Usai sudah debat perdana Pilpres 2019. Bagaimana hasilnya? Biar publik yang menilai. Apapun penilaiannya, publik pasti berangkat dari pertimbangan dan alasan rasional.
Ujung dari debat pada Kamis (17/1/2019) malam adalah siapa (diantara empat kandidat pemimpin nasional) yang paling menarik perhatian. Ada dua bentuk perhatian yang diharapkan peserta debat. Yakni simpati atau empati publik. Mau diputar-putar seperti apa, puncak debat adalah dua perhatian itu. Aneh bila peserta debat tak menginginkan simpati dan empati publik.
Agar keduanya kepegang, maka peserta debat harus pintar memikat publik. Dari empat sosok yang tampil pada debat Kamis malam, publik sudah tahu siapa sosok paling memikat. Apakah Jokowi, Ma'ruf Amin, Prabowo, atau Sandiaga? Publik lah yang bisa menjawab.
Kalau ada yang memikat, maka akan ada yang dipikat. Pada debat Kamis malam, tentu saja, pihak yang ingin dipikat adalah seluruh rakyat Indonesia , terutama 192 juta pemilih. Mereka inilah target pikatan debat perdana dan debat-debat berikutnya.
Yang jadi pertanyaan, bagaimana cara memikat? Ini penting karena cara sangat menentukan apakah pihak yang dipikat merasa dan membiarkan dirinya terpikat. Beberapa cara telah dilakukan oleh keempat peserta debat agar publik terpikat.
Lalu seberapa besar efek elektabilitas proses 'memikat-dipikat-terpikat' bagi peserta debat? Pertanyaan ini agak sulit dijawab, atau (minimal) masih harus diperdebatkan. Mengapa? karena realitas politik di Tanah Air masih diwarnai oleh prinsip fanatisme dan apatisme. Bisa jadi, publik A menentukan pilihan karena fanatik kepada paslon X dan apatis terhadap paslon Y. Sedangkan publik B melakukan hal sebaliknya. Begitu, dan selalu begitu realitas politik. Selalu saja, elektabilitas politisi yang menjalani debat dipengaruhi oleh fanatisme dan apatisme publik. (*)