
JAKARTA (TEROPONGSENAYAN) --Selasa sore, 28 Oktober 2025, aula megah Hotel Sultan, Jakarta, berdenyut dengan warna oranye khas Pemuda Pancasila. Barisan kader berjaket loreng duduk rapi, sementara spanduk besar bertuliskan “HUT ke-66 Pemuda Pancasila dan Peluncuran Aplikasi JAM” membentang di panggung utama.
Suasana khidmat bercampur dengan suara mars perjuangan, mengiringi langkah Ketua Umum Majelis Pimpinan Nasional Pemuda Pancasila, Japto Soerjosoemarno, naik ke podium.
Japto tersenyum kecil. Di hadapannya, ribuan kader dari 36 majelis wilayah dan lebih dari 400 cabang hadir, membawa semangat yang sama: kebanggaan atas usia panjang dan tekad untuk berubah. “Hari ini kita tidak hanya merayakan ulang tahun,” katanya membuka sambutan. “Kita memulai babak baru Pemuda Pancasila—babak digital.”
Dari Ormas ke Super App
Babak baru yang dimaksud Japto adalah peluncuran JAM, singkatan dari Just A Move—sebuah aplikasi buatan anak bangsa yang diklaim sebagai super app pertama yang lahir dari rahim organisasi masyarakat. Tak sekadar ojek online, JAM dirancang untuk menjadi platform serbaguna, menyediakan layanan transportasi, belanja, pembayaran, hingga pengiriman barang. Kata JAM diambil dari inisial pemrakarsanya, Ketua DPW Pemuda Pancasila Prov. Banten, Johan Aripin Muba.
“Aplikasi ini lahir dari semangat kemandirian teknologi dan pemberdayaan ekonomi rakyat,” ujar Japto, disambut tepuk tangan panjang. “Kami ingin masyarakat memiliki alternatif karya bangsa sendiri. Satu aplikasi untuk semua kebutuhan mobilitas.”
Di layar raksasa, video promosi JAM menampilkan pengemudi berjaket oranye menembus lalu lintas Jakarta. “Dari lorong kampung sampai jalan protokol,” suara narator menggema, “JAM hadir untuk menggerakkan ekonomi rakyat, dari bawah.”
Peluncuran berlangsung simbolis. Bersama dua figur penting—Ketua Umum 234 SC Abishalom Soerjosoemarno dan Ketua MPW PP Banten Johan Arifin Muba—Japto menekan tombol di podium digital. Seketika, logo JAM berpendar di layar: lingkaran merah-putih dengan kilatan kuning di tengahnya.
Waroeng Pancasila, Jantung Ekonomi Rakyat
Tak berhenti di aplikasi, Pemuda Pancasila juga memperkenalkan program Waroeng Pancasila, hasil kolaborasi dengan 4.500 warung rakyat di Banten. Di sinilah JAM beroperasi pertama kali, menjadi sarana distribusi dan transaksi antara pengemudi, warung, dan konsumen.
“Waroeng Pancasila bukan sekadar tempat jualan,” ujar Japto usai peluncuran. “Ini titik temu ekonomi rakyat dengan semangat gotong royong.” Ia menyebutnya sebagai bagian dari ekosistem Pancasila digital—sebuah konsep besar yang menggabungkan nilai ideologi dengan teknologi.
Waroeng-waroeng itu kini menjadi simpul jaringan JAM. Para pemiliknya—dari Warung Madura sampai pedagang kaki lima—mendapat pelatihan digital, perangkat pembayaran, dan akses ke sistem logistik sederhana. “Dengan JAM, warung kecil pun bisa bertransaksi seperti toko modern,” kata Johan Arifin.
Ide membentuk aplikasi ojek online ini muncul dari keresahan lama. Di banyak daerah, kader PP bekerja serabutan. Ada yang menjadi pengemudi ojek, ada pula pedagang kecil yang hidup dari hari ke hari. Ketika aplikasi transportasi daring tumbuh pesat, banyak dari mereka hanya menjadi pengguna — bukan pemilik atau pengelola. “Selama ini kita hanya pakai aplikasi orang lain,” kata Johan. “Sekarang kita bikin sendiri.”
Menurutnya, JAM diharapkan menjadi ruang kerja dan peluang usaha yang berpihak pada anggota PP dan masyarakat di sekitar mereka. Aplikasi ini dikembangkan bekerja sama dengan tim teknologi independen, dengan konsep “dari ormas untuk rakyat”. Musyawarah Besar XI, Johan Aripin Muba menyebut momentum ini sebagai titik balik. “Kami sadar, zaman berubah,” ujarnya.
“Pemuda Pancasila harus bertransformasi menjadi organisasi modern dan inklusif”. Mubes XI yang digelar bersamaan dengan peringatan ulang tahun kali ini menjadi wadah refleksi besar. Ahmad menegaskan, “Kami bertekad memperkuat disiplin, memperbaiki citra, dan menjalankan program yang langsung menyentuh masyarakat.”
Selain transportasi, layanan JAM juga akan mencakup pengantaran makanan, belanja harian, hingga kerja sama dengan Waroeng Pancasila sebagai mitra dagang. Di tahap awal, JAM diuji coba di Banten, Jakarta dan Medan, dua kota dengan basis PP yang kuat. Ke depan, mereka ingin memperluasnya ke seluruh provinsi.
Usia 66 tahun bukan perjalanan ringan bagi organisasi yang lahir pada 28 Oktober 1959 ini. Dari jalanan politik era Orde Lama, pergolakan 1965, hingga masa reformasi, Pemuda Pancasila selalu identik dengan dinamika keras. Kini, mereka berusaha menempuh jalan baru: menjadi kekuatan sosial yang membela rakyat kecil.
Mubes XI yang digelar bersamaan dengan peringatan ulang tahun kali ini menjadi wadah refleksi besar. “Kami bertekad memperkuat disiplin, memperbaiki citra, dan menjalankan program yang langsung menyentuh masyarakat,” tutur Johan.
Kembali ke Akar: Pengawal Pancasila
Di sela-sela acara, di sudut ruangan, para kader muda sibuk mengunduh aplikasi JAM di ponsel mereka. Sementara di panggung, tumpeng kuning diiris, dibagikan kepada 66 anak yatim—simbol rasa syukur atas usia organisasi. “Pemuda Pancasila ingin semakin dekat dengan rakyat. Kami ingin setiap kantor PP di seluruh Indonesia menjadi rumah rakyat, tempat mereka datang mencari perlindungan dan solusi," katanya.
Sejenak, suasana berubah hening. Japto berdiri kembali, menatap barisan kader di hadapannya. “Kita lahir untuk menjaga Pancasila,” ujarnya tegas. “Sekarang, tugas kita menjaganya di dunia baru—dunia digital.” Di luar ballroom, malam Jakarta mulai turun. Di layar gawai para kader, ikon oranye JAM perlahan menyala—simbol peralihan Pemuda Pancasila dari lorong jalanan menuju ruang maya, dari masa lalu yang keras menuju masa depan yang terhubung.