Oleh Seknas Fitra pada hari Senin, 18 Agu 2025 - 20:17:05 WIB
Bagikan Berita ini :

Catatan Kritis atas Nota Keuangan dan RAPBN 2026

tscom_news_photo_1755523025.jpg
(Sumber foto : Istimewa)

Nota Keuangan dan RAPBN 2026 yang dibacakan oleh Presiden Prabowo Subianto pada Jum’at, 15 Agustus 2025, belum mencerminkan kondisi dan realitas masyarakat yang sebenarnya. Berikut adalah catatan-catatan Seknas FITRA atas Nota Keuangan dan RAPBN 2026:

1. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Cenderung “Pencitraan” dan Tidak Melihat Realitas Masyarakat. Rata-rata pertumbuhan ekonomi tiga tahun sebelum pandemi (2017-2019) hanya 5,09% (yoy) dan rata-rata pertumbuhan ekonomi tiga tahun pasca pandemi (2022-2024) hanya 5,13% (yoy). Sementara proyeksi di 2026 ditetapkan mencapai 5,4%. Jelas ini optimisme yang berlebih alias pencitraan. Meski pada Triwulan II pertumbuhan ekonomi Indonesia ‘diclaim’ oleh pemerintah mencapai 5,12% dan menimbulkan polemik data di kalangan ahli.

Penetapan 5,4% pertumbuhan ekonomi tentu membutuhkan efford luar biasa, di tengah kondisi ekonomi global yang tidak baik-baik saja, perang tarif antar negara, dan daya beli masyarakat yang belum stabil. Tingkat konsumsi Rumah Tangga relatif stagnan dalam tiga tahun terakhir (2022-2024) di angka 4,87%, sementara program-program Perlindungan Sosial – seperti PKH, Kartu Sembako, PIP, berbagai Subsidi, yang selama ini menopang daya beli masyarakat masih banyak salah sasaran.

2. Reformasi Perpajakan belum Komperehensif hingga Daerah sehingga Membebani Rakyat Kecil. Pendapatan Negara pada 2026 ditargetkan Rp3.147,7 triliun, di mana penerimaan terbesar masih dari sektor perpajakan, yakni sebesar Rp2.692 triliun atau 85,5%. Naik 11,3% dibanding Outlook APBN 2025.

Terbesar kedua adalah dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp455 triliun atau 14,5% dari total Pendapatan Negara atau turun 4,8% dibanding Outlook PNBP 2025. Yang menjadi persoalan hingga saat ini Adalah:

(1) Sistem Pelayanan Perpajakan (Coretax) belum stabil sehingga belum ada ‘trust’ dari masyarakat;

(2) Lemahnya integrasi sistem penerimaan negara (pajak, bea-cukai, dan PNBP) sehingga dan akurasi data penerimaan rendah dan kualitas pengawasan lemah;

(3) Lemahnya kualitas pemeriksaan, sehingga menimbulkan sengketa perpajakan yang tinggi;

(4) Fragmentasi pusat dan daerah pasca ditetapkannya UU Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD).

Contohnya adalah belum sinkronnya desain pajak dan tata kelola implementasi Opsen Pajak dan restrukturisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Hal ini menimbulkan ‘kesewenang-wenengan’ Pemerintah Daerah menaikan pajak/retribusi. Kasus terbaru di Kabupaten Pati yang kemungkinan akan terjadi di daerah-daerah lain;

(5) Minimnya transparansi dan akuntabilitas Belanja Perpajakan (Tax Expenditure) yang diestimasi mencapai Rp563,6 triliun. Belanja Perpajakan ini 50%-nya besar berasal dari PPN dan PPnBM, dan paling banyak digunakan untuk sektor Industri Pengolahan (25%). Sedangkan untuk Air Minum, Penangan Sampah, dan Sanitasi hanya 11%, Jasa Pendidikan (0,5%), dan Jasa Kesehatan (5%).

3. Potensi Resentralisasi Belanja Negara dan ‘Distrust’ kepada Daerah Semakin Nyata.

Hal ini terlihat dari postur Belanja pada RAPBN 2026. Dari total Belanja Negara yang ditetapkan sebesar Rp3.876,5 triliun, 83% dialokasikan untuk Belanja Pemerintah Pusat atau sebesar Rp3.136,5 triliun.

Sedangkan Transfer ke Daerah (TKD) hanya mendapat jatah Rp650 triliun atau 17% dari total Belanja Negara, turun drastis dibanding TKD 2025 yang sebesar Rp919,9 triliun dan Outlook APBN 2025 Rp864,1 triliun.

