Opini
Oleh M Rizal Fadillah (Mantan Aktivis IMM) pada hari Senin, 20 Mei 2019 - 16:07:23 WIB
Bagikan Berita ini :

Undang-undang Pengkhianatan Bangsa

tscom_news_photo_1558343243.jpg
M Rizal Fadillah (Sumber foto : Ist)

Judul ini sengaja dibuat dan diusulkan kepada Anggota DPR RI baik yang kini atau yang akan datang. Urgensinya adalah agar ada hukuman keras untuk para pemimpin negara yang secara licik telah menggadaikan atau menjual aset bangsa kepada negara lain. Atau juga yang langsung atau tidak telah menggerus kedaulatan negara Republik Indonesia dengan "kerjasama" atau kolaborasi bisnis, budaya, maupun politik dengan negara asing.

Hingga kini kita tidak punya perangkat hukum untuk ini. Malahan kini yang dibesar besarkan justru masalah "makar". Rakyat yang dianggap merongrong kekuasaan negara. Padahal penguasa negara sedang asyik bermain main merongrong kedaulatan negara berkolaborasi dengan negara asing.
Inilah penghianatan bangsa itu.

Negara Cina yang sekarang aktif mencari pejabat yang bisa "diajak main". Sebagai contoh kasus jalur sutra baru Cina atau program OBOR. Tanpa persetujuan rakyat kita telah mendatangani dan siap menjadi mitra fasilitasi program Cina. Aset negara dibuka untuk dijelajahi. Liciknya, konon ini bukan G to G akan tetapi B to B hingga G lepas tangan. Akan tetapi G akan maksimal memfasilitasi B untuk realisasi kerjasama ini. Rakyat dibohongi bahwa negara tidak berhutang pada Cina. Faktanya ketergantungan yang dibangun. Ini penyiasatan dalam rangka penghianatan bangsa. Aset negara akan digunakan atas nama B untuk kepentingan G Cina.

Contoh lain soal pembohongan rakyat bahwa saham PT Freeport 51 % telah dimiliki oleh negara melalui PT Inalum. Nyatanya untuk akuisisi saja harus seizin Cina. Tidak tahunya saat ini Menteri BUMN tengah sibuk menawarkan kerjasama PT Inalum kepada Cina. Dari dulu saja bicara bahwa termasuk 51 % saham Freeport akan diperjuangkan untuk dialihkan kepada pihak Cina. Ini model pengalihan aset kepada asing atas nama bisnis dan investasi. Hakekatnya merupakan suatu penjajahan meski semu atau "quasi colonialism".

Bisnis dengan pencitraan dan atas nama "memakmurkan rakyat"--padahal komisi berceceran--seperti ini membentuk rezim yang kolusif. Pejabat penting memainkan bisnis keluarga bekerjasama dengan mitra pengusaha Cina memanfaatkan aset dan proteksi Negara. Jutaan tenaga kerja asing siap bekerja di berbagai sektor usaha menggeser pribumi. Lahan lahan habis dikuasai. Keuntungan pun ditarik ke luar negeri. Republik Rakyat Cina.
Sebagai penganut rezim devisa bebas, maka pelarian modal (capital flight) menjadi tak terkendali. Ini modus yang harus dikategorikan sebagai kejahatan. Karena berdampak luas.

Undang Undang Penghianatan Bangsa tentu memiliki kriteria mengenai kualifikasi perbuatan melawan hukum. Dimensinya bisa ideologi, politik, ekonomi atau lainnya. Yang jelas adalah agar dapat dicegah penggerusan kedaulatan negara dan penguasaan aset oleh negara asing akibat dari berbagai kebijakan atau kepentingan pejabat negara. Pengusaha dan swasta lain yang bukan pejabat pun dapat terjangkau sebagai pelaku atau penyerta perbuatan penghianatan tersebut. Aturan ini dirasakan mendesak dan menjadi penting untuk mengembalikan atau mempertinggi semangat nasionalisme di tengah dahsyatnya arus pragmatisme. Bila lalai ujungnya akan mengancam aspek ideologi.

Dimanapun penghianatan itu adalah kejahatan. Apalagi penghianatan terhadap Bangsa dan Negara. Karenanya buat segera Undang Undang tentang Penghianatan Bangsa.
Para penghianat harus dipenjara atau dihukum mati.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional.

Bandung, 20 Mei 2019 (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #polri  #kpk  #kejaksaan  #dpr  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Kembali ke UUD 1945: Refleksi atas Dekrit 5 Juli 1959 dalam Konteks Demokrasi Kontemporer

Oleh Tim Teropong Senayan
pada hari Sabtu, 05 Jul 2025
Pada 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang menandai titik balik perjalanan konstitusional Indonesia: Dekrit Presiden tentang Kembali ke UUD 1945. Dekrit ini, yang menandai ...
Opini

Kebangkitan Kejaksaan, Kemunduran KPK, dan Tantangan Reformasi Penegakan Hukum Era Prabowo

Di tengah apatisme publik terhadap penegakan hukum, sebuah fakta mengejutkan hadir melalui Podcast Suara Angka LSI Denny JA edisi awal Juli 2025. Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, Kejaksaan ...