Opini
Oleh Ferdinand Hutahaean (Aktivis Rumah Amanah Rakyat - Bela Tanah Air) pada hari Rabu, 05 Jul 2017 - 23:49:01 WIB
Bagikan Berita ini :

Negara Di Tepi Jurang Krisis, Jokowi Sebaiknya Menyerah

31IMG-20151224-WA0002.jpg
Ferdinand Hutahaean (Aktivis Rumah Amanah Rakyat - Bela Tanah Air) (Sumber foto : Istimewa )

Rasanya tak percaya dan tidak bisa menerima kenyataan Bangsa saat ini ditengah menuju 3 tahun pemerintahan Jokowi sebagai Presiden. Kondisi Ekonomi, Politik dan Hukum rasanya berjalan seperti orang yang mabuk berat. Sempoyongan, terhuyung-huyung ke kiri ke kanan, sesekali terjerembab jatuh, bangkit lagi sempoyongan dan jatuh lagi. Meski terus bergerak tapi entah kapan akan sampai di tujuan tidak ada yang tahu, karena tujuannya sendiri ke arah mana juga tidak jelas. Tujuannya hanya kata pulang ke rumah, meski rumahnya dimana sang mabuk pun tidak tahu jalannya. Hanya berjalan, bergerak sempoyongan tanpa arah, dan mungkin saja akan terjerembab di comberan pinggir jalan tanpa bisa bangkit lagi sampai pada akhirnya sang mabuk sadar, atau di tolong pihak lain. Itulah analogi kondisi bangsa yang saat ini ada dalam pikiran saya. Mudah-mudahan Saya tidak berlebihan mengnalogikan kondisi ini.

Apakah analogi Saya berlebihan? Mari kita bahas secara singkat terkait Ekonomi, Politik dan Hukum. 3 pilar utama tegak berdirinya sebuah negara.

Pertama tentang Ekonomi. Saya tidak akan menyuguhkan data-data dan bukti dalam tulisan ini, namun saya hanya menyampaikan beberapa pokok masalah yang sudah diketahui publik dari pemberitaan media-media kelas menengah dan kecil, karena media-media besar selalu menutupinya dengan berita tentang Kodok, Biawak, Kambing dan Gorilla. Meski 2 hari terakhir akhirnya media main stream tersebut tak kuasa menutupi fakta lapangan tentang ekonomi yang sempoyongan. Hutang negara semakin menggunung dan naik drastis dalam 2,5 tahun Jokowi melampui total hutang 10 tahun SBY atau 32 tahun Soeharto. Namun hutang tersebut entah apa dampaknya sekarang terhadap pertumbuhan ekonomi, karena ternyata pertumbuhan ekonomi turun 1 point dari era SBY yang berada diangka 6,49% dan sekarang hanya berkisar 5,1%.

Pengakuan tak iklas dari Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan tentang melemahnya dan merosotnya daya beli masyarakat serta inflasi yang diumumkan BPS menunjukkan bahwa ekonomi rakyat menuju miskin. Semua bertahan hidup dengan mengencangkan ikat pinggang. Meski ditutupi kemerosotan itu dengan kalimat bahwa rakyat sudah pintar untuk tidak konsumtif. Ini kalimat tak bermutu dari seorang menteri. Tidak konsumtif adalah karena memang uang yang hendak dibelanjakan tidak ada.

Selain hutang yang menggunung bahkan nyaris diluar kemampuan membayar kita, ternyata pemerintah tak kunjung siuman dari pingsan mimpi infrastrukturnya. Rakyatpun disasar untuk dipajaki, subsidi ditarik, kemudahan berbisnis sirna meski sang Presiden pernah gagah bicara ijin investasi cukup 3 jam. Ahh tuan Presiden terlalu mudah berbicara meski tidak mengerti harus apa dan bagaimana.

Solusi yang ditawarkan atas jalan kemiskinan dan krisis ini justru ingin meningkatkan pajak dari rakyat. Kenapa harus rakyat yang terus dikorbankan setelah subsidinya dicabut? Akan lebih baik jika Jokowi memangkas APBN terutama mengurangi biaya perjalanan dan proyek-proyek tak berguna atau tak memiliki dampak langsung ke masyarakat. Jangan bermimpi menggapai bulan jika kaki masih terbenam di dalam lumpur.