Ada kecenderungan alokasi anggaran ‘dikuasai’ oleh Pemerintah Pusat dengan jumlah K/L yang gemuk atau terjadi resentralisasi keungan negara. Sementara Daerah hanya dikasih ‘remah-remah’ dengan berbagai earmark yang menyertainya. Earmaking TKD adalah Transfer Keuangan Pusat ke Daerah yang sudah ditentukan penggunaannya, sehingga daerah kesulitan mengalokasikan untuk prioritas pembangunan di daerahnya masing-masing. Ini artinya, Daerah tidak lagi dipercaya oleh Pemerintah Pusat dalam mengelola anggaran negara untuk pencapaian pembangunan.

4. Program-program Direktif Presiden menyedot dana besar, tanpa studi kelayakan, tanpa partisipasi publik, sehingg sangat riskan diselewengkan. Program seperti Ketahanan Pangan menyedot anggaran Rp164,6 triliun, Ketahanan Energi Rp402,4 triliun, MBG Rp335 triliun, Pendidikan termasuk Sekolah Rakyat Rp757,8 triliun, Kesehatan – termasuk Cek Kesehatan Gratis Rp244 triliun, Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang jumlahnya 80.000 Koperasi akan berhutang ke Bank Himbara sekitar Rp400 triliun dan bila rugi akan ditanggung APBDesa, Pertahanan Semesta, 3 Juta Rumah, dll.

Sebagian besar program-program tersebut bersifat top down dan tanpa background study yang memadai dan komperehensif, sehingga dampaknya akan sangat kecil dirasakan oleh masyarakat. Dalam studi yang dilakukan TII terkait Program MBG misalnya, ditemukan potensi korupsi sistemik, mulai dari regulasi yang belum kuat, penunjukan mitra pelaksana Satuan Pelayananpemenuhan Gizi (SPPG) tidak terbuka, lemahnya koordinasi antar sektor, dan Pengadaan Barang Jasa (PBJ) yang tidak transparan. Sehingga anggaran MBG yang sangat besar hanya dijadikan ajang bancakan.

Kesimpulan dan Rekomendasi:

- Optimisme penetapan pertumbuhan ekonomi yang tinggi boleh tapi harus realistis dan mempunyai dampak bagi masyarakat luas, bukan sekedar angka yang ‘dipoles’ dan jauh dari realita, sehingga menimbulkan polemik. Pemerintah harus fokus pada peningkatan daya beli masyarakat yang saat ini stagnan (rata-rata 4,87%), menciptakan lapangan kerja yang layak karena TPT 2024 masih 4,78% tertinggi di ASEAN, serta mengurangi kesenjangan (Gini Ratio Maret 2025 sebesar 0,375) masih tinggi.

- Reformasi perpajakan jangan sampai membebani masyarakat. Pemerintah harus kreatif dengan memperbaiki manajemen, sistem, dan tata kelola perpajakan. Fragmentasi pajak antara pusat dan daerah juga harus segera disikapi agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat karena beban pajak semakin tinggi. Dan yang terpenting, sistem perpajakan, bea-cukai dan PNBP harus terintegrasi dan transparan, dapat dipantau oleh publik.

- Terjadi potensi resentralisasi fiskal sehingga ruang fikal daerah semakin sempit. Pemerintah hanya fokus pada program-program direktif Presiden, tanpa mempertimbangkan janji politik Kepala Daerah yang juga harus didanai oleh APBD. Sinkronisasi, harmonisasi, dan sinergi antara APBN dan APBD belum berjalan dengan baik. Perlu sistem yang kuat untuk mengikis ego sectoral antar K/L dan Daerah.

- Program-program Direktif Presiden menyedot dana besar, tanpa studi kelayakan, tanpa partisipasi publik, sehingga sangat riskan diselewengkan. Untuk itu, pemerintah perlu mengembangkan sistem keterbukaaan informasi yang mudah diakses oleh publik. DPR RI, BPK RI dan Organisasi Masyarakat Sipil juga perlu mengembangkan Sistem Pengawasan yang ketat.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
HUT R1 2025 AHMAD NAJIB
advertisement
HUT RI 2025 M HEKAL
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
HUT RI 2025 SOKSI
advertisement
Lainnya
Opini

Menguak Kembali Misteri Bailout BCA: Benarkah Ide Mengambil Alih 51% Saham Itu Sesat?

Oleh HM SASMITO HADINAGORO
pada hari Senin, 18 Agu 2025
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Beberapa waktu lalu, sebuah media perbankan menulis artikel dengan nada keras: gagasan untuk meninjau ulang bailout BCA dan wacana pengambilalihan 51% saham oleh negara ...
Opini

Kebijakan Presiden Prabowo: Memindahkan Penduduk Gaza Ke Pulau Galang

Niat baik Presiden Prabowo untuk memindahkan sebagian kecil penduduk Gaza, khususnya yang sakit, ke Pulau Galang mendapatkan kritik dari sebagian masyarakat di sini. Berbagai macam alasan di ...