JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Setiap tanggal 15 Mei, tanah Maluku tak sekadar mengingat tanggal. Ia mengenang kobaran api yang pernah membakar langit ketakutan, dinyalakan oleh seorang anak negeri yang tak mau tunduk Kapitan Pattimura, atau Thomas Matulessy. Bagi bangsa ini, tanggal itu bukan sekadar angka dalam kalender, tapi denting lonceng dari sejarah yang memanggil nurani.
Pattimura bukan sekadar nama yang dibingkai di dinding sekolah. Ia adalah guntur yang menggema dari dada rakyat, petir yang menyambar pohon penjajahan, dan cahaya yang menembus kabut ketakutan. Ia tidak lahir dari singgasana, tetapi dari rahim luka dan peluh rakyat yang muak menjadi bayang-bayang di tanah sendiri.
Perlawanan tahun 1817 bukanlah sekadar deretan peristiwa, melainkan puisi perlawanan yang ditulis dengan darah dan keberanian. Benteng Duurstede bukan hanya benteng batu, tetapi altar di mana tekad rakyat dikorbankan demi harga diri. VOC yang menjulang laksana gunung, digetarkan oleh semangat yang tumbuh dari akar rakyat.
Kini, dua abad lebih telah berlalu. Tapi arwah perjuangan itu belum tenang. Ia mengetuk pintu generasi hari ini: "Apakah kalian pewaris atau penonton sejarah?"
Pattimura adalah suara bagi mereka yang dibungkam, tangan bagi mereka yang dibelenggu. Maka memperingati Hari Pattimura bukan tentang seremoni, tapi tentang menyalakan kembali obor keadilan di jalan yang kian gelap oleh ketimpangan.
Kita tidak lagi dijajah oleh kapal layar dan senapan panjang, tapi oleh rakus yang memakai jas, oleh sistem yang menyamar jadi sah, oleh kekuasaan yang lupa makna kuasa. Tanah digadaikan, laut dijual, rakyat disisihkan dari tanah tempat ari-arinya ditanam.
Semangat Pattimura bukan hanya kisah lampau, tapi nyala yang harus menjelma dalam pena, suara, dan langkah kita hari ini. Diam adalah bentuk halus dari pengkhianatan dan sejarah tidak akan menulis nama penonton.
Pendidikan kini adalah medan perang. Ketika anak-anak masih harus menyeberangi gelombang dan memanjat tebing demi sepotong ilmu, maka jelas: kita belum merdeka sepenuhnya.
Laut dan tanah Maluku kini jadi incaran cakar korporasi. Ketika rakus menjadi hukum, maka rakyat harus menjadi benteng. Seperti Pattimura berdiri di hadapan meriam, kita hari ini harus berdiri di hadapan ketidakadilan yang memakai dasi.
Apa makna Hari Pattimura jika kita hanya mengenangnya, tapi tidak mewarisinya? Jangan-jangan, kita menjadikan sejarah sebagai dongeng pengantar tidur, bukan sebagai alarm kebangkitan.
Pattimura tidak pernah meminta patung, tidak memerlukan hari libur untuk dikenang. Ia hanya ingin satu hal: agar perjuangan tidak mati di tengah tepuk tangan seremonial.
Hari Pattimura adalah undangan untuk menyatukan bara akal, bara hati, dan bara iman demi Indonesia yang adil. Bukan hanya untuk Maluku, tapi untuk seluruh anak bangsa yang percaya bahwa kemerdekaan sejati belum selesai diperjuangkan.
Bangsa yang besar tidak hanya memajang nama pahlawan di buku sejarah, tapi menulis ulang semangat mereka di setiap tindakan hari ini.
Jadikan Hari Pattimura sebagai cermin. Tatap dan tanya diri sendiri: “Sudahkah aku cukup berani untuk berpihak?” Jika belum, maka mari kita mulai. Karena seperti kata-katanya yang menggema abadi:
“Beta mati, tapi perjuangan akan terus hidup.”
Mari kita hidupkan perjuangan itu. Bukan dengan peluru, tapi dengan nurani yang tak bisa dibungkam.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #hmi