Kedua tentang Politik. Publik tentu melihat betapa ngototnya Pemerintah yang dipimpin Jokowi untuk menetapkan syarat pencapresan sebesar 20-25% suara pemilu atau anggota DPR. Ini syarat yang diklaim akan membuat maju bangsa. Padahal Jokowi sendiri adalah Presiden hasil Pilpres dengan Presidential Treshold sebesar 20%. Faktanya bangsa ini tidak maju, malah merosot. Tampaknya ada alasan lain kenapa Pemerintah sangat ngotot syarat tinggi seperti itu. Jokowi merasa bisa mengalahkan Prabowo yang hampir pasti menjadi kompetitor Jokowi 2019 namun tak yakin bisa mengalahkannya jika calon alternatif lain muncul. Ada info beredar, katanya Penguasa sekarang takut berhadapan dengan calon presiden yang akan diusung Partai Demokrat atau SBY. Entah benar atau tidak, tapi tampaknya masuk akal.

Saya jadi teringat kondisi awal SBY hendak maju jadi Presiden. SBY diganjal dengan syarat pencapresan atau Presidential Treshold 20%. Kala itu PDIP punya jago Megawat dan juga Golkar yang punya jago. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain, SBY memenangkan Pilpres atas dukungan sangat besar dari rakyat. Melihat kondisi saat ini, tampaknya sejarah sedang berulang. Calon dari Demokrat sedang diganjal dengan syarat pencapresan 20-25%.

Sebaiknya Pemerintah maupun Jokowi tidak perlu takut berkompetisi dengan capres manapun dengan ngotot mengganjal capres lain dengan syarat yang berat. Biarkan capres muncul karena rakyat butuh pilihan alternatif. Bukankah Jokowi di klaim sukses dan masih di dukung rakyat, lantas kenapa takut berkompetisi? Ditambah lagi dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan Pemilu Serentak harus menjadi landasan hukum bagi UU Pemilu.

Politik kangan dibuat semakin kacau ditengah ekonomi yang kacau. Biarkan demokrasi tumbuh tanpa rekayasa demi kekuasaan.

Ketiga tentang hukum. Kasus EKTP belakangan ini menjadi sangat panas. Kemarin KPK memanggil 3 pentolan PDIP yang ketiganya sedang menjadi pejabat. Sebut saja Yasona Laoly Menkumham, Olly Dondokambe Gubernur Sulut dan Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah. Ketiganya politisi PDIP, partai yang sedang berkuasa, satu partai dengan presiden Jokowi. Mereka diduga terlibat menerima dana korupsi EKTP. Selain itu, Olly Dondokambe dan I Wayan Koster juga diduga terlibat dalam kasus korupsi Hambalang. Bahkan seperangkat Furniture pernah disita dari rumah Olly yang diduga hasil korupsi.

Parah, hanya itu kata yang melintas. Padahal saat EKTP dan Hambalang terjadi, PDIP adalah partai oposisi. Tapi posisinya sebagai oposisi ternyata tidak menjadikan mereka absen dari bagi-bagi APBN. KPK harus menuntaskan korupsi Hambalang dan EKTP secara benar. Keterlibatan Setua Novanto Ketum Golkar juga harus segera dituntaskan dan jangan hanya jadi mainan politik atau dilindungi oleh penguasa. Selain itu, kasus korupsi Sumber Waras, BLBI, dan Kasus suap Pajak yang pernah menyebut keterlibatan adik ipar Presiden Jokowi juga harus dituntaskan, supaya semua menjadi jernih dan tidak ada fitnah serta praduga ditengah masyarakat.

Namun melihat penegakan hukum yang terjadi, saya pesimis dan sangat ragu bahwa semua akan berjalan tanpa intervensi. Nampaknya memang solusi dari semua ini sebaiknya Presiden Jokowi menyerah saja dan mengaku telah salah mengurus negara. Itu lebih baik supaya semua pihak bisa bersama-sama membangun bangsa secara benar.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kode Sri Mulyani dan Risma saat Sidang MK

Oleh Anthony Budiawan - Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
pada hari Kamis, 18 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Sri Mulyani (dan tiga menteri lainnya) dimintai keterangan oleh Mahkamah Konstitusi pada 5 April yang lalu. Keterangan yang disampaikan Sri Mulyani banyak yang tidak ...
Opini

Tersirat, Hotman Paris Akui Perpanjangan Bansos Presiden Joko Widodo Melanggar Hukum: Gibran Dapat Didiskualifikasi?

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --1 April 2024, saya hadir di Mahkamah Konstitusi sebagai Ahli Ekonomi dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2024. Saya menyampaikan pendapat Ahli, bahwa: ...