Oleh Ariady Achmad pada hari Minggu, 09 Nov 2025 - 16:36:08 WIB
Bagikan Berita ini :

Menjelang 100 Tahun Kemerdekaan: Reformasi Kepolisian dan Harapan akan Keadilan yang Sejati

tscom_news_photo_1762680968.png
Gemini AI (Sumber foto : Gemini AI)

Menjelang satu abad kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat berharap hadirnya keadilan yang nyata, bukan sekadar retorika. Di tengah euforia pembangunan dan transformasi digital, ada kegelisahan yang tumbuh di ruang publik: mengapa hukum masih terasa tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas? Mengapa keadilan seolah menjadi barang mewah yang hanya dapat dibeli oleh mereka yang memiliki keunggulan finansial dan akses politik?

Pertanyaan ini mengemuka ketika program reformasi kepolisian kembali dicanangkan oleh Presiden. Dalam konteks politik kekuasaan, langkah tersebut tentu dipandang strategis, bahkan krusial. Namun di sisi lain, publik juga merasakan adanya dominasi yang begitu kuat dari presiden—baik secara langsung maupun tidak langsung—dalam mengatur arah dan wajah reformasi hukum, khususnya di tubuh Polri. Akibatnya, independensi kepolisian sebagai alat negara penegak hukum sering kali dipertanyakan.


---

Polisi dan Dua Senjata Kekuasaan

Polisi di negeri ini memegang dua “senjata” yang amat menentukan: senjata api dan senjata hukum. Senjata api menjadi simbol kekuatan fisik, sementara senjata hukum mencerminkan kekuatan moral dan otoritas negara untuk menegakkan keadilan. Keduanya seharusnya berjalan beriringan, tidak digunakan secara sewenang-wenang, dan tidak tunduk pada kekuasaan yang bersifat politis.

Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Dalam banyak kasus, penegakan hukum tampak berjalan timpang. Masyarakat kecil sering menjadi korban dari sistem yang tidak berpihak, sementara mereka yang memiliki uang dan pengaruh politik justru tampak begitu mudah menghindar dari jerat hukum. Fenomena ini menimbulkan krisis kepercayaan yang mendalam terhadap lembaga kepolisian.


---

Reformasi yang Tak Boleh Setengah Hati

Reformasi kepolisian semestinya bukan sekadar pergantian struktur, jargon moralitas, atau rotasi jabatan. Reformasi sejati harus menyentuh akar persoalan: budaya organisasi, sistem rekrutmen, transparansi penegakan hukum, dan mekanisme pengawasan yang independen.

Selama ini, reformasi sering terjebak pada tataran kosmetik—mengubah tampilan, tetapi tidak menyentuh substansi. Padahal, Polri memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk menjadi garda terdepan dalam menegakkan hukum dan melindungi seluruh warga negara tanpa pandang bulu.

Perlu disadari bahwa kepercayaan publik terhadap kepolisian tidak dibangun melalui kekuasaan atau ketakutan, melainkan melalui keteladanan dan keadilan yang dirasakan. Polisi tidak boleh hanya menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, tetapi harus berdiri sebagai penyeimbang antara kepentingan negara dan hak-hak rakyat.


---

Keadilan Sosial sebagai Titik Akhir Reformasi

Bangsa ini didirikan atas cita-cita luhur untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, keadilan tidak boleh menjadi hak istimewa bagi segelintir orang, melainkan hak setiap warga negara. Kepolisian yang modern dan profesional harus menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai dasar pijakan dalam menjalankan tugas.

Reformasi kepolisian harus diiringi dengan reformasi moral, baik di internal lembaga maupun di tataran elit politik yang mengendalikannya. Selama masih ada intervensi politik terhadap proses penegakan hukum, maka keadilan akan terus menjadi ilusi.


---

Reformasi Moral: Mengembalikan Nurani dalam Penegakan Hukum

Reformasi moral adalah dimensi terdalam dari reformasi kepolisian. Ia bukan sekadar upaya memperbaiki sistem dan prosedur kerja, melainkan mengembalikan nurani dan etika dalam setiap tindakan aparat penegak hukum.

Selama ini, banyak kebijakan reformasi yang fokus pada aspek struktural—seperti rotasi jabatan, pelatihan profesional, atau penataan organisasi—tetapi lupa bahwa akar krisis kepercayaan publik justru terletak pada dimensi moral.
Ketika aparat kehilangan rasa malu untuk menyalahgunakan wewenang, ketika kejujuran dikalahkan oleh kepentingan, dan ketika jabatan dipandang sebagai sumber keuntungan, maka sebesar apa pun sistem diperbaiki, keadilan tetap tak akan tegak.

Reformasi moral menuntut perubahan sikap batin:

Dari mental kekuasaan menuju mental pelayanan. Polisi harus kembali pada jati dirinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, bukan alat untuk menakut-nakuti atau menekan rakyat.

Dari budaya transaksional menuju integritas personal. Penegakan hukum tidak boleh menjadi komoditas, di mana keadilan bisa dinegosiasikan dengan uang atau koneksi.

Dari loyalitas kepada individu menuju loyalitas kepada konstitusi. Aparat harus tunduk kepada hukum dan prinsip keadilan, bukan kepada kepentingan politik sesaat.

Dari kebanggaan pada kekuasaan menuju kebanggaan pada kejujuran. Polisi sejati bukan diukur dari pangkat atau senjata yang dimilikinya, tetapi dari keberanian untuk menegakkan kebenaran meski harus berhadapan dengan risiko.


Reformasi moral juga harus menyentuh sisi spiritual dan kemanusiaan aparat. Penegak hukum tidak hanya membutuhkan kecerdasan intelektual dan ketegasan, tetapi juga kebeningan hati. Di titik inilah pentingnya pembinaan karakter dan etika profesi yang berkelanjutan, yang menempatkan moralitas di atas kepentingan politik dan materi.

Sebab pada akhirnya, kekuatan sejati polisi bukan terletak pada senjata api atau kewenangan hukum yang dimilikinya, melainkan pada integritas dan kepercayaan rakyat yang ia jaga.


---

Penutup

Reformasi kepolisian bukan sekadar agenda institusional, tetapi momentum kebangsaan. Jika reformasi ini gagal lagi, maka yang hilang bukan hanya kepercayaan terhadap polisi, melainkan juga keyakinan rakyat terhadap keadilan itu sendiri.

Negara yang kuat bukanlah negara dengan aparat yang ditakuti, tetapi negara yang hukum dan keadilannya dihormati. Itulah cita-cita kemerdekaan yang sejati — dan di sanalah harapan bangsa menjelang 100 tahun Indonesia merdeka.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

RENDENOMINASI RUPIAH 2026–2030: Antara Rasionalisasi Ekonomi dan Ujian Kepercayaan Publik

Oleh Ariady Achmad
pada hari Minggu, 09 Nov 2025
Pendahuluan: Uang yang Disederhanakan, Bukan Daya Beli yang Dihilangkan Rencana pemerintah dan Bank Indonesia untuk memulai redenominasi rupiah pada periode 2026–2030 mulai kembali menjadi ...
Opini

Memori Kolektif, Narasi Kekuasaan, dan Rekaan Pahlawan

Jakarta, TEROPONGSENAYAN.COM - “Sejarah ditulis oleh para pemenang.” Kalimat yang sering kita dengar itu terdengar sederhana, tetapi di baliknya tersembunyi makna yang dalam. Ia ...