Oleh Sahlan Ake pada hari Sabtu, 13 Sep 2025 - 10:27:27 WIB
Bagikan Berita ini :

Ketum SOKSI Ali Wongso Apresiasi Saraswati Teladan Jiwa Besar, Saatnya DPR & Pemerintah Bercermin

tscom_news_photo_1757734047.jpg
Ali Wongso Sinaga Ketua Umum SOKSI (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Langkah Saraswati untuk mundur dari kursinya sebagai anggota DPR karena merasa telah menyakiti hati rakyat, meski tanpa maksud buruk, adalah tindakan yang sangat jarang terjadi dan pantas mendapat apresiasi tinggi. Keputusan itu menunjukkan jiwa besar, keberanian untuk introspeksi, dan kesediaan menanggung konsekuensi moral bukan karena hukum memaksanya, tetapi karena hati nurani.

Ketua Umum SOKSI Ir. Ali Wongso menyatakan itu sekaligus mengapresiasi sikap Saraswati sebagai teladan yang perlu dicermati oleh DPR dan seluruh pemangku kekuasaan di pemerintahan dalam menjawab pertanyaan media pada Jumat (12/09/2025) sore di Jakarta.

Ia menambahkan bahwa Saraswati telah membuktikan seorang wakil rakyat sejati tidak hanya bicara soal undang-undang, anggaran, atau pengawasan, tetapi juga soal menjaga hati publik. Mundurnya Saraswati adalah pesan kuat : kehormatan, moralitas dan integritas lebih penting daripada jabatan, dan suara hati rakyat harus selalu ditempatkan di atas kepentingan pribadi.

Lebih mendalami apa sesungguhnya kesalahan Saraswati, mantan anggota Badan Legislasi DPR itu mengamati objektifnya, kesalahan Saraswati berawal dari pernyataan publiknya yang dimaksudkan untuk memotivasi masyarakat agar tidak bergantung pada bantuan negara, tetapi perlu berusaha mandiri, bermental tangguh, dan berani mengaktualisasi diri sebagai wirausaha.

Niatnya adalah mendorong lahirnya lebih banyak entrepreneur yang bisa mengatasi persoalan hidup dengan mental dan semangat kemandirian. Itu sesungguhnya pendidikan motivasi sangat bagus bagi generasi baru dan muda bangsa ini.

Namun, cara penyampaian yang kurang hati-hati membuat sebagian masyarakat merasa tersinggung, seolah ia menyalahkan rakyat yang sedang menghadapi kesulitan ekonomi, meskipun tidak demikian. Di sinilah letak “kesalahan komunikatif” Saraswati : bukan pada niatnya, melainkan pada ekspresi yang dianggap kurang sensitif di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sedang sulit.

Kesadaran diri untuk mengakui kekeliruan itu meski sejatinya ucapannya punya niat positif menunjukkan kualitas moral dan integritas pribadi Saraswati yang tinggi. Ia memilih mundur bukan karena terbukti bersalah secara hukum, melainkan karena menghormati perasaan rakyat banyak, ungkap politisi senior Partai Golkar itu.

Ia menambahkan bahwa dalam dunia politik, pengunduran diri demikian jarang terjadi apalagi di Indonesia, kecuali karena tekanan hukum. Bahkan banyak pejabat memilih bertahan pada jabatannya meski telah terbukti melanggar etika atau hukum. Tetapi Saraswati berbeda. Ia memilih menjaga integritas dan kehormatan serta nama baik institusi, bahkan rela melepaskan posisi yang prestisius.

“Sepanjang pengamatan saya, di Indonesia ini baru ada pertama kali pengunduran diri begini, tokoh Saraswati benar-benar membuat sejarah baru yang mendorong pencerahan budaya politik baru yang luar biasa manfaatnya bagi masa depan Indonesia,” papar mantan Ketua DPP Partai Golkar tiga periode 2004 hingga 2017 itu.

"Inilah standar moral yang seharusnya menjadi teladan bagi seluruh anggota DPR bahkan Pejabat Pemerintah. Jiwa besar, kesediaan menerima kritik, dan keberanian bertanggung jawab adalah nilai yang saat ini sangat dirindukan publik dari para wakilnya di Senayan dan para pejabat Pemerintahan," tegasnya.

Menjawab pertanyaan media, tokoh senior SOKSI itu menilai keputusan Saraswati terasa semakin bermakna ketika dibandingkan dengan fenomena lain yang membuat rakyat kecewa dan marah baru-baru ini : “pernyataan beberapa anggota DPR yang menyakiti hati rakyat hingga perilaku mencederai rasa keadilan publik saat jutaan rakyat berjuang menekan pengeluaran rumah tangga, menghadapi kenaikan harga, dan kesulitan mencari pekerjaan, justru sebagian wakilnya nekad menikmati perjalanan mewah ke luar negeri dengan dalih kunker menghabiskan miliaran rupiah uang rakyat.”

Pertanyaannya, apakah mereka yang sudah mennyakiti hati rakyat itu mampu meneladani Saraswati yang kesalahannya tak seberat mereka tapi Saraswati berjiwa besar dan telah menunjukkan sensitivitas moral secara luar biasa? Ironisnya dari rombongan kunker luar negeri DPR yang menyakiti hati rakyat itu hingga saat ini belum ada satupun mereka yang menunjukkan jiwa besar untuk sekadar meminta maaf kepada publik apalagi memutuskan mundur dari anggota DPR seperti Saraswati?

