PERBINCANGAN di pengujung tahun 2014 itu masih didominasi oleh dinamika politik di gedung Parlemen. Yaitu mulai dan soal kunjungan kerja (kunker) di masa reses, nasib interpelasi terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yangkontradiktif dengan penurunan harga minyak dunia, munculnya kepengurusan kembar Partai Golkar.
Fokus terakhir adalah menghangatnya soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Pilkada. Itu muncul setelah Ketua Umum Partai Golkar produk Munas IX di Nusa Dua Bali Aburizal Bakrie yang menolak Perppu Pilkada. Pernyataan penolakan itu merujuk pada aspirasi yang berkembang di kalangan peserta munas ketika itu.
Tak lama kemudian, muncullah reaksi keras dari mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mempertanyakan sikap Partai Golkar tersebut. Persoalan ini menjadi serius ketika DPR diminta menyikapi terbitnya Perppu PIlkada oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di ujung masa jabatannya.
Perppu itu merupakan jawaban SBY yang juga ketua umum DPP Partai Demokrat sebagai bentuk penolakan untuk menandatangani UU Pilkada yang disahkan oleh rapat paripurna DPR di akhir masa jabatan DPR periode 2009-2014. Sementara itu, data dari Komisi Pemiihan Umum (KPU) menyebutkan, pada 2015 terdapat 204 daerah akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) yang meliputi 197 kota/kabupaten dan 7 provinsi.
UU Pilkada itu menetapkan pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung. Sementara itu, SBY menghendaki pilkada langsung. Sebetulnya, UU Pilkada dimenangi oleh pilihan langsung jika dalam paripurna yang berlangsung hingga dini hari (26 September 2014), Fraksi Partai Demokrat tidak melakukan aksi walk out.
Alhasil, perjuangan mewujudkan UU Pilkada langsung pupus, karena hanya didukung 135 anggota dari unsur Koalisi Indonesia Hebat (KIH), minus suara Demokrat. UU Pilkada menjadi tidak langsung setelah dimenangi oleh Koalisi Merah Putih (KMP) dengan 226 suara.
Pada 1 Oktober, SBY bersama pimpinan partai anggota KMP membuat kesepakatan untuk mendukung Perppu Pilkada yang dibuatnya. Tentu amatlah bijak jika demi kepentingan yang lebih besar dalam dalam jangka panjang, ungkapan penolakan diperjelas konteksnya.
Boleh saja Partai Golkar menolak Perppu Pilkada. Tapi, ketika keputusan DPR berbeda warna, yaitu tak lagi memperjuangkan UU Pilkada dan menolak Perppu, tentu saja Golkar harus arif dan bijaksana menerima keputusan kolektif tersebut. Sikap itu diperlukan untuk menjaga keutuhan KMP maupun kepentingan bangsa dan negara. Jadi, "politik itu dinamis," meminjam istilah yang berulangkali dilontarkan Prof Hendrawan Supratikno saat menjadi narasumber talk show di sebuah stasiun televisi swasta. (b)