JAKARTA (TEROPONGSENAYAN)--Rapat paripurna DPR mengesahkan revisi UU No.17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) sebagai undang-undang. Hanya saja, terdapat empat pasal kontrovesrsi yang rawan digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota Fraksi PPP Arwani Thomafi mengatakan, keempat pasal itu adalah penambahan kursi pimpinan MPR dan DPR, hak imunitas DPR, kewenangan untuk memanggil paksa, dan bisa memidanakan orang yang menghina DPR. Dari dua pasal tersebut, PPP sangat getol mempersoalkan penambahan kursi pimpinan MPR dan DPR, serta hak imunitas anggota dewan.
Menurut Arwani, publik berhak mengajukan gugatan peninjauan kembali (juducial review) ke MK jika tidak berkenan atas pengesahan tersebut.
"Semua Undang-Undang yang telah disahkan DPR terbuka untuk di-judicial review. Hak masyarakat untuk melakukan judicial review," kata Waketum PPP itu di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (12/2/2018).
Menurut Arwani, kewajiban penegak hukum mendapat izin Presiden untuk memeriksa anggota Dewan yang terjerat kasus sudah dibatalkan MK. Namun, dalam hasil revisi itu, kewajiban tersebut justru dihidupkan kembali. Oleh karenanya, dia menilai hasil revisi yang bertentangan dengan putusan MK itu pantas digugat.
Pasal yang juga tak kalah rawan adalah penambahan kursi pimpinan DPR/MPR. Dalam pandangan Arwani, pasal ini menunjukkan terjadinya kemunduran kualitas demokrasi di Indonesia.
"PPP melihat pasal 247A (soal penambahan kursi pimpinan) itu sebagai kemunduran kerja legislasi," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Fraksi PPP Reni Marlinawati menyatakan pasal penambahan kursi pimpinan DPR/MPR itu belum saatnya disahkan.
"Kami memutuskan walk out karena MD3 belum saatnya untuk disahkan," katanya.
Reni juga mempersoalkan penunjukkan langsung pimpinan MPR dan DPR. Menurut dia, seharusnya pimpinan baru tersebut dipilih, bukan dijatah untuk partai tertentu.
"Pasal 427 huruf c itu bunyinya diberikan untuk pimpinan MPR, kan ini tidak etis," tegasnya. (plt)