JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Anggota Komisi III DPR RI Abdullah meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghapus isi pasal pada Peraturan OJK Nomor 22 Tahun 2023 Tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan pada Pasal 44 ayat (1) dan (2). Aturan ini memperbolehkan pelaku jasa keuangan melakukan penagihan melalui pihak ketiga atau jasa penagih utang/debt collector.
Hal ini menyusul maraknya praktik di lapangan, di mana pihak ketiga atau debt collector justru banyak melakukan pelanggaran, yakni menagih utang tidak sesuai aturan, bahkan sampai melakukan tindak pidana.
“Saya mendesak OJK menghapus aturan pelaku jasa keuangan yang boleh melakukan penagihan utang menggunakan jasa pihak ketiga," kata Abdullah, Jumat (10/10/2025).
"Alasannya, praktik di lapangan tidak sesuai aturan dan malah banyak tindak pidana, saya mendorong juga masalah utang ini diselesaikan secara perdata,” sambung Legislator dari Dapil Jateng VI itu.
Abdullah sebagai Anggota Komisi Hukum DPR tersebut mengaku miris dengan peristiwa penagih utang yang melakukan tindak pidana. Misalnya, kasus penagih utang yang mengancam polisi saat ingin melakukan penarikan mobil di Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang pada Kamis (2/10) malam.
Seorang penagih utang berinisial L (38), melakukan pengancaman akan menghajar polisi tersebut. Pelaku kini sudah menjadi tersangka dan ditahan di Polres Tangerang.
Selain itu, ada juga peristiwa di Lapangan Tempel Grogol, Sukuharjo, Jawa Tengah pada Kamis (2/10) lalu di mana mobil penagih utang ditimpuki batu oleh warga saat ingin menarik mobil di daerah pemukiman warga.
Aksi penimpukan dikarenakan mobil penagih utang mengebut di pemukiman warga dan menimbulkan keributan yang meresahkan warga.
“Pelanggaran yang dilakukan penagih utang ini sudah banyak diadukan,” jelas Abdullah.
Adapun data dari OJK untuk periode Januari hingga 13 Juni 2025, terdapat 3.858 aduan terkait penagihan utang oleh pihak ketiga yang tidak sesuai dengan ketentuan. Ditambah lagi, kata Abdullah, para penagih utang juga diduga kuat banyak melakukan tindak pidana, mulai dari ancaman, kekerasan dan mempermalukan.
"Namun pertanyaan saya, sudah berapa banyak perusahaan jasa keuangan yang diberi sanksi administratif atau bahkan sampai pidana?” tukas pria yang akrab disapa Abduh itu.
Lebih lanjut, Abduh mendorong penyelesaian masalah utang ini diselesaikan melalui perdata. Dengan cara ini, risiko pelanggaran lainnya seperti tindak pidana relatif kecil dan dapat diminimalisir.
“Melalui perdata perusahaan jasa keuangan mesti mengikut mekanisme yang ada. Mulai dari penagihan, penjaminan, sampai penyitaan,” sebut Abduh.
“Mereka yang berutang atau debitur, jika tidak mampu membayar juga akan masuk daftar hitam atau blacklist nasional melalui Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) Bank Indonesia atau OJK,” terang tambahnya.
Desakan dan dorongan ini pun disampaikan Abduh, mengacu pada perspektif hukum dan HAM yang melindungi konsumen sebagai pihak yang rentan. Namun, penagihan utang juga adalah hak kreditur atau pelaku jasa keuangan yang harus dihormati.
“Maka itu, sekali lagi saya tegaskan, negara hukum yang beradab tidak mengukur keberhasilan penegakan hukum dari seberapa banyak orang dipaksa membayar utang, melainkan dari seberapa jauh hak manusia dihormati dalam proses itu,” pungkas Abduh.