TEROPONGSENAYAN.COM - Jakarta, "Bagaimana hitungannya, ya Bu, jika pengeluaran sehari-hari per orang dua puluh ribuan maka dia tak dibilang miskin? Saya sudah makan sangat sederhana saja di warteg rata-rata untuk tiga kali makan total sekitar Rp50 - Rp60 ribu untuk saya sendiri. Belum untuk anak-anak dan istri. Kok bisa ya, Bu, saya, yang pengemudi ojek ini, tidak termasuk miskin. Bingung saya."
Saya terdiam mendengar ucapan itu. Pernyataan tersebut datang dari seorang pengemudi ojek online, yang saya naiki di hari demontrasi besar di Jakarta, Senin, 25 Agustus 2025. Ketika itu macet tak terelakkan sehingga motor merupakan pilihan paling masuk akal. Pak X membawa saya melewati jalan-jalan alternatif untuk menghindari kemacetan, yang makin diperparah karena beberapa saat sebelumnya hujan deras baru berhenti.
Jaket lelaki ini terlihat lusuh dan agak lembab. Jok motor belakang harus dilap sebelum saya duduk karena masih ada sisa air hujan. Di sepanjang perjalanan menuju stasiun Light Rail Transit (LRT) atau Lintas Rel Terpadu terjadilah percakapan kecil, termasuk kebingungannya tentang kategori tidak miskin tadi.
Kategori kemiskinan di Indonesia terkini memang pantas menjadi sorotan karena nyatanya memang "membingungkan". Badan Pusat Statistik (BPS). menyatakan angka kemiskinan di Indonesia per Maret 2025 adalah 8,47 persen dari total populasi atau setara dengan 23,85 juta jiwa. Angka ini merupakan yang terendah dalam dua dekade terakhir dan menunjukkan penurunan dibandingkan periode sebelumnya.
Persentase penduduk miskin pada Maret 2025 pun menjadi sebesar 8,47 persen atau turun sebesar 0,10 persen poin dari data September 2024.
Penurunan angka kemiskinan tersebut di satu sisi merupakan "kabar baik" karena bisa menunjukkan capaian pembangunan. Tetapi jika merujuk pada kategori menjadi miskin atau tidak, maka kebingungan tadi yang akan muncul. Garis Kemiskinan (GK) nasional pada Maret 2025, yang ditetapkan oleh BPS, ternyata berdasarkan pada pengeluaran per kapita sebesar Rp609.160 per bulan. Jadi, seseorang dikategorikan miskin "secara statistik" jika rata-rata pengeluarannya berada di bawah nilai GK tersebut. Jika dihitung per hari maka GK tersebut setara dengan kisaran Rp20 ribu per hari.
Inilah yang membuat tukang ojek tadi kebingungan; Kebingungan yang juga dirasakan oleh banyak orang di Indonesia. Sejujurnya, kisaran Rp20 ribu per hari itu sangat tak layak untuk menyatakan seseorang menjadi tidak miskin. Pak X tadi memberi contoh nyata bahwa untuk makan sangat sederhana tiga kali sehari saja dia memerlukan Rp50 - Rp60 ribu. Belum untuk kebutuhan lainnya.
Beberapa kawan juga membicarakan hal ini dan merasa bahwa GK versi BPS ini sangat tidak masuk akal dan tak layak, bahkan tak manusiawi. Bisa apa jumlah tersebut dalam kondisi harga makin meningkat, inflasi terus terjadi, dan pekerjaan masih susah diperoleh? Bisa apa dua puluh ribuan itu untuk menopang kehidupan dalam satu hari? Apakah masyarakat Indonesia diharapkan hanya makan satu kali dalam sehari dan tidak layak lagi untuk mendapatkan haknya sebagai manusia yang memiliki kebutuhan dasar lain (pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan)? Hanya dengan pendapatan sedikit di atas GK tadi, orang di Indonesia sudah tidak lagi disebut "miskin"? Sungguh membingungkan.
Penetapan GK tersebut juga bisa memengaruhi berkurangnya hak bagi mereka yang secara realitas memang tak mampu. Hak mereka bisa terhalang oleh "kejamnya" penetapan GK tadi. Katakanlah jika per orang berpendapatan Rp25 ribu, sementara ada bantuan sosial, pembebasan dari kewajiban membuat iuran kesehatan bagi si miskin, dan sebagainya; Bisa jadi haknya terputus hanya karena mendadak orang tersebut tak lagi menjadi miskin akibat GK versi BPJS tadi.
Tanpa bermaksud mengagungkan World Bank, untuk negara-negara yang masuk kategori berpendapatan menengah ke bawah, termasuk Indonesia, GK untuk standar global -- yang direvisi pada tahun 2024 -- adalah sebesar US$8,30 per hari. Jika dirupiahkan, besarnya sekitar seratus tiga puluh ribuan. Angka ini tampaknya lebih realistis dibandingkan GK terbaru versi BPS.
Pertanyaannya, tak bisakah BPS memberikan batas kemiskinan yang lebih manusiawi bagi manusia Indonesia?
Bekasi, 27 Agustus 2025
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #