
JAKARTA – Peneliti Spektrum Demokrasi Indonesia Dwi Nugroho Marsudianto menegaskan ledakan yang mengguncang SMA Negeri 72 Jakarta pada Jumat (7/11) lalu, bukan sekadar insiden kriminal yang menelan puluhan korban luka. Tragedi ini menjadi potret suram tentang kegagalan sistem pendidikan dalam menangani perundungan (bullying) di sekolah. Polisi mengidentifikasi pelaku sebagai siswa di sekolah itu sendiri, dan penyelidikan awal menunjukkan pelaku pernah menjadi korban perundungan oleh teman-temannya.
“Perundungan bukan sekadar masalah etika atau tata tertib sekolah. Ini sudah menjadi masalah keselamatan publik. Ketika seorang siswa yang terus menerus dipermalukan, disakiti, dan tidak mendapat perlindungan, maka tekanan psikologis bisa meledak dalam bentuk ekstrem. Tragedi ini harus menjadi momentum reformasi serius. Jangan sampai ada sekolah lainnya menjadi tempat lahirnya tragedi yang sama.” ujar Dwi Nugroho Marsudianto di Jakarta, Rabu (12/11/25).
Kriminolog Universitas Indonesia ini menjelaskan secara hukum pelaku perundungan bisa dijerat pidana. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dalam pasal 76C dengan tegas melarang tindakan perundungan dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun daring dengan ancaman pidana penjara hingga 3 tahun 6 bulan dan/atau denda Rp 72 juta.
Selain itu, jika perundungan menimbulkan luka berat atau kematian, pelaku dapat dijerat dengan pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, atau pasal 55 KUHP jika terbukti berperan dalam memfasilitasi atau menghasut tindak kejahatan. Dalam konteks perundungan digital, UU ITE pasal 27 ayat (3) dan pasal 45 ayat (3) juga memungkinkan jerat pidana bagi pelaku penghinaan atau pencemaran nama baik di ruang siber.
“Regulasi sudah cukup lengkap, tetapi pelaksanaannya di lapangan masih setengah hati. Banyak sekolah tidak punya mekanisme pelaporan yang aman, guru tidak dilatih mendeteksi tanda-tanda perundungan, dan siswa enggan bicara karena takut dicap lemah atau pembuat onar,” ujarnya.
Dari perspektif hukum, perundungan bisa menjadi faktor pemicu, meski bukan pembenar tindakan kejahatan. Dwi menjelaskan, dalam proses penyidikan, penyidik harus menelusuri sejauh mana perundungan mempengaruhi kondisi kejiwaan pelaku. “Hubungan sebab akibat antara perundungan dan tindak lanjut seperti ledakan harus dibuktikan melalui pemeriksaan psikologis forensik, bukti komunikasi, hingga kesaksian saksi-saksi,” katanya.
Jika terbukti bahwa perundungan menjadi faktor dominan yang memicu pelaku melakukan tindakan ekstrem, maka pelaku perundungan dapat dikenai tanggung jawab tambahan. Terutama jika mereka secara langsung melakukan kekerasan atau mendorong tindakan tersebut. “Dalam beberapa kasus, pelaku perundungan bisa dikenai pasal penyertaan karena ikut menciptakan kondisi yang mendorong terjadinya kejahatan,” jelas Dwi.
Kandidat Doktor Hukum ini memaparkan, data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan sepanjang tahun 2024 terdapat 573 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, dan sekitar 31 persen di antaranya merupakan kasus perundungan. Tren itu meningkat signifikan dibandingkan 2022 yang tercatat hanya 370 kasus. Ironisnya, sebagian besar kasus tidak ditindaklanjuti secara hukum dan berhenti di tingkat mediasi sekolah.
“Data itu hanya puncak gunung es. Banyak korban memilih diam karena takut stigma atau tidak percaya pada sistem sekolah. Kasus SMAN 72 memperlihatkan bahwa ketika diam itu dibiarkan, hasilnya bisa fatal. Luka sosial berubah menjadi letupan yang melukai banyak pihak.” kata Dwi.
Tenaga ahli DPR RI ini menjelaskan, pemerintah sebenarnya sudah mengatur tata cara penanganan perundungan secara jelas melalui Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan, dan diperbarui dengan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKS).
Regulasi tersebut mewajibkan setiap sekolah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK), memiliki jalur pelaporan rahasia dan aman, serta bekerja sama dengan pihak kepolisian, psikolog, dan lembaga perlindungan anak. Dalam kasus yang melibatkan ancaman terhadap keselamatan publik, sekolah wajib melaporkan kepada pihak berwenang maksimal 1x24 jam.
"Namun implementasinya masih lemah. Baru sekitar 54 persen sekolah negeri di Indonesia yang memiliki TPPK aktif. Banyak kepala sekolah menganggap tugas itu hanya formalitas administratif. Padahal, fungsi tim ini vital untuk mencegah tragedi seperti yang terjadi di SMAN 72,” papar Dwi.
Sekjen Persatuan Robotika Seluruh Indonesia ini menegaskan guna mengatasi masalah serupa, fokus ke depan harus beralih dari sekadar menghukum pelaku perundungan menjadi membangun sistem pencegahan dan pemulihan psikologis. Sejumlah sekolah di beberapa daerah telah menerapkan "Sekolah Aman Tanpa Bullying", yang menyediakan konselor tetap dan kanal pelaporan anonim. Model ini terbukti menurunkan kasus kekerasan siswa hingga 40 persen dalam dua tahun terakhir.
“Sekolah harus menjadi tempat anak merasa aman, bukan tempat interaksi yang kejam. Begitu sekolah gagal menyediakan rasa aman yang kita pertaruhkan bukan hanya reputasi pendidikan, tetapi nyawa anak-anak kita.” tandas Dwi. (*)
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #