Opini
Oleh Asyari Usman (Wartawan Senior) pada hari Senin, 24 Jul 2017 - 07:23:47 WIB
Bagikan Berita ini :

Jokowi : Pancasila Kunci Kebinekaan; Tapi Siapa yang Berpancasila?

63IMG_20170201_194417.jpg
Asyari Usman (Wartawan Senior) (Sumber foto : Istimewa )

Di Semarang, hari Sabtu (22 Juli 2017), dalam acara halal-bi-halal kebangsaan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan dengan mantap bahwa para pemimpin dunia heran kenapa Indonesia bisa tenteram selama puluhan tahun tanpa ada gejolak. Kata Jokowi, “Kuncinya ada di Pancasila.”

Sangat, sangat setuju! Tetapi, tunggu dulu, Pak Jokowi. Siapa yang memegang kunci yang membuat Pancasilan menjadi kunci kebinekaan? Singkatnya, siapa yang selama ini mengamalkan Pancasila?

Ini yang harus dijawab dengan jujur dan faktual.

Untuk itu, kita bantu Pak Jokowi mencarikan siapa yang sesungguhnya memegang kunci yang beliau katakan itu. Kita tengok satu per satu.

Pertama, penguasa (c.q. para pemegang kekuasaan, para pejabat negara). Apakah mereka pengamal Pancasila atau tidak? Tergantung. Kalau mereka sedang bertugas menjadi penceramah, mantap sekali uraiannya tentang Pancasila. Tetapi, begitu selesai acara, mereka kembali ke habitat sebagai makhluk piaraan negara yang lihai memainkan mata anggaran.

Merka lihai menyulap dana APBN atau APBD menjadi dana pribadi. Lihai mencuri uang rakyat. Pandai menyalahgunakan jabatan dan kekuasaan untuk dikonversi menjadi duit. Sebagian lagi sangat cerdik mencalokan kekuasaan para pejabat.

Apakah semua pemegang jabatan adalah pencuri? Tentulah tidak. Kalau sebagian besar, iya.

Kedua, pengusaha kelas besar. Bagaimanakah mereka ini? Tergantung kategorinya. Kelompok kapitalis, yang besar-besar, hampir pasti tidak kompatibel dengan Pancasila. Visi mereka lain, apalagi misinya. Visi mereka: Indonesia akan menjadi milik pemodal dalam waktu secepatnya. Misi mereka: menjadikan rakyat sebagai bantalan bisnis besar, dan segala cara digunakan untuka mencapai tujuan.

Melihat praktik bisnis besar, maka nilai-nilai Pancasila yang diceramahkan dan diteriak-teriakkan oleh para pemimpin adalah rambu-rambu yang mengganggu laju usaha mereka. Buktinya? Ketika Anda katakan kepada mereka, “Tolong ekonomi kecil”, yang sampai ke kuping mereka menjadi, “Todong ekonomi kecil”.

Jadi, para pengusaha besar beserta rombongan dan antek-anteknya itu menyusun strategi untuk “menodong ekonomi kecil”. Mereka mengendalikan semua. Mereka memegang monopoli. Mereka memegang hak impor. Yang lain tak kebagian. Mereka memegang jaringan distribusi barang, yang berarti memegang salah satu aspek ketahanan nasional.

Masih terlintaskah sila-sila Pancasila di benak para pengusaha besar dan rombongannya itu? Sangat naïf kalau Anda percaya. Jangankah berpancasila dengan cara berbagi rezeki, mereka malah mencari orang-orang seperti Gayus Tambunan untuk menggelapkan pajak perusahaan.

Jangankan berbagi, kalau bisa semua uang mereka, mereka simpan di luar negeri seperti terungkap lewar Panama Pepers. Diparkirkan di Singapura, dll.

Terus, apakah Anda sangka pengembang-pengembang perumahan yang berharga unit 3-4 miliar itu mau berpancasila?

Apakah Anda pikir perusahaan besar dan konglomerat ingat Pancasila ketika menjalankan bisnis? Kalau ada yang menjawab “iya”, itu sama dengan berteori “kapitalis perduli rakyat jelata”. Teori mencampur minyak dan air.

Yang ketiga, rakyat kecil. Bagaimana menurut Anda? Tiak diragukan lagi, merekalah yang mempraktikkan nilai-nilai Pancasila. Merekalah yang bertoleransi, menjaga kebinekaan. Mereka hidup sederhana dan tidak ribut kalau harga-harga dinaikkan.

Alhamdulillah, mereka sudah lebih dulu berpancasila jauh sebelum para pemikir menggali nilai-nilai itu. Jauh sebelum para pejabat mahir menguraikan butir-butir Pancasila.

Rakyat kecil itu tidak paham teks Pancasila tetapi lebih humanis dari para penceramah Pancasila. Mereka tidak hafal Pancasila, tetapi mereka sangat fasih dalam kebersamaan. Mereka tidak tahu arti Bhineka Tunggal Ika tetapi mereka menghargai orang-orang yang tak seagama atau tak sesuku dengan mereka.

Itulah rakyat kecil. Berkehidupan sempit, serba terbatas. Bekerja serabutan; dapat hari ini, habis hari ini. Tidak ada jaminan hari tua, apalagi jaminan tujuh turunan. Tetapi di tangan merekalah Pancasila terpraktikkan. Merekalah yang saling perduli.

Mereka lebih senang mengikuti anjuran untuk menanam cabai sendiri guna menghadapi kenaikan harga, ketimbang diajak menjadi individualis.

Mereka tak berani dan tak tega meneriakkan “tangkap koruptor” karena mereka menghormati “budaya korupsi” sebagai bagian dari kebudayaan nasional Indonesia.

Jadi, Pak Jokowi, tenanglah dan percayalah bahwa Pancasila sudah sangat mantap di lapisan bawah yang menjadi pondasi kerajaan-kerajaan konglomerat. Merekalah yang memegang kunci kebinekaan, merekalah yang menjaga NKRI.(*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
AMIN BANNER 01
advertisement
AMIN BANNER 02
advertisement
AMIN BANNER 03
advertisement
AMIN BANNER 04
advertisement
AMIN BANNER 06
advertisement
AMIN BANNER 08
advertisement
Opini Lainnya
Opini

In Prabowo We Trust" dan Nasib Bangsa Ke Depan

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Kamis, 28 Mar 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya kemarin di acara berbuka puasa bersama, "Partai Demokrat bersama Presiden Terpilih", tanpa Gibran hadir, kemarin, ...
Opini

MK Segera saja Bertaubat, Bela Rakyat atau Bubar jalan

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi (MK) segera bertaubat. Mumpung ini bulan Ramadhan. Segera mensucikan diri dari putusan-putusan nya yang menciderai keadilan masyarakat.  Di ...