JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Pakar hukum pidana asal Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Mudzakir menyoroti tuntutan hukuman percobaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada terdakwa penista agama Islam, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Mudzakir mengaku miris dengan tuntutan tersebut. Pasalnya, dalam kasus ini Ahok terbukti melakukan 'aksi lompat pagar' dengan mengusik keyakinan umat beragama terhadap kitab suci yang diyakinya.
Dia menyebut, dalam konteks bernegara tindak pidana tersebut mengandung unsur penghinaan kepada sebuah keyakinan agama tertentu yang tidak dia yakini.
"Mestinya, dalam kasus ini JPU melihat dan mempertimbangkan falsafah kebhinekaan. Karena tindakan seperti itu, apalagi antar agama dalam kitab suci yang tidak diimani seharusnya hukumannya lebih berat. Karena taruhannya negara kesatuan republik indonesia," kata Mudzakir saat dihubungi, Senin (24/4/2017).
"Jadi, tidak cukup dengan menggunakan pasa 156a dan 156 itu, karena masalahnya ini sudah antar agama. Sekali lagi, dengan menghina kitab suci agama orang lain, taruhannya adalah negara kesatuan republik Indonesia," kata Mudzakir mengingatkan.
Karenanya, kata dia, sebagai bangsa yang majemuk, mestinya jaksa juga harus merenungkan terkait nasib keberlangsungan hidup beragama.
"Ingat, kita semua termasuk jaksa juga punya tugas merawat kesatuan RI. Jadi kalau itu seperti yang dituntut jaksa satu tahun percobaan dua tahun sama artinya, 'oh kalau menghina kitab suci agama orang lain hukumannya ringan'," beber Mudzakir.
Dengan begitu, lanjut Mudzakir, nantinya orang tidak lagi memandang kasus serupa sebagai tindak pidana yang serius. Karena jaksa menerapkan ancaman hukuman ringan.
"Maka itu, umpan ini harus ditangkap hakim. Mengingat, ini ancamannnya kepada negara kesatuan RI. Mestinya kejahatan terhadap bhinneka tunggal ika itu lebih berat," ungkapnya. (icl)