Opini
Oleh Asyari Usman (Mantan Wartawan BBC) pada hari Minggu, 16 Apr 2017 - 14:48:44 WIB
Bagikan Berita ini :

Mungkin “Tiko” itu Sudah Viral di Kalangan Warga Tionghoa

89IMG_20170201_194417.jpg
Asyari Usman (Mantan Wartawan BBC) (Sumber foto : Istimewa )

Yang selalu menjadi masalah di kalangan elit politik dan kekuasaan di Indonesia terkait dengan fakta yang tidak mengenakkan ialah, bahwa mereka berusaha membantah-bantah seolah-olah fakta itu tidak terjadi.

Inilah yang ditunjukkan oleh Darmadi Durianto, politisi senior PDIP, sehubungan dengan kasus caci-maki dan penghinaan yang dialami oleh Gubernur NTB, Muhammad Zainul Majdi, sewaktu antrian di bandara Changi, Singapura, belum lama berselang.

Darmadi mengatakan bahwa caci-maki “tiko”, “dasar Indon”, “dasar Indonesia”, dlsb, yang diucapkan di bandara Channgi, Singapura, oleh seorang mahasiswa yang bernama Steven Hadisurya Sulistyo (SHS) kepada Gubernur NTB, bukanlah sifat umum orang Tionghoa.

“Jangan digeneralisasi bahwa itu sebagai sikap golongan Tinghoa,” kata Darmadi perihal penghinaan yang ditujukan kepada Gubernur NTB itu.

Kita memahami keberatan Darmadi. Dan memang tidak layak disebut sebagai sifat umum warga Tionghoa. Tetapi, ada kisah lain yang dialami oleh seorang hakim, Zakaria Ansori, ketika suatu kali dia dalam penerbangan SQ dari Singapura ke Jakarta, mendengar ucapan “Indon tiko” dan “pribumi tiko” yang dilontarkan oleh bukan satu orang tetapi sejumlah anak muda Tionghoa yang duduk dibelakangnya.

Mereka silih berganti mengucapkan kata-kata penghinaan itu. Sekali lagi, bukan satu orang.

Jadi, kepada Pak Darmadi kita ingin menyampaikan bahwa di kamus anak-anak muda Tionghoa itu kelihatannya sudah terbakukan kata “Indon tiko” atau “pribumi tiko”. Dan besar kemungkinan sebutan-sebutan penghinaan itu sudah viral di kalangan mereka. Jadi, dari pengalaman Pak Hakim itu kita agak prihatin jangan-jangan di kalangan warga Tionghoa, apalagi kaum muda-remaja, sebetulnya sudah tertanam “rasa jijik” mereka melihat orang pribumi.

Menyambung “rasa jijik” itu, salah seorang teman dekat saya orang Tionghoa yang sangat saya hormati karena sikapnya yang selalu tulus terhadap saya dan keluarga saya, dan juga terhadap orang-orang lain sesama pribumi, suatu kali mengatakan secara blak-blakan (saya tidak tersinggung sama sekali), bahwa orang Tionghoa (dia sendiri menggunakan kata “Cina” waktu itu dalam nada yang ikhlas) tidak suka kepada orang Melayu/Islam karena jorok dan kumuh.

Jorok dan kumuh memang kenyataan yang tidak terbantahkan, di seluruh pelosok Indonesia. Sebagian kaum muslimin/Melayu memang seperti itu.

Saya akan melanjutkan ini, tetapi tidak dalam rangka berpolemik dengan teman dekat saya itu, melainkan sekadar memberikan gambaran kepada kita semua bahwa kondisi kumuh dan jorok itu bukanlah sesuatu yang mereka inginkan. Itu terjadi karena proses pembangunan, di mana pun juga, selalu menyisakan residu ketertinggalan, baik karena faktor alamiah maupun karena kelalaian penyelenggara negara.

Di RRC pun banyak orang kumuh dan jorok, juga di Hong Kong. Hanya saja, di Indonesia memang harus diakui bahwa ketertinggalan yang berbuntut kumuh dan jorok itu, agak “keterlaluan” porsinya. Tapi, ini pun tidak bisa dilihat sebagai watak kaum muslimin atau Melayu.

Sekarang ini sebagian besar kaum muslimin/Melayu telah keluar dari situasi yang membuat warga Tionghoa melihat “kami” ini sebagai “tiko”. Cuma, karena jumlahnya memang sangat banyak, tentulah “tiko-tiko” yang Anda rendahkan itu tetap banyak juga. Sebagaimana banyaknya “tiko” di Cina daratan sana.

Jadi, menurut hemat saya, kalau Anda, saudara-saudara kami warga Tionghoa yang beruntung bisa kaya-raya, necis, pintar, menguasai ekonomi dan bisnis di Indonesia, seharusnya Anda bukan mencaci-maki kondisi kumuh-jorok itu sebagai sesuatu yang menjadi “hak” Anda, sebagaimana anggapan kasta tinggi terhadap kasta rendah di masyarakat India.

Semestinyalah Anda berkontribusi untuk mengangkat saudara senegara Anda itu (kalau pun berat hati untuk mengatakan “saudara sebangsa”) keluar dari kekumuhan dan kejorokan. Anggap saja seperti keikutsertaan ala “CSR” di kalangan usaha besar. Toh, Anda sendiri memerlukan kaum yang jorok-kumuh itu untuk eksistensi usaha Anda. Jangan-jangan banyak kontribusi kaum kumuh-jorok itu terhadap capaian bisnis Anda, terhadap tumpukan duit Anda di bank.

Semoga saja kata “tiko” bisa kita hilangkan secepat mungkin dari kamus warga Tionghoa.(*)

(Artikel ini adalah opini pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC).

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...