Opini
Oleh Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa) pada hari Sabtu, 15 Jun 2019 - 18:48:17 WIB
Bagikan Berita ini :

Ketika Seorang Suhu KPK Turun Gunung

tscom_news_photo_1560599297.jpg
Hemamahua di depan gedung MK (Sumber foto : Ist)

Viral di medsos cerita tentang seorang mahasiswi miskin di Perancis yang ditolak oleh semua perusahaan ketika ia cari kerja. Mahasiswi ini smart, bahkan terlalu cerdas. Ia lulus dengan predikat cumlaude. Kenapa ditolak? Kenapa semua perusahaan tak menerimanya? Karena satu alasan: integritas.

Mahasiswi itu punya kebiasaan buruk ketika naik MRT. Gak mau bayar. Caranya? Ia otak atik kartu MRT, dan ia berhasil naik MRT tanpa bayar. Ia lakukan itu berulangkali. Bahkan ratusan kali. Ia merasa aman dan nyaman. Ia berpikir, sebagai mahasiswi miskin ia berhak menikmati MRT secara gratis. Dengan otaknya yang sedikit cerdas ia merasa bangga bisa melakukan itu. Mungkin ia pikir ini adalah anugerah.

Tidakkah ini persolan kecil? Remeh temeh? Tidak! Ini soal integritas! Ini soal moral! Ini soal kepercayaan! Jika menyangkut integritas, moral dan kepercayaan, ini besar pengaruhnya terhadap masyarakat, perusahaan, negara, atau apa saja yang mahasiswi itu ada di dalamnya. Ini adalah virus berbahaya yang hampir pasti akan menular, menebar kebusukan dan merusak segalanya. Termasuk merusak tatanan, norma dan etika.

Lalu, apa hubungannya dengan Abdullah Hehamahua? Beliau teringat mahasiswi itu ketika melihat carut marut moral politik di negeri ini sekarang. Dalam salah satu tulisannya beliau sempat bertanya: "Apakah DNA mahasiswi itu sama dengan yang dipunyai Menkes, Brimob dan presiden yang merasa bangga dapat menipu sistem yang ada demi mencapai ambisi pribadi? Lalu, kita harus terima presiden hasil kecurangan yang kedua kalinya?"

Kok kedua kali? Beliau meyakini bahwa 2014 telah terjadi kecurangan pemilu. Tentu, kalau seorang rektor dan ahli hukum seperti beliau yang bilang, pasti ada dasar dan datanya. Seorang mantan penasehat KPK dua setengan periode ini tak mungkin asal bicara. Apalagi, beliau dikenal masyarakat sebagai sosok yang jujur dan berintegritas tinggi.

2014 sudah dilupakan. Kenapa diulang di 2019? Apakah kecurangan kedua kali ini harus dilupakan juga? Tidak! Itulah kira-kira salah satu alasan mengapa cucu pahlawan Patimura ini harus turun gunung dan memimpin massa mengawal sidang di MK.

"He Abdullah Hehamahua, kamu salah seorang cucu Patimura, masihkah kamu berintegritas?" Sebuah bentuk instrospeksi Abdullah Hehamahua di dalam salah satu tulisannya.

Mungkin beliau tak ingin dianggap pengecut. Diam dan membiarkan negeri ini semakin tidak beres. Sementara beliau masih hidup. Diam terhadap kezaliman itu bukti tidak adanya integritas bagi anak bangsa. Mungkin itu yang diyakini beliau sebagai sesuatu yang prinsip.

Mantan penasehat KPK ini menegaskan bahwa demo di MK ini tak ada hubungannya dengan paslon. Beliau mengaku tak punya hubungan sama sekali dengan Prabowo-Sandi atau Jokowi-Ma"ruf. Ini murni soal integritas. Bahwa bangsa ini sudah tak punya komitmen hukum dan moral. Bangsa ini dikelola dengan penuh kecurangan. Kalau ini terus dibiarkan, atau merelakan pemimpin lahir dari hasil kecurangan, negara ini akan berjalan menuju kehancuran. Karena itu, harus diluruskan.

Beliau memilih tidak diam. Turun gunung, lalu pimpin massa untuk meneriakkan suara kebenaran itu. Tujuannya? Selamatkan bangsa ini dari tangan-tangan yang penuh dengan nafsu kekuasaan. Tidakkah ini yang diwariskan oleh para pahlawan dan pendiri negeri ini?

Beliau menulis: "Bahkan saya menghayal bagaimana nikmatnya Hasan Albana, Sayid Kutub, dan pahlawan dari kampung saya sendiri, Ahmad Lusi (Patimura) meninggal di tiang gantungan karena keteguhan melawan penguasa yang curang dan zalim."

Di paragraf terakhir beliau menutup tulisannya dengan kalimat: "Ya Allah aku rindu menjumpaiMu sebagai seorang syuhada. Amiiin Yaa Robbal Aalamiin!"

Yang bisa dipetik dari tulisan Abdullah Hehamahua ini adalah spirit kebangsaan. Spirit nasionalisme dan semangat merah putih yang harus terus hidup di dalam jiwa rakyat Indonesia. Itulah jiwa para pahlawan yang diwariskan kepada anak cucu bangsa ini.

Jika seorang yang dikenal sebagai suhu KPK yang sudah berusia 70-an tahun ini masih punya semangat mendedikasikan diri untuk menyelamatkan bangsa dan negara, lalu turun gunung memimpin massa yang menyuarakan pentingnya moralitas berpolitik dan bernegara, bagaimana dengan anak-anak muda seperti anda? Terutama para mahasiswa yang beliau sangat prihatinkan keadaannya.

Jakarta, 15/6/2019 (*)

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #pilpres-2019  #mahkamah-konstitusi  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...