JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya berbicara mengenai literasi harus menjadi pondasi utama dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa. Bagi Willy, literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi energi yang dapat membentuk cara berpikir kritis masyarakat.
Untuk itu, Willy mendorong Revisi UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan segera diwujudkan sebagai instrumen strategis demi membangun ekosistem literasi nasional. Revisi atas UU tersebut memang menjadi usulan inisiatif pribadi dari Willy selaku legislator atau anggota dewan.
"Basisnya adalah mencerdaskan kehidupan berbangsa. Artinya, yang perlu kita perbaiki dari republik ini adalah critical thinking yang meletakkan spiritnya adalah literasi. Literasi itu menjadi, menjadi energi,” kata Willy, Senin (29/9/2025).
“Bukan hanya menjadi sebuah hal yang tertulis. Kita lakukan itu untuk apa? Biar kemudian critical thinking itu terjadi di semua level," lanjutnya.
Menurut Willy, tantangan literasi di Indonesia bukan hanya pada akses membaca, melainkan pada pembentukan karakter berpikir logis dan kritis sejak dini. Ia membandingkan sistem pendidikan Indonesia dengan negara lain.
"Kalau kita mau compare, anak-anak sekolah di Jerman itu baru bisa kenal huruf umur 10 tahun. Baru dia mengenal calistung. Di kita calistung menjadi syarat sah untuk masuk sekolah. Mereka dibentuk adalah logical framework, cara berpikir, kausalitas, sebab akibat, ‘Ini kenapa terjadi ini?’ yang kemudian baru habit,” papar Willy.
“Jadi karakternya itu thinking and habit. Di kita enggak. Di kita (Indonesia) itu yang dijejali aksara dan angka," tambahnya.
Oleh karena itu, Willy berpandangan RUU Perbukuan harus menjadi bagian dari upaya strategis untuk memperkuat budaya literasi di Indonesia. Ia optimistis proses legislasi dapat berjalan lancar dan diputuskan menjadi usul inisiatif DPR di akhir tahun 2025.
"Kalau saya optimis. RUU perbukuan ini toh enggak ada konflik kepentingan. Kalau bisa 2025 ini jadi sebagai hak inisiatif DPR, nanti tinggal dijadikan DIM-nya dari pemerintah. Ya, kalau bisa, ini kan sekarang sudah bulan September. Ini masuk sebagai hak inisiatif DPR sebelum akhir tahun," ungkap Willy.
Dalam pandangan Willy, RUU Perbukuan bukan hanya soal memperluas akses buku, tetapi juga menciptakan ruang kreatif bagi generasi muda.
"Insentif yang kita berikan itu, satu, tidak adanya dikotomi antara buku sekolah dengan buku umum. Artinya gini, kita kan dulu dijejali, ‘Eh, kalian baca buku ini ya’.
Seolah-olah sumber kebenaran itu hanya menurut buku A. Sehingga ruang debat dan ruang dialektikanya menjadi sempit," ucap Legislator asal Dapil Jatim XI itu.
"Yang kedua yang harus kita lihat bagaimana insentif untuk penulis. Artinya ketika seorang siswa memiliki karya tulis, itu layak terbit, bagus, bisa kita terbitkan. Jadi anak-anak kita juga bercita-cita, cita-citaku bukan hanya dokter, bukan hanya tentara, bukan hanya pilot, tapi cita-citaku juga ingin menjadi seorang penulis," tambah Willy.
Pimpinan Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) itu berpandangan bahwa upaya literasi harus dilihat sebagai energi jangka panjang.
Menurut Willy, literasi bukan-lah proyek instan.
"Critical thinking itu enggak bisa seperti membalik telapak tangan, bukan proyek sehari dua hari, setahun dua tahun, tidak. Dia long-term project, dia strategic project. Walaupun faktanya ya, dengan adanya e-book, yang akses kecil. Artinya kita hidup dengan smartphone tapi yang menggunakannya belum tentu smart,” jelasnya.
Lebih jauh, Willy meyakini Presiden Prabowo Subianto memiliki komitmen kuat terhadap literasi. Sebab, mencerdaskan anak bangsa adalah amanat komstitusi.
"Pak Prabowo orang yang komit terhadap literasi. Karena apa? Ini amanat konstitusional, mencerdaskan kehidupan berbangsa. Dan ini instrumennya, Kalau enggak, masa kita mengalami declining IQ secara serius? Apalagi sekarang hoaks luar biasa," pungkas Willy.