Oleh Sahlan Ake pada hari Minggu, 13 Jul 2025 - 14:28:40 WIB
Bagikan Berita ini :

Hardjuno Wiwoho: Negara Demokrasi Membatasi Rangkap Jabatan, Indonesia Kok Malah Longgar?

tscom_news_photo_1752392017.jpg
Hardjuno (Sumber foto : Istimewa)

JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho, mengkritik keras praktik rangkap jabatan sebanyak 30 Wakil Menteri yang saat ini menuai polemik di tengah masyarakat. Bagi Hardjuno, praktik itu tidak hanya problematik secara hukum, tapi juga menunjukkan krisis etika di tingkat elite pemerintahan.

“Kalau di negara demokrasi maju, rangkap jabatan dibatasi ketat karena dianggap berpotensi menumpuk kekuasaan dan menciptakan konflik kepentingan. Di Indonesia justru dibuka lebar. Ini bukan kemajuan, ini kemunduran,” ujar Hardjuno dalam pernyataan tertulisnya, Minggu (13/7).

Hardjuno menyebut, gugatan uji materi yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi terkait aturan rangkap jabatan ini merupakan sinyal penting bahwa publik tidak tinggal diam. Menurutnya, fakta bahwa kebijakan ini digugat saja sudah cukup membuktikan bahwa ada masalah moral yang serius dalam cara pemerintahan dikelola.

“Kalau sebuah kebijakan harus diuji di Mahkamah Konstitusi, itu tandanya kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang secara moral memang patut dipersoalkan. Apalagi ini soal jabatan publik yang menyangkut kepercayaan rakyat,” tegasnya.

Menurut Hardjuno, menteri dan wakil menteri adalah satu paket kekuasaan eksekutif. Maka jika seorang menteri dilarang merangkap sebagai komisaris BUMN, larangan itu secara prinsip juga harus berlaku bagi wakil menterinya.

“Wakil menteri itu bukan jabatan yang independen. Ia bukan pejabat politik otonom yang punya garis komando sendiri. Dia perpanjangan tangan menteri. Kalau menterinya tidak boleh rangkap jabatan, wakilnya juga seharusnya tunduk pada prinsip yang sama,” jelasnya.

Hardjuno mengingatkan bahwa larangan rangkap jabatan bagi pejabat eksekutif negara sebenarnya sudah diatur secara tegas dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Ia merujuk antara lain pada Pasal 23 huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, yang menyatakan bahwa menteri dilarang merangkap sebagai komisaris atau direksi pada perusahaan negara maupun swasta.

“Pasal ini terang benderang. Tidak multitafsir. Dan karena jabatan wakil menteri adalah bagian dari struktur kementerian dan pembantu presiden, maka semestinya terikat pula pada semangat dan norma dalam undang-undang ini,” ujarnya.

Selain itu, Hardjuno juga menyoroti Pasal 17 huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang melarang pelaksana pelayanan publik dari instansi pemerintah merangkap jabatan di organisasi usaha. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara khusus menekankan larangan konflik kepentingan dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan.

Lebih jauh, ia juga mengingatkan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, yang mempertegas larangan menteri merangkap jabatan. “Putusan MK ini menunjukkan bahwa semangat konstitusi kita tidak pernah membenarkan penumpukan kekuasaan administratif dan korporatif dalam satu tangan,” katanya.

Lebih lanjut, Hardjuno membandingkan situasi di Indonesia dengan negara-negara yang lebih maju dalam hal tata kelola pemerintahan. Ia mencontohkan Prancis, di mana sejak 2014 telah diberlakukan pembatasan tegas atas praktik cumul des mandats atau rangkap jabatan oleh pejabat publik. Di sana, pejabat yang duduk di parlemen tidak lagi boleh merangkap jabatan di pemerintahan daerah atau institusi eksekutif lainnya karena dinilai merusak profesionalitas dan membuka ruang konflik kepentingan.

Sementara di kawasan Asia Tenggara, Vietnam dan Malaysia justru menunjukkan kemauan politik yang kuat untuk memperbaiki sistem. Vietnam memperketat pemisahan jabatan publik dan jabatan di perusahaan milik negara sejak terjadinya sejumlah skandal korupsi. Malaysia pun belajar dari krisis 1MDB dan sejak 2023 mulai melarang menteri merangkap sebagai ketua perusahaan BUMN.

“Kalau Vietnam dan Malaysia saja bisa belajar dari kesalahan masa lalu, mengapa Indonesia justru mengulangnya? Ini pertanyaan serius yang harus dijawab oleh pemerintah,” kata Hardjuno.

Lebih dari sekadar regulasi, Hardjuno menilai persoalan rangkap jabatan ini menyentuh inti dari integritas pemerintahan. Ia menegaskan bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan ruang akumulasi posisi dan fasilitas.

“Negara tidak kekurangan orang cakap. Tapi kalau jabatan publik dijadikan alat bagi segelintir elite untuk menumpuk kekuasaan, maka republik ini sedang menyimpang dari arah semestinya,” tutupnya.

tag: #prabowo-subianto  #rangkap-jabatan  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
PEMPEK GOLDY
advertisement
KURBAN TS -DD 2025
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement