namun, sejarah juga mengingatkan, rekonsiliasi tidak bisa berdiri tanpa fondasi keadilan. Prabowo dituntut tidak hanya menjadi simbol kompromi, tetapi juga menghadirkan keadilan hukum, pemerataan ekonomi, serta penegakan HAM yang konsisten.
Menanti Arah Selanjutnya
Indonesia kini memasuki fase penting. Jalan lunak yang ditempuh Prabowo bisa menjadi aset besar dalam merawat demokrasi dan menghindari spiral kekerasan politik. Tetapi, publik juga menunggu langkah konkret: bagaimana kompromi diimbangi dengan kepastian hukum dan ketegasan dalam menghadapi pelanggaran.
Seperti Mandela yang berhasil membawa Afrika Selatan melewati fase transisi paling genting, Prabowo menghadapi tantangan besar untuk membawa Indonesia tetap utuh, stabil, dan sejahtera. Pertanyaannya kini: apakah inspirasi Mandela akan terus menjadi panduan utama, ataukah realitas politik dalam negeri akan memaksa Prabowo menunjukkan sisi kerasnya?
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #