JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Seolah tak mengenal jeda, Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berlanjut.
Har ini, Jumat (15/3/2019), atau sebulan sebelum Pilpres, penyidik KPK kembali mencokok Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy.
Tak ayal, kasus OTT yang menimpa Partai Ka"bah ini seperti hanya mengulang kasus OTT kepada sejumlah elite politik dalam beberapa waktu terakhir.
Pengamat Politik dari Universitas Telkom, Dedi Kurnia Syah berpendapat, perlunya dilakukan reformasi sistem kepartaian di Indonesia.
"Hal ideal yang dapat menghentikan laku korupsi adalah bangunan integritas bagi politisi dikokohkan, tetapi sebagai upaya sistematis, perlu juga dipertimbangkan reformasi sistem kepartaian" ujar Dedi kepada TeropongSenayan, Jum"at (15/3/2019).
Dedi meyakini, model politik kepartaian di Indonesia saat ini terlalu mendominasi dan tidak ideal, sehingga parpol seolah menjadi muara kekuasaan.
"Parpol dalam sistem politik Indonesia berada di ruang infrastruktural (pengontrol jalannya pemerintahan), ia seharusnya berpihak pada publik, semua parpol seharusnya oposisi, tapi yang kita jalani sekarang justru parpol setali dengan kekuasaan itu sendiri. Sehingga tidak mengherankan jika lobi-lobi politik kekuasaan lebih banyak melibatkan parpol" terangnya.
Lebih lanjut, penulis buku Komunikasi CSR Politik ini juga menyampaikan gagasan barunya terkait partai politik di Indonesia. Menurutnya, parpol harus berada di luar kekuasaan.
"Parpol harus berada diluar kekuasaan, satu-satunya kesempatan parpol mengemuka dalam ritual politik kekuasaan adalah saat pemilu, usai pemilu parpol harus kembali ke barak," imbuhnya.
Selain itu, Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik ini juga menyinggung soal pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Meskipun dinilai sangat kontroversial, Dedi menyutujui jika pembiayaan parpol ditanggung oleh negara.
"Sebenarnya itu ide sangat baik dengan APBN sistem keuangan parpol dapat dikontrol dan dipertanggungjawabkan, negara memiliki kewenangan intervensi jika APBN, dulu pernah diwacanakan dan parpol pasti menolak," tukasnya.
Dalam penjelasannya, Dedi juga merisaukan kondisi keuangan parpol yang tidak terbuka, hal ini lantaran pembiayaanya diluar tanggungjawab negara. Menurutnya, kondisi ini memicu parpol untuk mencari pembiayaan secara bebas dan sulit terdeteksi.
"Bagaimanapun, kekuasaan parpol harus dibatasi, negara harus lebih dominan dalam mengatur sistem politik, termasuk platform ideal kepartaian, demokrasi tidak selalu bicara kebebasan, demokrasi juga bicara kewajiban," pungkasnya. (Alf)