
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyesuaian Pidana saat ini dibahas secara kilat di Komisi III DPR RI dan memicu perdebatan publik yang sangat tajam.
Di satu sisi, pemerintah dan mayoritas fraksi di DPR menilai RUU ini sebagai “harmonisasi teknis yang mendesak” untuk menyelaraskan 140 undang-undang sektoral dan ribuan Perda dengan KUHP baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026.
Namun di sisi lain, sejumlah organisasi masyarakat sipil -seperti ICJR, Kontras, dan YLBHI- bersama para akademisi memberikan kritik keras.
Ekosistem civil society ini menilai pembahasan yang serba cepat berpotensi mengurangi daya cegah terhadap tindak pidana berat. Kekhawatiran muncul bahwa penghapusan pidana minimum dan konversi pidana kurungan menjadi denda dapat membuka ruang bagi putusan yang tidak konsisten dan potensi penyalahgunaan diskresi hakim.
Di tengah silang pandangan tersebut, Pakar Hukum Prof Dr Henry Indraguna, SH., MH., memberikan perspektif lebih luas dan mendalam.
Menurut Prof Henry, RUU ini bukan sekadar pekerjaan teknis, melainkan langkah reorientasi filosofis terhadap sistem hukum pidana Indonesia, yang berakar kuat pada nilai-nilai Pancasila dan visi konstitusional negara kesejahteraan.
“Hukum pidana tidak boleh lagi menjadi alat negara untuk memenjarakan rakyat miskin akibat kemiskinan struktural. Penghapusan kurungan jangka pendek, konversi menjadi denda berbasis kategori, serta peniadaan pidana minimum untuk pelanggaran ringan merupakan bentuk emansipasi kelas bawah dari warisan kolonial yang represif,” ujar Prof Henry di Jakarta, Jum"at (28/11/2025).
Profesor dan Guru Besar Unissula Semarang ini mencatat bahwa kondisi overcrowding lapas—yang saat ini melebihi 270.000 narapidana—sebagian besar disumbang oleh kasus-kasus ringan.
Fakta ini, kata Prof Henry, menjadi cermin gagalnya sistem hukum retributif yang masih menyisakan jejak kolonialisme dan logika kapitalistik.
Melalui RUU ini, negara dapat mengalihkan sumber daya dari mekanisme represif menuju pendidikan, kesehatan, dan penciptaan lapangan kerja, sejalan dengan amanat Pasal 33 dan 34 UUD 1945.
“Wujud negara kesejahteraan adalah memiskinkan penjara dan memperkaya kemanusiaan,” tegasnya.
Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta dan Universitas Borobudur Jakarta ini juga menyoroti pentingnya penguatan restorative justice serta keberadaan pidana mati bersyarat dengan masa percobaan 10 tahun, sebagai ekspresi solidaritas sosial bangsa Indonesia.
“Memberikan kesempatan kedua agar seseorang tetap dapat produktif dan bermanfaat bagi masyarakat adalah inti dari keadilan yang berperikemanusiaan,” terang Wakil Ketua Dewan Pembina Kongres Advokat Indonesia (KAI) ini.
Penasehat Ahli Balitbang DPP Partai Golkar ini optimistis bahwa reformasi hukum merupakan titik balik sejarah—pergeseran dari sistem pidana kolonial yang menindas menuju sistem hukum yang membebaskan, memberdayakan, dan memanusiakan, terutama bagi kelompok masyarakat paling rentan.
Pembahasan RUU Penyesuaian Pidana di Panitia Kerja Komisi III DPR RI ditargetkan rampung dan disahkan sebelum akhir Desember 2025.