Berita
Oleh Syamsul Bachtiar pada hari Senin, 31 Jul 2017 - 19:04:17 WIB
Bagikan Berita ini :

Sidang Praperadilan Kasus BLBI, Ini Penjelasan Saksi Ahli Pemohon

51sidang-praperadilan.jpg
Ilustrasi (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menggelar sidang praperadilan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Senin (31/7/2017).

Gugatan itu dilayangkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin A Tumenggung.

Syafruddin telah ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI.

Dalam sidang praperadilan tersebut, Kuasa hukum pemohon menghadirkan empat orang saksi ahli, I Gede Panca Astawa, ahli hukum administrasi negara Nindyo Pramono, ahli hukum perdata Andi Wahyu Wibisana yang juga keahliannya mencakup good governence, hukum antikorupsi dan corporate social responsibility (CSR).

Dalam sidang praperadilan yang dipimpin Hakim Muchtar Efendi itu, saksi ahli dari pemohon, Andi Wahyu Wibisana mengatakan, jika hak tagih masih ada, maka tidak ada kerugian negara.

Ketika (BPPN) dibubarkan hak tagih tersebut diserah terimakan kepada Kementerian Keuangan.

Maka, menurut Andi negara masih memiliki hak hukum terhadap tagihan tersebut. Jadi tidak beralasan bagi KPK untuk menetapkan kerugian negara, soal pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim lantaran hak tagih tersebut masih ada di Kementerian Keuangan.

Menurut Andi dalam pemaparannya di depan persidangan, untuk menyatakan ada kerugian negara harus berdasar laporan hasil pemeriksaan (LHP) yang merupakan proses pemeriksaan auditnya panjang.

"Ketua BPK pun tak berhak menyatakan sesuatu di luar LHP," jelasnya.

Apalagi, urai Andi, jika penghitungan kerugian negara hanya bersumber dari notulensi rapat antara KPK dan BPK, yang hanya ditandatangani satu pihak.

"Notulensi rapat tidak bisa dijadikan alat bukti dalam menentukan kerugian Negara," tambah pengajar Fakultas Hukum Universitas Pancasila itu.

Sebelumnya, saksi ahli yang diajukan pemohon I Gede Panca Astawa juga menegaskan, BPK RI adalah lembaga yang boleh menentukan kerugian negara.

"Kalau hanya mengaudit, siapa saja bisa, namun dia tidak bisa mendeclear, karena kalau mendeclear wajib hukumnya yang melakukan BPK," tegasnya.

Sebagai produk hukum hasil audit yang dilakukan oleh BPK membawa konsekuensi, wajib hukumnya rekomendasi menjadi pijakan bagi penegak hukum lainnya.

Sebagai ahli hukum administrasi Negara, Panca Astawa juga mengatakan, jika BPPN sebagai badan Negara yang mewakili pemerintah dalam tugasnya menyehatkan perbankan nasional, sebagai badan Negara maka ia tunduk kepada hukum administrasi Negara.

"Namun selain itu BPPN juga institusi quasi yang bertindak seperti badan peradilan, diberikan untuk melakukan tindakan hukum," jelasnya.

Quasi Peradilan maksudnya dalam pelaksanaan tugasnya bisa melakukan pendekatan hukum.

Lantaran tunduk kepada hukum administrasi negara, maka jika ada dugaan penyalahgunaan wewenang dalam jabatannya, kepala BPPN, tidak bisa dituntut pidana, yang berlaku adalah sangsi administratif. Guna menentukan ada unsur pidana atau tidak, menurut keterangan ahli pidana Mudzakir, maka harus melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

"PTUN-lah yang menguji keabsahan, apakah pejabat Negara tersebut melakukan mal administrasi atau menyalahgunakan jabatan yang berakibat pada kerugian Negara," tegas Mudzakir.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Temenggung sebagai tersangka korupsi dalam kasus penyaluran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

Dia dianggap bertanggung jawab dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

KPK menjelaskan hal itu terkait dengan penerbitan SKL untuk BDNI dan diduga merugikan negara Rp3,7 triliun.

BDNI sendiri merupakan milik Sjamsul Nursalim. Bank tersebut merupakan salah satu yang mendapat SKL BLBI senilai Rp27,4 triliun.

Surat lunas tersebut terbit pada April 2004 dengan aset yang diserahkan diantaranya PT Dipasena (laku Rp2,3 triliun), GT Petrochem dan GT Tire (laku Rp 1,83 triliun).(yn)

tag: #korupsi-blbi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement