JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) - PT Pertamina memberikan alokasi dana pengembangan EBT sebesar 17,6 miliar dolar hingga 2026. Dalam diskusi virtual di Jakarta, Senin, Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menjelaskan capaian terakhir pada 2019, bauran energi mencapai 9,15 persen.Nicke Widyawati mengatakan hal ini sebagai salah satu bentuk kontribusi perseroan dalam membantu pemerintah mengejar target bauran energi baru terbarukan nasional sebesar 23% pada 2025.
"Potensi EBT kita luar biasa, makanya untuk jangka panjang Pertamina mengupayakan bagaimana caranya optimalkan penggunaan sumber energi domestik untuk kemandirian dan kedaulatan energi," ujar Nicke pada diskusi virtual, Senin (10/08/2020).
Menurutnya, hal ini juga sejalan dengan tren dari permintaan energi global di mana puncak konsumsi energi fosil terjadi pada 2030, lalu setelahnya kontribusi sektor EBT akan meningkat pesat. Ditambah dengan adanya pandemi Covid-19, menurutnya ada tren percepatan transisi ke sektor EBT menjadi 2030 dari estimasi sebelumnya pada 2033.
"Dengan terjadinya Pandemi Covid-19 ini pergeseran energi fosil ke EBT menjadi lebih cepat menjadi 2030 dari perkiraan sebelumnya di 2033, sehingga kita harus bergegas masuk ke EBT," ungkapnya.
Adapun alokasi belanja modal hingga US$ 17,6 miliar tersebut akan digunakan untuk mengembangkan proyek energi baru terbarukan dengan total kapasitas setara 15,5 giga watt (GW).
Secara rinci, investasi tersebut akan dialokasikan pada proyek gas untuk pembangkit listrik dengan penambahan kapasitas sekitar 9,8 GW dengan nilai belanja modal sekitar US$ 9,3 miliar dan pendapatan sekitar US$ 7,1 miliar.
Lalu, panas bumi dengan target pengembangan 1,4 GW, dengan nilai investasi sekitar US$ 2,3 miliar dan pendapatan sekitar US$ 5,8 miliar. Selain itu ada juga pengembangan EBT lainnya seperti energi surya, bioenergi, air, angin dengan target penambahan kapasitas sekitar 3,6 GW dengan alokasi investasi sekitar US$ 5,5 miliar dan pendapatan US$ 1,5 miliar.
Dan tak ketinggalan investasi untuk pengembangan baterai kendaraan listrik yang ditargetkan setara dengan kapasitas 5,1 GW dengan alokasi dana sekitar US$ 0,5 miliar dan pendapatan sekitar US$ 2,7 miliar.
Sejalan dengan pengembangan EBT, Nicke menyebutkan perseroan terus berupaya mengembangkan riset dan meningkatkan penggunaan teknologi. Sejumlah produk berbasis EBT yang tengah diinisiasi Pertamina antara lain biodiesel, biogasoline, bio avtur, baterai kendaraan listrik, gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME), maupun katalis.
Upaya pengembangan proyek EBT di perseroan menurutnya juga sejalan dengan bisnis sejumlah perusahaan minyak dan gas global yang mulai turut mengembangkan proyek-proyek EBT, seperti Shell, BP dan Total yang fokus mengembangkan gas alam cair (LNG), lalu ada juga ENI yang juga meningkatkan investasi di sektor energi baru terbarukan.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan bahwa pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) baru sebesar 2,5 persen dari total potensi yang ada. Arifin Tasrif mengatakan potensi total EBT di Indonesia mencapai 417,8 giga watt (GW).
Namun berdasarkan data yang ada baru sebesar 10,4 GW yang bisa dimanfaatkan atau 2,5 persennya. Berbagai potensi tersebut termasuk energi samudera, panas bumi, bio energi, bayu, air dan surya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat realisasi bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) hingga triwulan pertama tahun ini baru mencapai 11,51 persen dari target pemerintah sebesar 23 persen pada tahun 2025.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM FX Sutijastoto mengakui bahwa butuh kerja keras yang luar biasa untuk mencapai target tersebut, mengingat jarak yang masih terlalu jauh antara realisasi dan target bauran EBT.
"Untuk mencapai 23 persen, kita perlu kapasitas EBT pada 2020 sekitar 20.000 MW, sehingga gap ini cukup signifikan dan perlu ada upaya-upaya percepatan," kata Sutijastoto.