Oleh Ariady Achmad pada hari Minggu, 09 Nov 2025 - 16:23:40 WIB
Bagikan Berita ini :

RENDENOMINASI RUPIAH 2026–2030: Antara Rasionalisasi Ekonomi dan Ujian Kepercayaan Publik

tscom_news_photo_1762680220.png
Gemini AI (Sumber foto : Gemini AI)

Pendahuluan: Uang yang Disederhanakan, Bukan Daya Beli yang Dihilangkan

Rencana pemerintah dan Bank Indonesia untuk memulai redenominasi rupiah pada periode 2026–2030 mulai kembali menjadi topik perbincangan. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan satuan mata uang nasional tanpa mengubah daya beli masyarakat.
Dalam praktiknya, redenominasi akan menghapus tiga nol dari nominal uang. Artinya, uang Rp1.000 menjadi Rp1, Rp10.000 menjadi Rp10, dan seterusnya — tanpa mengurangi nilai riilnya.

Namun, di luar sisi teknokratisnya, redenominasi bukan sekadar kebijakan moneter. Ia adalah ujian besar terhadap kepercayaan publik, stabilitas politik, dan kesiapan sosial bangsa.

Mengapa Redenominasi Diperlukan Sekarang

Setelah lebih dari dua dekade stabilitas moneter pasca-krisis 1998, rupiah masih memikul “beban sejarah” berupa nominal tinggi dengan banyak nol.
Padahal dari sisi nilai, daya beli masyarakat sudah jauh berbeda dibandingkan tahun 1990-an.
Banyak negara dengan perekonomian setara Indonesia telah lebih dulu melakukan redenominasi — sebut saja Turki (2005) dan Rusia (1998) — sebagai langkah modernisasi sistem keuangan dan simbol kepercayaan terhadap mata uang nasional.

Bagi Indonesia, redenominasi bukan hanya soal menyederhanakan angka, tetapi juga tentang:

Efisiensi transaksi dan sistem keuangan digital;

Peningkatan citra rupiah di mata dunia;

Membangun budaya ekonomi yang lebih rasional dan tertib administrasi.

Pelajaran dari Negara Lain: Antara Sukses dan Gagal

Redenominasi bukan hal baru di dunia. Beberapa negara melakukannya dengan hasil beragam:

Turki sukses menghapus enam nol pada tahun 2005 berkat inflasi yang stabil dan komunikasi publik yang efektif.

Rusia relatif berhasil setelah krisis 1998 karena diikuti reformasi fiskal dan restrukturisasi ekonomi.

Sebaliknya, Venezuela dan Zimbabwe gagal total, karena redenominasi dilakukan di tengah hiperinflasi dan krisis politik — mengakibatkan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan mata uang nasional.


Dari pengalaman global ini, jelas bahwa redenominasi bukan solusi bagi krisis, melainkan buah dari kestabilan ekonomi dan politik.
Indonesia, dengan inflasi rendah dan pertumbuhan digital yang tinggi, secara teknis siap. Tetapi dari sisi politik kepercayaan publik, tantangannya justru semakin kompleks.

🔹 Risiko Sosial dan Politik di Indonesia

1️⃣ Kebingungan Publik

Banyak masyarakat masih mengingat pengalaman pahit “sanering” tahun 1965, ketika pemerintah benar-benar memotong nilai uang. Jika komunikasi publik tidak dilakukan dengan baik, rakyat bisa salah paham bahwa redenominasi serupa dengan sanering.

2️⃣ Potensi Spekulasi Harga dan Kepanikan

Masa transisi penggunaan dua nominal (uang lama dan baru) bisa memicu kekacauan harga di pasar tradisional, terutama di sektor informal yang masih bertransaksi tunai.

3️⃣ Politisasi Kebijakan

Dalam suasana politik yang cenderung populis, redenominasi bisa dijadikan isu politik untuk menyerang pemerintah.
Narasi seperti “uang rakyat dipotong” atau “cara pemerintah menutupi utang negara” berpotensi muncul di ruang publik dan media sosial.

4️⃣ Kesenjangan Literasi Keuangan

Masyarakat perkotaan yang sudah akrab dengan transaksi digital mungkin cepat beradaptasi.
Namun, masyarakat pedesaan dan kelompok lanjut usia bisa tertinggal, menimbulkan kesenjangan pemahaman dan kepercayaan terhadap uang baru.


