JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - Koordinator investigasi Centre for Budget Analisys (CBA) Jajang Nurjaman mengatakan, tingginya utang pemerintah saat ini tak terlepas dari kegagalan pemerintah dalam kebijakan pengampunan pajaknya.
"Gagalnya penerimaan dari sektor pajak dan keengganan pemerintah untuk melakukan pemangkasan anggaran menjadikan opsi melakukan utang sebagai pilihan rasional," ungkap Jajang di Jakarta, Selasa (11/07/2017).
Jajang menambahkan, gebrakan Jokowi untuk menambah pendapatan dari sektor perpajakan dengan melakukan tax amnesty tidak membuahkan hasil.
"Dorongan repatriasi atau WNI membawa pulang dananya yang disimpan di luar negri ke Indonesia gagal total. Dari Rp 3.250 triliun aset WNI yang disimpan di luar negeri hanya Rp 147 triliun yang berhasil dikumpulkan," terangnya.
Saat ini, ungkap dia, jumlah utang negara tercatat per mei 2017 mencapai 3.672,33 triliun rupiah Terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 2.943,73 triliun (80,2%) dan pinjaman sebesar Rp 728,60 triliun (19,8%).
Tak hanya itu, terang dia, dalam bulan mei 2017 terdapat Penambahan utang bersih sebesar Rp 4,92 triliun Rupiah berasal dari penerbitan SBN sebesar Rp 11,03 triliun dan pelunasan pinjaman sebesar Rp 6,11 triliun.
Dalam kondisi demikian, kata dia, Jokowi sendiri justru berencana melakukan penambahan utang lagi sebesar Rp 76,6 triliun. Jajang menilai, hal tersebut dilakukan tak lebih demi menutup defisit anggaran 2017.
"Beban belanja negara yang terus membengkak setiap tahunnya ditambah utang negara beserta bunga yang semakin meroket tidak sanggup ditutupi anggaran negara yang tersedia. Defisit anggaran sudah menjadi hal yang pasti bagi Indonesia, namun Jokowi sepertinya tidak khawatir dengan hal tersebut," sindirnya.
"Ada jurus andalan dari orang nomor satu Indonesia ini yakni dengan berhutang," imbuhnya.
Dengan utang, kata dia, Jokowi beranggapan bahwa belanja negara tidak terganggu dan bunga utang yang jatuh tempo bisa dibayar.
"Sangat praktis meskipun yang sedang terjadi sebenarnya adalah seperti lagunya Rhoma Irama “gali lobang tutup lobang”," sindirnya.
Yang patut di kritisi, kata dia, disaat Jokowi akan menggenjot pembangunan infrastruktur di tahun 2017 ini. Dengan menyiapkan anggaran sebesar Rp 387,3 triliun, menyimpan hal yang cukup mengkhawatirkan yakni “utang negara yang semakin menggunung”.
"Center for Budget Analysis menilai, kondisi utang negara saat ini tidak bisa dianggap enteng. Hal tersebut diantaranya menyebabkan angaran 2017 mengalami defisit sampai 2,92% mendekati batas defisit anggaran yang diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara," tegasnya.
Bayangkan saja di tahun 2017 ini Pemerintah Jokowi harus membayar bunga hutang sebesar Rp 221.2 triliun, ungkapnya.
"Bukan hanya membayar bunga utang, akan tetapi juga harus membayar pokok utang sebesar Rp 293,3 triliun. Jadi, jika ditotal antara bunga utang ditambah pokok utang, maka yang harus dibayar oleh Pemerintah sebesar Rp 514.5 triliun," jelasnya.
Menyikapi kondisi demikian, kata dia, harusnya Jokowi benar-benar ketat mengawasi setiap sen anggaran negara yang mengalir di tubuh pemerintahannya.
"Anggaran tersebut harus dipastikan digunakan untuk program yang produktif dan bermanfaat untuk pertumbuhan ekonomi nasional dan berdampak terhadap kesejahteraan masyarakat luas, jangan sampai anggaran negara tersebut malah dijadikan bancakan oknum yang tidak bertanggung jawab seperti Kasus e-KTP dan sederet kasus korupsi lainnya," pungkasnya. (icl)