
Hidup di masa transisi antara dua era besar bangsa—Orde Lama dan Orde Baru—memberi saya pengalaman unik dalam memahami dinamika sejarah Indonesia. Saya hidup di ujung masa pemerintahan Presiden Soekarno dan cukup bergaul dengan sejumlah tokoh Orde Lama. Di masa Orde Baru, saya mengalaminya sepenuhnya, terutama saat bertugas di Jakarta dan berinteraksi langsung dalam kehidupan politik nasional.
Melihat generasi kini yang sering menilai masa lalu secara ekstrem—antara menyanjung setinggi langit atau menolak sepenuhnya—saya terdorong untuk menulis perbandingan ini. Tujuannya sederhana: mengajak kita semua melihat sejarah secara moderat, menghargai jasa dua presiden besar Indonesia sembari menarik pelajaran dari kekurangan masing-masing.
Konteks Awal: Hidup di Era Perang Dingin
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, dunia terbelah dalam dua blok: Barat (kapitalis) dan Timur (komunis). Indonesia baru saja merdeka, sistem ketatanegaraan belum mapan, dan tingkat pendidikan rakyat masih rendah—buta huruf begitu dominan. Banyak pegawai negeri, terutama di tingkat bawah, bahkan tidak memiliki ijazah.
Mahasiswa dihormati dan dianggap kaum terpelajar. Namun sistem pemerintahan masih bertumpu pada “jawara” atau kekuasaan informal. Orang pandai sering takut pada Tentara Pelajar, kelompok bersenjata muda yang berperan besar dalam revolusi fisik.
Retorika Soekarno begitu dominan, karena mitos dan simbolisme tumbuh subur. Banyak Tentara Pelajar yang kemudian menjadi pegawai negeri, dan yang cerdas seperti Mas Isman, Sughandi, dan Suhardiman memaksimalkan pengaruhnya melalui organisasi seperti Kosgoro, MKGR, dan Soksi.
Pertarungan antara kekuatan sipil dan militer pun sudah terjadi sejak awal kemerdekaan. Soekarno bahkan memelihara konflik itu dalam keseimbangan politiknya, hingga akhirnya meledak dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).
Perbandingan Dua Presiden Besar Indonesia
Berikut ini perbandingan antara Presiden Soekarno (Orde Lama) dan Presiden Soeharto (Orde Baru) dalam tujuh bidang utama: ideologi, kepemimpinan politik, ekonomi, politik luar negeri, sosial budaya, moral dan integritas, serta warisan jangka panjang.
1. Penggali dan perumus Pancasila sebagai dasar negara.
2. Membangkitkan nasionalisme dan rasa percaya diri bangsa pascakolonial.
3. Tegas menentang imperialisme dan neokolonialisme.
4. Terlalu menekankan persatuan hingga menekan oposisi.
5. Nasionalismenya sering bergeser menjadi kultus individu (Soekarnoisme).
1. Menjaga stabilitas ideologi melalui P4 dan asas tunggal Pancasila.
2. Menekan ekstrem kiri dan kanan agar tidak mengancam negara.
3. Menggunakan Pancasila sebagai alat kontrol politik, bukan sebagai ruang demokratis.
4. Nasionalisme dijadikan legitimasi kekuasaan, bukan semangat pembebasan.
1. Pemimpin karismatik, komunikatif, mampu menyatukan bangsa majemuk.
2. Simbol perlawanan terhadap penjajahan dan dominasi Barat.
3. Gaya kepemimpinan personalistik, tidak sistematis.
4. Lemah dalam manajemen pemerintahan dan ekonomi.
1. Pemimpin teknokratis, birokratis, dan efektif dalam administrasi negara.
2. Menjaga stabilitas politik jangka panjang dalam konsep Orde Pembangunan.
3. Otoriter dan represif; kebebasan politik dibatasi ketat.
4. Tidak menyiapkan regenerasi politik yang sehat.
1. Mendorong ekonomi berdikari dan menolak kapitalisme asing.
2. Memulai pembangunan infrastruktur monumental (Monas, GBK, jalan nasional).
3. Gagal menjaga stabilitas ekonomi; inflasi tinggi, utang membengkak, produksi anjlok.
4. Menempatkan politik di atas ekonomi (“politik lebih tinggi dari ekonomi”).
1. Sukses menstabilkan ekonomi dan mencapai swasembada pangan (1984).
2. Membuka investasi asing dan membangun infrastruktur besar-besaran.
3. Munculnya KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) melemahkan fondasi ekonomi.
4. Ketergantungan tinggi pada utang luar negeri dan konglomerat kroni.
1. Teguh pada politik bebas aktif sejati: anti blok Barat dan Timur.
2. Pelopor Gerakan Non-Blok dan solidaritas Dunia Ketiga.
3. Konfrontatif—terlibat konfrontasi dengan Malaysia dan keluar dari PBB.
4. Akhir masa kekuasaan: Indonesia terisolasi secara diplomatik.
1. Diplomasi pragmatis dan pro-investasi; memperbaiki hubungan internasional.
2. Aktif dalam pembentukan dan peran strategis ASEAN.
3. Terlalu dekat dengan Barat dan lembaga keuangan global (IMF, Bank Dunia).
4. Kadang mengorbankan kedaulatan ekonomi dan politik demi stabilitas.
1. Menumbuhkan kebanggaan nasional dan identitas budaya Indonesia.
2. Mendorong perkembangan seni, sastra, dan ilmu sosial nasional.
3. Retorika simbolik sering menggantikan kebijakan konkret.
4. Politik massa memicu konflik sosial dan ideologis.
1. Membangun masyarakat disiplin dan berorientasi kerja.
2. Menjaga stabilitas sosial relatif tinggi selama dua dekade awal.
3. Represif terhadap kebebasan berekspresi dan media.
4. Melemahkan budaya kritis dan daya inovatif masyarakat.
1. Relatif bersih dari korupsi pribadi.
2. Hidup sederhana secara material, meski megah dalam simbol kenegaraan.
3. Kurang disiplin administratif dan sering tidak konsisten antara idealisme dan realitas kekuasaan.
1. Awal kekuasaan relatif bersih dan efisien.
2. Birokrasi sempat tertib dan disiplin.
3. Di akhir kekuasaan, korupsi dan nepotisme meluas; keluarga menguasai ekonomi nasional.
1. Warisan ideologis dan simbol nasional kuat: Pancasila, Merdeka, dan NKRI.
2. Menjadi ikon kebanggaan bangsa dan simbol perlawanan.
3. Meninggalkan krisis ekonomi, politik, dan sosial pada 1965–1966.
1. Meninggalkan fondasi ekonomi dan infrastruktur besar.
2. Menjamin stabilitas politik selama 30 tahun.
3. Warisan korupsi dan oligarki ekonomi memicu krisis 1997–1998 serta lahirnya Reformasi.
Dua presiden besar ini sama-sama meninggalkan jejak yang tak mungkin dihapus dari sejarah Indonesia. Soekarno memberi bangsa ini jiwa dan harga diri, sementara Soeharto memberi bangsa ini tubuh dan struktur pembangunan. Namun, keduanya juga menunjukkan bahwa kekuasaan tanpa keseimbangan antara idealisme dan etika, pembangunan dan keadilan, akan menimbulkan luka sejarah yang panjang. Sejarah bukan untuk menghakimi, melainkan untuk memahami dan belajar. Hanya dengan sikap moderat dan jujur menilai masa lalu, kita bisa membangun masa depan Indonesia yang lebih dewasa dan berkeadaban.
Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.
tag: #