---

🔹 Dampak terhadap Pemilik Uang Tunai dan Aset

Redenominasi tidak mengubah kekayaan riil siapa pun.
Pemilik uang tunai akan tetap memiliki daya beli yang sama; hanya nominalnya berubah.
Demikian pula bagi pemilik aset atau properti: nilai rumah Rp1 miliar akan menjadi Rp1 juta setelah redenominasi, tetapi nilainya tetap identik dalam konteks ekonomi baru.

Namun dalam masa transisi, ketidakpastian psikologis bisa memicu penyesuaian harga sementara. Karena itu, koordinasi antara BI, OJK, Kementerian Keuangan, dan pelaku usaha harus solid untuk mencegah spekulasi liar.


---

🔹 2026–2030: Skenario dan Tantangan Politik Ekonomi

Periode 2026–2030 bisa menjadi jendela waktu paling realistis bagi Indonesia untuk melaksanakan redenominasi, dengan beberapa catatan:

1. Stabilitas ekonomi makro terjaga.
Inflasi di bawah 4%, nilai tukar rupiah stabil, dan defisit fiskal terkendali.


2. Kepemimpinan politik yang kredibel dan komunikatif.
Presiden, Menteri Keuangan, dan Gubernur BI harus berbicara dengan satu suara dan bahasa yang mudah dipahami rakyat.


3. Sosialisasi publik bertahap.
Harus ada masa transisi penggunaan dua mata uang (lama dan baru) selama 2–3 tahun dengan edukasi di sekolah, pesantren, pasar, dan lembaga sosial.


4. Modernisasi sistem keuangan nasional.
Redenominasi harus beriringan dengan transformasi digital, agar lebih mudah diterapkan dan diawasi.

Jika syarat-syarat ini terpenuhi, redenominasi justru bisa menjadi simbol kebangkitan kepercayaan ekonomi nasional — tanda bahwa Indonesia telah cukup matang untuk menata ulang identitas rupiah.


---

🔹 Refleksi: Antara Simbol dan Substansi

Lebih dari sekadar kebijakan angka, redenominasi adalah cermin kepercayaan bangsa terhadap dirinya sendiri.
Ketika publik yakin bahwa nilai rupiah bukan sekadar kertas, tetapi lambang stabilitas dan harga diri nasional, maka penyederhanaan nominal akan diterima dengan wajar.

Namun jika masyarakat masih dilingkupi ketakutan, ketidakpastian, dan ketidakpercayaan terhadap elite politik, redenominasi bisa berubah menjadi sumber kegaduhan sosial baru.


---

🔹 Penutup

Redenominasi bukan tentang menghapus nol pada uang, melainkan menghapus rasa takut terhadap perubahan.
Ia menuntut pemerintah yang kredibel, masyarakat yang cerdas, dan komunikasi yang terbuka.

Apabila Indonesia mampu menjadikan redenominasi 2026–2030 sebagai momentum modernisasi ekonomi dan pemulihan kepercayaan publik, maka sejarah akan mencatatnya sebagai reformasi moneter yang rasional, beradab, dan berdaulat.

Disclaimer : Rubrik Opini adalah media masyarakat dalam menyampaikan tulisannya. Setiap Opini di kanal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis dan teropongsenayan.com terbebas dari segala macam bentuk tuntutan. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai dengan undang-undang pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini. Redaksi teropongsenayan.com akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang sebagai bagian dari hak jawab.

tag: #  
Bagikan Berita ini :
Advertisement
Leap Telkom Digital
advertisement
thejoint
advertisement
We Stand For Palestinian
advertisement
DD MEMULIAKAN ANAK YATIM
advertisement
Lainnya
Opini

Menjelang 100 Tahun Kemerdekaan: Reformasi Kepolisian dan Harapan akan Keadilan yang Sejati

Oleh Ariady Achmad
pada hari Minggu, 09 Nov 2025
Menjelang satu abad kemerdekaan Republik Indonesia, masyarakat berharap hadirnya keadilan yang nyata, bukan sekadar retorika. Di tengah euforia pembangunan dan transformasi digital, ada kegelisahan ...
Opini

Memori Kolektif, Narasi Kekuasaan, dan Rekaan Pahlawan

Jakarta, TEROPONGSENAYAN.COM - “Sejarah ditulis oleh para pemenang.” Kalimat yang sering kita dengar itu terdengar sederhana, tetapi di baliknya tersembunyi makna yang dalam. Ia ...