Opini
Oleh Andi Rahmat, Pelaku Usaha, Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI pada hari Thursday, 02 Apr 2020 - 19:59:00 WIB
Bagikan Berita ini :

Skenario Makro Ekonomi Indonesia di Tengah Wabah Corona

tscom_news_photo_1585831701.jpg
Andi Rahmat (Sumber foto : )

Ada yang unik dari paparan lengkap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid 19, yang disampaikan Kementerian Keuangan dalam konferensi persnya pada 1/04/2020. Garis besar kebijakan itu sendiri sebelumnya sudah disampaikan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

Yang unik dan langka itu adalah keterbukaan pemerintah dalam memaparkan resiko makro ekonomi yang mungkin akan kita alami. Dalam model persandingan skenario, pemerintah memaparkan 3 skenario berbeda. Yaitu, skenario normal yang sama dengan asumsi yang dianut di dalam APBN 2020. Skenario Berat. Dan Skenario sangat berat.

Saya ingin mengapresiasi keterbukaan ini. Setidaknya keterbukaan itu membantu kita membaca alam pikiran pemerintah dalam menghadapi krisis ini. Sekaligus juga membuka jendela prediktif bagi pelaku ekonomi dan para ekonom dalam melihat arah perkembangan ekonomi Indonesia.

Skenario “normal” tentu sudah tidak relevan lagi. Sisa skenario “ Berat” dan “ Sangat Berat “. Pada dua skenario ini, kunci yang membedakan secara signifikan itu adalah ekonomi rumah tangga (household economy) dan ekonomi pemerintah. Dalam istilah komponen pembentuk PDB, kedua skenario itu bertumpu pada konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah.

Tapi signifikansinya lebih berat ke arah konsumsi pemerintah. Murni Keynesian. Yang bermakna, inti dari pergeseran skenario ekonomi itu adalah pada kapasitas dan kapabilitas intervensi pemerintah. Dalam skenario “Normal”, pemerintah fungsinya sebagai pendorong, alias Tut Wuri Handayani. Dalam skenario “Berat” dan “Sangat Berat” pemerintah adalah lokomotif utama, alias Ing Ngarso Sung Tulodo.

Lantas dimana fungsi sektor swasta? Skenario ini menunjukkan ketidak berdayaan sektor swasta dalam menghadapi situasi krisis ini. Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang mengindikasikan dinamika sektor swasta dalam dua skenario tersebut mengalami pemerosotan tajam. Dari 6,0% dalam situasi “ Normal”, merosot jatuh hingga 1,12% dalam situasi “ Berat” dan -4,22% dalam situasi “Sangat Berat”. Centang perenang. Terpapar signifikan sebagai korban utama dalam krisis ini; secara ekonomi.

Demikian juga dengan ekonomi rumah tangga. Dalam dua skenario tersebut, kurvanya memang tidak securam PMTB, tetapi penurunannya pun juga sangat drastis. Dari 5,0% kontribusi terhadap PDB menjadi masing-masing 3,22% dan 1,60%. Keadaan ini bukan lagi menggambarkan keadaan kontraksi. Tapi keadaan ekonomi yang mengalami krisis.

Di dalam skenario ekonomi makro, “ kekacauan” itu tercermin pada proyeksi pertumbuhan PDB yang bergerak pada 2,3 % pada skenario “Berat” dan -0’4% pada skenario “ Sangat Berat”. Perekonomian Nasional akan kehilangan lebih dari separuh kapasitas normalnya, atau malah kehilangan keseluruhan kapasitasnya. Demikian juga pada pergerakan nilai tukar yang cepat dan drastis.

Setting kesadaran skenik pemerintah ini, sangat signifikan dalam menakar kapasitas dan kapabilitas pemerintah dalam membuat dan menjalankan kebijakannya.

Pada skenario “Berat”. Terdapat keyakinan bahwa sumber kapasitas pemerintah masih bisa diandalkan. Pada skenario “ Normal”, konsumsi pemerintah dipatok di angka 4,3%. Pada skenario “ Berat”, angka itu bergerak ke atas, 6,83%. Ada upaya yang “ extraordinary” dari pemerintah dalam bentuk tambahan 2,5% konsumsinya. Atau dengan kata lain, untuk tahun 2020 ini saja, pemerintah harus mengupayakan produktivitas kapasitasnya tidak kurang dari 130% kapasitas normalnya.

Mungkinkah itu?. Kuncinya ada pada efisiensi dan pembiayaan. Konsistensi dalam menerapkan prinsip efisiensi sepanjang proses ini tidak bisa ditawar-tawar. Ekspansi fiskal diarahkan pada program yang betul- betul bisa menahan laju pemerosotan ekonomi dan sekaligus juga memberi ruang bagi pemulihan ekonomi.

Demikian pula dengan pembiayaan. Sampai disini, saya sendiri was-was pada isu “ keberadaan” sumber. Pasar hutang dunia sungguh akan sesak. Saat ini saja, sudah ada tidak kurang dari US$ 7 triliun yang masuk kedalam pasar dari berbagai upaya “counter measure “ banyak negara dalam menghadapi krisis ini.

Yang potensial dan relatif murah itu adalah kapasitas Bank Indonesia. Tanpa mengabaikan potensi lain di dalam negeri. BI adalah “game changer” dalam urusan ini. Senjata kewenangan yang diberikan oleh Perppu yang baru saja dikeluarkan oleh pemerintah memberi ruang “open ended policy” bagi BI.

Catatannya ialah BI mesti kalkulatif sekaligus juga “ ikhlas” dalam menggunakan cadangan devisanya. Asal tidak mengulangi kekeliruan di era BLBI. IMF memang memiliki standar dalam menilai kekuatan ekonomi suatu negara dari segi cadangan devisanya. Cadangan yang ada sekarang, setahu saya masih 20% di atas batas yang dianggap aman oleh IMF. Tetapi batasan ini tidak relevan dalam soal ini. Kita sesungguhnya sudah ditubir krisis ekonomi.

Sampailah kita pada skenario “ Sangat Berat”. Menjadi sangat berat karena pemerintah juga tergerus kapasitasnya. Pemerintah hanya sanggup menyediakan 3,73% konsumsinya. Hanya 87% dari kapasitas normalnya. Demikian juga nilai tukar yang menyentuh Rp 20.000/ USD.

Kapan itu terjadi? Jika krisis pandemi covid 19 berlarut-larut tanpa kepastian hingga bulan september,( catatan : NHS/ Kementerian Kesehatan Inggris mendeklarasikan kemungkinan seperti ini), dan pemerintah kewalahan dalam menyediakan sumber pembiayaan.

Mengembalikan kehidupan menjadi normal dengan dampak covid 19 yang sudah bisa terkontrol, dan menjaga sisi pembiayaan negara (karena otoritas fiskal, moneter dan jasa keuangan semua didalamnya) adalah tameng yang membatasi perpindahan skenario-skenario itu.

Pada tahap awal, kebijakan Rp 405,1 T dan Perppu yang melandasi serangkaian langkah yang diambil dan akan diambil pemerintah merupakan “bantalan” yang melegakan. Paket ini cukup memberikan ruang bernafas bagi perekonomian rakyat dan UMKM. Sektor riil, khususnya UMKM memang harus menjadi “champion” dalam paket-paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan maupun yang akan diluncurkan.

Paket ini dianggap bisa membuat perekonomian bisa mendarat darurat (crash landing) tapi selamat. Konsumsi Rumah tangga dijaga hingga pada batas minimal. Model transfer payment seperti ini memang jadi tren global. Tujuannya mempertahankan momentum konsumsi Rumah Tangga. Sebagai suatu langkah kebijakan darurat, efeknya tentu terbatas pada penyediaan “bantalan” perekonomian.

Kita masih menanti paket lanjutan pemerintah. tentunya pada pembahasan RAPBN 2021 pada bulan Agustus nanti. Yang Tahapnya akan dimulai pada pembicaraan pendahuluan di bulan Mei atau Juni nanti.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #corona  #ekonomi-indonesia  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
IDUL FITRI 2024
advertisement
IDUL FITRI 2024 MOHAMAD HEKAL
advertisement
IDUL FITRI 2024 ABDUL WACHID
advertisement
IDUL FITRI 2024 AHMAD NAJIB
advertisement
IDUL FITRI 2024 ADIES KADIR
advertisement
Opini Lainnya
Opini

Ahlan Wa Sahlan Prabowo Sang Rajawali!

Oleh Syahganda Nainggolan
pada hari Rabu, 24 Apr 2024
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Mahkamah Konstitusi sudah memutuskan Prabowo Subianto sah sebagai Presiden RI ke delapan. Itu adalah takdir Prabowo yang biasa dipanggil 08 oleh koleganya. Keputusan MK ...
Opini

Jalan Itu Tidaklah Sunyi

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --"Jika Mamah jadi penguasa apakah Mamah akan menjadikan anak Mamah pejabat saat Mama berkuasa?" Itu pertanyaan anakku malam ini. Aku mendengarkan anakku ini. ...