Lebih lanjut, Ali Wongso Sinaga menilai rangkaian demo aspirasi rakyat akhir-akhir ini diikuti fenomena Saraswati ini merupakan momentum introspeksi bagi seluruh anggota DPR dan Pemerintah untuk bercermin. Legitimasi DPR dan Pemerintah hanya bisa terjaga bila anggota DPR dan para Menteri dan pejabat pemerintah mengutamakan integritas. Bila ada kesalahan, sekecil apa pun, keberanian bertanggung jawab harus lebih diutamakan daripada sekadar bertahan di kursi kekuasaan.

Budaya mundur karena tanggung jawab moral bukan kelemahan, tapi manifestasi kehormatan publik. DPR dan Pejabat Pemerintah harus bercermin : jabatan bukan tumpukan hak, melainkan amanah. Tetapi maknanya tentu lebih luas : legislatif, eksekutif dan yudikatif juga harus melakukan introspeksi obyektif atas kinerja mereka bagi kemajuan kehidupan rakyat bangsa negara.

Setiap anggota DPR, Menteri atau pejabat negara memiliki kewajiban moral untuk mengaudit diri : apakah visi misi Astacita sesuai bidang tugasnya sudah dijalankan, apakah rakyat merasakan manfaatnya, apakah integritasnya terjaga?
Bagi para menteri , bila nyata-nyata lalai dan gagal dalam aspek-aspek strategis, apalagi bila karena kelalaian atau kegagalan itu merusak kredibilitas Pemerintah Presiden Prabowo, maka seharusnyalah si menteri itu berjiwa besar menyatakan dirinya gagal dan mundur dengan terhormat meneladani jiwa besarnya Saraswati tanpa harus menunggu reshuffle oleh Presiden.

Politisi senior mantan Anggota DPR itu menambahkan pengamatannya jika mau jujur bahwa sementara ini tidak sedikit pejabat di Kabinet Merah Putih yang kurang perform bila diaudit berbasis Astacita visi misi Presiden Prabowo, apalagi jika dikaitkan dengan obsesi merespons Paradoks Indonesia sebagaimana dalam buku yang ditulis Pak Prabowo tahun 2017 lalu.

Contoh yang ironis , ketika sosok Menteri Hukum yang seharusnya menjadi benteng utama dalam menegakkan kepastian hukum—terlihat lalai dalam mengawasi pelaksanaan amanahnya. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas pernah mengakui bahwa Kementerian Hukum lalai dalam pengawasan terkait masalah royalti di Indonesia, sebuah kelalaian yang menurut publik tidak hanya menyakiti kepercayaan tetapi juga mencoreng tugas dasarnya sebagai penjaga hukum.

Jika pejabat hukum tidak mampu menegakkan kepastian hukum di lingkungannya sendiri, maka mereka mencederai janji moral yang terkandung dalam Astacita ketujuh yakni memperkuat penegakan hukum, perlindungan hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi serta segala praktek yang merusak keadilan dan kepastian.

Astacita ketujuh bukan hanya slogan, melainkan tolok ukur moral bagi pemerintahan yang ingin dipercaya publik.
Menteri Hukum sebagai pembuat dan pengawas regulasi hukum harus mampu lebih dari sekadar menyatakan pentingnya kepastian hukum; ia harus menunjukkan bukti nyata regulasi yang konsisten, pengawasannya efektif, respons terhadap kritik penegakan hukum, dan bila gagal memenuhi itu semua, sikap moral yang paling terhormat adalah mundur, bukan menunggu reshuffle atau terus-bertahan atas nama stabilitas politik.

Menutup keterangannya, mantan Wakil Ketua Dewabn Pakar Partai Golkar itu menegaskan Saraswati telah meninggalkan teladan berharga : bahwa kehormatan wakil rakyat lahir dari jiwa besar untuk menjaga hati publik. Ia berani mundur bukan karena terpaksa, tetapi karena sadar bahwa rakyat harus ditempatkan sebagai pusat pertimbangan moral.

Kini, bola ada di tangan anggota DPR lainnya dan Pemerintah. Apakah mereka yang sudah menyakiti hati rakyat berani meneladani Saraswati dengan introspeksi dan bertanggung jawab, atau memilih bertahan meski jelas-jelas telah melukai hati rakyat dengan gaya hidup mewah yang dibiayai uang negara? Demikian juga jika posisinya menteri dan pejabat pemerintahan yang lalai melaksanakan tugasnya dalam melayani rakyat dan melaksanakan pemerintahan serta pembangunan berbasis astacita visi misi Prresiden?

Sejarah akan mencatat. Dan rakyat akan selalu menghormati mereka yang berjiwa besar seperti Saraswati serta mengingat mereka yang lebih memilih bertahan di kursi kekuasaan meski sudah kehilangan kredibilitas dan hati rakyat.

Saraswati sudah memberi contoh: kehormatan lebih penting daripada jabatan. DPR harus bercermin. Pemerintah juga harus menyadari bahwa kepercayaan publik dipertaruhkan bukan hanya lewat retorika, tetapi lewat tindakan nyata: hukum ditegakkan tanpa diskriminasi, pejabat yang gagal melaksanakan tugas pengabdiannya haruslah bertanggung jawab secara moral ; bila gagal, mundurlah dengan integritas dan jiwa besar.

"Jiwa besar bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan bagi bangsa yang ingin bersih, adil, dan demokratis. Bila pejabat hanya menunggu reshuffle atau tekanan publik, maka kita semua kalah rakyat, institusi, dan moral negara. Kini saatnya DPR dan Pemerintah melihat ke dalam, dan menempatkan amanah publik di atas segala kepentingan," tutupnya.

tag: #soksi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement