JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Indonesia kini dinilai telah kembali menjadi feodal. Pasalnya, penguasa merusak kehidupan demokrasi dengan membungkam dan menangkapi para pengritik dalam kasus penistaan agama Islam yang dilakulan Ahok. Selain itu juga memutarbalikkan fakta seenaknya sendiri.
Situasi itu menurut Anggota Komisi III DPR RI, Raden Muhammad Syafi’i antara lain ditunjukan oleh Presiden Jokowi dan Polri yang menjalankan standar ganda dalam menangani kasus penistaan agama Islam oleh Ahok. Menurutnya Polri toleran terhadap Ahok namun represif terhadap umat Islam.
“Indonesia kembali ke zaman feodal semua yang diangap berbeda dengan kepentingan penguasa dan yang mengkritik penguasa ditangkap.Rusak demokratisasi yang telah dibangun dengan darah dan air mata karena sangat jelas keberpihakan polisi bukan pada kebenaran dan keadilan,” ujar Raden Muhammad Syafi’i ketika dihubungi, Sabtu (26/11/2016).
Pria yang kerap disapa Romo ini mencontohkan betapa polisi masih membiarkan Ahok tetap bebas, sebaliknya menangkapi pihak yang melawan dan melaporkan Ahok. "Contohnya jelas, Buni Yani, para aktivisi HMI, dan terakhir adalah penyebar isu rush money. Mereka hanya berupaya menekan pemerintah untuk menegakan hukum, tapi mereka ditangkap, Ahoknya masih bebas berkeliaran,” tambahnya.
Disisi lain, menurut Romo, polisi justru terus melindungi pihak-pihak yang selama ini terlihat mendukung dan melindungi Ahok. Seharusnya menurut Romo, semua pihak yang juga membuat berbagai macam isu untuk melindungi Ahok segera dijadikan tersangka dan ditahan.
“Para pelindung Ahok kan juga membuat isu macam-macam, tengok saja isu soal adanya aktor intelektual dibalik demo itu, saya gak perlu sebut namanya, masyarakat sudah tahu. Tengok juga itu penyebar isu makar, kenapa tidak ditangkap? Isu makar itu Kapolri yang mengungkapkan, sekarang mana buktinya, bisa gak Kapolri jelaskan siapa yang mau makar?Kalau tidak bisa yah harus ditangkap,” tegasnya.
Lebih anehnya, Kapolri dan jajarannya justru bertemu dengan para buzzer Ahok yang jelas banyak membuat heboh di sosial media dan menimbulkan perpecahan dan keutuhan NKRI. ”Itu Kapolri untuk apa menemui buzzer Ahok? Tangkap juga mereka dong, karena mereka juga banyak buat isu tidak benar,” jelasnya.
Kalau polisi memang mau menerapkan hate speech, maka seharusnya bukan cuma rakyat yang ditangkap karena banyak Jenderal polisi juga yang melontarkan hate speech. Dia pun mencontohkan pernyataan Kapolda Metro Jaya yang menghasut masyarakat untuk memukuli aktivis HMI.
“Itu Kapolda sudah mengeluarkan hate speech dengan perintahnya “pukul itu” (anak-anak HMI). Polisi harusnya bisa menjaga keamanan dan ketertiban dan harus memastikan hukum dijalankan. Negara sekarang sudah rawan isu. Kalau polisi tidak berani menindak semua penyebar isu seperti tuduhan ada aktor intelektual dan makar, maka semua penyebar isu lainnya juga tidak boleh ditindak. Kalau yang lain ditindak, maka itu yang menyebar isu aktor intelektual dan juga makar, juga harus ditindak,” tandasnya.(ris)